Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gay or Biseksual?
Aletha duduk di ruangannya dengan menyibukkan diri pada laptop. Sejak kembali dari restoran, Aletha terus memikirkan Damian yang mungkin saat ini sedang bersenang-senang dengan Bella, pikirnya.
'Krucuk krucuk'
Perut Aletha berbunyi, tampaknya ia merasa sangat lapar. Namun, Aletha tidak ingin beranjak lagi, ia akan menahan rasa laparnya hingga pulang nanti dan makan di rumah.
"Damian sama Bella memang secocok itu sih, kalau mereka balikan memang wajar. Damian juga gak salah kalau secinta itu sama Bella, dia cewek yang sempurna," gumam Aletha. Ia melanjutkan, "tapi... kenapa Damian harus suka cowok kalau dia masih cinta sama Bella ya? Aku masih kepikiran deh, sebenarnya Damian itu gay atau biseksual? Soalnya kalau dibilang gay, dia kayaknya suka cewek juga. Gay harusnya cuma cinta cowok doang, kan?"
Aletha sibuk sendiri memikirkan suaminya yang entah sebenarnya suka sejenis atau suka dua-duanya.
Di saat Aletha tengah sibuk berpikir, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Aletha langsung duduk tegak karena ia pikir yang masuk mungkin saja ingin memberikan laporan atau semacamnya padanya.
Namun, Aletha justru terkejut karena yang masuk adalah Damian. Pria itu masuk dengan membawa tas paper bag di tangannya dengan logo restoran yang tadi mereka datangi.
Aletha membuka mulut dan berkata, "Dam, kamu..."
"Aku bawakan makanan ini buat kamu. Gara-gara kamu pergi, aku jadi harus repot bawain," Damian memotong sambil meletakkan paper bag tersebut di atas meja kerja Aletha, ia juga duduk di hadapan Aletha.
"Aku gak suruh kamu bawain buat aku, Dam. Kamu kan bisa makan semuanya di sana, lagian aku bisa makan di rumah nanti," Aletha berpura-pura tidak lapar.
"Gak usah pura-pura, aku tahu kamu lapar."
"Kata siapa?"
"Kamu kira bisa bohongi aku? Aku tahu kamu lapar, makanya saat di restoran tadi kamu memesan lebih dari satu menu."
Mendengar itu, Aletha tersipu malu, rupanya tak mudah membohongi Damian.
Aletha mendengus pelan, menunduk sejenak untuk menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Damian selalu saja bisa membaca dirinya dengan mudah, seolah setiap gerak-geriknya sudah terekam di kepala pria itu.
Damian tersenyum kecil melihat ekspresi Aletha. "Udah, makan aja sebelum perutmu bunyi lagi," katanya sambil mendorong paper bag itu lebih dekat ke arah Aletha.
Aletha menatap tas kertas itu ragu, tapi perutnya kembali berbunyi, membuatnya semakin malu. Damian terkekeh pelan. "Tuh, dengar sendiri, kan? Makanya jangan pura-pura kalau perut kamu gak bisa bohong."
Aletha semakin malu.
Dengan enggan, Aletha akhirnya membuka paper bag tersebut dan melihat makanan yang tadi ia pesan di restoran. Damian benar-benar membawakan semua pilihannya, lengkap dengan minuman favoritnya.
"Kamu gak makan?" tanya Aletha setelah melihat Damian hanya duduk santai sambil memperhatikannya.
"Aku udah kenyang," jawab Damian santai. "Lagipula, yang lapar kan kamu."
Aletha mendengus, tapi akhirnya mengambil garpu dan mulai menyantap makanannya. Selama beberapa saat, hanya suara garpu yang menyentuh piring yang terdengar di ruangan itu. Aletha fokus pada makanannya, sementara Damian terus memperhatikannya.
Setelah beberapa suapan, Aletha akhirnya bersuara, "Dam, aku mau tanya sesuatu."
"Hm?" Damian menatapnya dengan ekspresi tenang, tapi Aletha bisa melihat sekilas rasa penasaran di matanya.
Aletha menaruh garpunya, menatap Damian dengan serius. "Sebenarnya... kamu gay atau biseksual?"
Damian terdiam sejenak. Mata mereka bertemu, dan Aletha bisa merasakan sedikit ketegangan di udara.
"Kenapa tiba-tiba nanya begitu?" Damian akhirnya bersuara, suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di balik nada suaranya yang sulit ditebak.
Aletha menggigit bibirnya. "Aku cuma... penasaran. Maksudku, kamu dulu mencintai Bella sampai menikahinya, tapi di sisi lain, kamu suka sama cowok juga. Jadi... aku pengen tahu yang sebenarnya. Kamu sebenarnya suka sejenis atau suka dua-duanya?"
Damian menarik napas pelan, lalu bersandar di kursinya. "Kalau aku bilang aku biseksual, apa itu akan mengubah sesuatu?" tanyanya balik.
Aletha terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Damian tersenyum miring. "Aku menikah denganmu, Aletha. Bukannya itu cukup menjawab?"
Aletha menunduk, hatinya terasa sedikit berdesir, tapi masih ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.
"Tapi kalau kamu biseksual... berarti kemungkinan kamu masih mencintai Bella, kan?" tanyanya hati-hati.
"Kenapa menyimpulkan seperti itu?"
"Dari yang aku lihat tadi, kamu sepertinya senang saat dia menghampiri kamu dan menyentuh kamu. Apa ada kemungkinan kamu akan balik sama dia?"
Damian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Aletha lama, sebelum akhirnya berkata, "Aku nggak bisa mengontrol perasaan masa lalu, tapi aku bisa mengontrol pilihanku sekarang. Bella hanya masa lalu, dulu aku memang sangat mencintai dia, tapi bukan berarti aku akan terus mencintainya setelah kami bercerai. Kalau aku dan dia bercerai, bukankah itu ada sesuatu yang fatal diantara kami?"
Aletha terdiam, memikirkan pertanyaan itu. Sesuatu dalam dirinya terasa lebih tenang, tapi juga semakin bingung dengan perasaan sendiri.
Apakah itu berarti Damian benar-benar sudah melepaskan Bella? Ataukah ada sesuatu yang masih tersisa di dalam hatinya?
Dan yang lebih penting... di mana posisinya dalam hidup pria itu?
Aletha menggigit bibirnya, matanya menatap Damian yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi tenang, seakan pertanyaannya tadi bukanlah sesuatu yang berarti. Padahal, bagi Aletha, pertanyaan itu sangat besar.
Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Kalau kamu bilang Bella hanya masa lalu, lalu aku... masa sekarang atau masa depan?" tanyanya lirih, nyaris berbisik.
Damian menaikkan satu alisnya, lalu bersedekap. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
Aletha mengalihkan pandangannya, merasa sedikit malu karena mengungkapkan perasaannya terlalu jelas. "Aku cuma penasaran. Pernikahan kita ini bukan atas dasar cinta, kan? Kamu menikahiku karena keadaan, hanya menolongku keluar dari lingkaran paksaan ayahku. Aku hanya ingin tahu... apakah aku hanya bagian dari sebuah kompromi atau..."
"Kamu bukan kompromi," potong Damian tiba-tiba, suaranya lebih dalam dari biasanya.
Aletha terkejut, menatap Damian yang kini mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku memang bukan menikahi kamu karena cinta pada awalnya. Tapi itu bukan berarti aku nggak menghargai keberadaanmu di hidupku, Aletha," lanjutnya dengan nada lebih lembut.
Aletha terdiam. Hatinya terasa aneh—hangat, tapi juga sedikit nyeri. Damian tidak mengatakan bahwa ia mencintainya, tapi setidaknya, ia mengakui bahwa Aletha bukan sekadar kompromi. Itu sudah cukup, bukan?
Namun, bagaimana bisa Aletha senang jika Damian saja bahkan masih suka sesama jenis?
Tiba-tiba, Damian berdiri dan mengambil ponselnya dari saku. "Aku harus pergi. Ada urusan di kantor pusat."
"Kapan pulang?"
"Nanti sore aku jemput kamu, kita pulang bareng."
Aletha mengangguk pelan. "Oh... oke. Hati-hati."
Damian meliriknya sekilas sebelum berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia berhenti dan berkata tanpa menoleh, "Jangan terlalu banyak berpikir, Aletha. Kalau kamu terus bertanya-tanya tentang posisimu dalam hidupku, kamu akan semakin bingung sendiri."
Dan dengan itu, ia pun pergi.
Aletha terdiam di tempatnya, menatap pintu yang kini tertutup. Tangannya secara refleks menyentuh dadanya, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini.
Apakah ini... harapan? Atau justru rasa takut akan kekecewaan yang lebih besar?
*****
[MALAMNYA]
Aletha duduk di depan cermin, ia tampak sibuk memakai skincare perawatan kulit tubuh dan wajah yang biasa dipakai sebelum tidur. Aletha selalu memastikan seluruh tubuhnya mendapatkan perawatan, agar kulitnya selalu cantik, segar dan sehat. Di sisi lain, Damian sibuk dengan ponselnya, ia berbaring di tempat tidur dengan ponsel di genggaman.
[Dami, kenapa tadi kamu langsung pergi?] Pesan dari Bella untuk Damian.
Damian diam sebentar sambil membaca berulang kali pesan itu. Ia tadi memang langsung pergi setelah meminta pelayan membungkus makanan baru untuk Aletha, meninggalkan Bella di restoran tanpa pamit.
Sebelum Damian membalas pesan dari Bella, Aletha datang dan membuat Damian menyimpan ponselnya di bawah bantal. Aletha naik ke tempat tidur dan menarik selimut setelah berbaring di samping suaminya.
"Hmmm... Udah segar, udah wangi, udah ternutrisi. Tinggal tidur nyenyak deh," ucap Aletha dengan nada ceria seperti biasa.
Damian menoleh, memperhatikan Aletha dari samping. Istrinya ini memang sosok yang selalu merawat pemberian Tuhan dengan baik, setiap akan tidur Aletha selalu membuat Damian merasa melihatnya seolah akan pergi bepergian karena selalu wangi dan cantik.
Tanpa Damian sadari, Aletha juga menoleh ke arahnya hingga mata mereka bertemu.
"Dam, kenapa lihat aku kayak gitu? Ada yang aneh kah?" tanya Aletha.
Damian terbelalak, langsung saja ia menatap lurus ke langit-langit kamar untuk mengalihkan tatapannya dari Aletha.
"Bukan apa-apa," jawab Damian.
"Oh iya, aku mau ketemuan sama teman SMA Minggu depan. Kamu bisa temenin aku gak?" tanya Aletha lagi.
Damian menjawab tanpa menoleh, "Kenapa harus sama aku? Kan bisa pergi sendiri."
"Aku pengen pergi sama kamu karena temenku juga bawa suaminya. Aku kan pengen kenalin sama dia, biar dia tahu kalau aku juga udah punya suami, apalagi suamiku ganteng. Hehehe..."
"Memangnya mengenalkan suami kepada orang lain sepenting itu?"
"Tentu! Mengenalkan pasangan kita terhadap orang lain itu sangat penting, karena itu tandanya kita menghargai keberadaan suami kita."
"Oh."
Aletha menggembungkan pipinya dengan kesal. "Ayolah, Dam! Aku cuma mau kamu nemenin sebentar aja. Gak akan lama, janji!"
Damian masih diam, tidak langsung menanggapi.
Aletha semakin merajuk, mendekatkan dirinya ke arah Damian dan menggoyang-goyangkan lengannya. "Pleeease... Aku janji gak bakal bikin kamu bosan. Lagian, kamu kan suamiku, masa aku harus datang sendirian sementara dia bawa pasangan? Gimana kalau suaminya suka aku karena mengira aku jomblowati?"
"Pede banget," ucap Damian.
"Bukan pede, tapi kenyataannya aku memang cantik!" timpal Aletha penuh percaya diri.
Damian melirik Aletha sekilas, tapi tetap berusaha bersikap cuek. "Kalau aku sibuk gimana?"
Aletha mendesah dramatis, lalu menatapnya dengan mata berbinar penuh harap. "Ya kalau sibuk, aku gak bisa maksa. Tapi kalau gak sibuk, ya harus temenin aku!"
Damian menghela napas pelan. Dia tahu, kalau Aletha sudah mulai merengek begini, sulit untuk menolaknya.
Melihat suaminya masih ragu, Aletha semakin mendekat, kini menyandarkan dagunya di bahu Damian sehingga wajahnya sangat dekat dengan pipi Damian. "Ayolah, Dam... Anggap aja kita kencan berdua. Kan jarang-jarang aku minta ditemenin," ucapnya dengan suara manja.
Damian mengerjap, merasakan sentuhan Aletha di bahunya membuat jantungnya sedikit berdebar. Dia langsung mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan efek yang ditimbulkan istrinya itu.
Akhirnya, Damian menyerah. "Baiklah, aku temenin."
Aletha langsung berseru kegirangan. "Yes! Aku tahu kamu suami terbaik!"
Damian hanya menghela napas, lalu menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya yang seperti anak kecil saat senang. Tapi diam-diam, sudut bibirnya terangkat tipis.
"Jangan terlalu senang dulu," gumamnya.
"Tetap senang dong! Aku bakal tunjukin ke temenku kalau suamiku ganteng, cool, dan baik hati!"
Damian mendengus kecil. "Jangan lebay deh."
Aletha tertawa, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Damian, merasa lega karena berhasil membujuk suaminya.
Sementara itu, Damian menatap lurus ke depan, mencoba menyembunyikan perasaan hangat yang mulai muncul dalam hatinya.
Damian yang merasa takut lupa diri karena Aletha menempel padanya, segera menjauhkan Aletha darinya.
"Udah, tidur. Jangan nempel kayak gitu," katanya dengan nada datar.
Aletha mendengus. "Hish! Harus banget gitu jauhin aku dari kamu? Emangnya aku ini virus berbahaya ya?"
"Ya, bahaya banget."
Aletha cemberut, ia terlihat ngambek. Aletha langsung menjauh dari Damian dan menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya sambil menggerutu kesal.
"Damian sialan! Damian nyebelin! Damian kaku!" umpatnya dalam selimut.
Damian hanya tersenyum mendengar umpatan istrinya, sikap Aletha yang memang seperti anak kecil itu terkadang menggemaskan.
"Dia memang lucu," batinnya.
Damian mengambil ponselnya yang ia simpan di bawah bantal tadi, kemudian memeriksa beberapa pesan yang masuk sejak tadi dari Bella.
[Dami, aku pengen ketemu dan ngobrol lagi sama kamu.]
[Dami, aku ingin kita bisa kembali bersama, meskipun hanya berteman.]
[Dami, aku ingin belajar menyukai lawan jenis. Tolong bantu aku.]
Pesan-pesan itu hanya di baca oleh Damian, ia sama sekali tak berniat membalasnya. Damian hanya menghela napas panjang, lalu menyimpan kembali ponselnya.
Damian melirik ke arah Aletha yang terbungkus selimut, wanita itu sudah tak terdengar suaranya.
Damian mendekat dan memeriksa, rupanya Aletha sudah terlelap setelah menggerutu kesal padanya. Damian tersenyum, membenarkan selimut Aletha dan kembali ke tempatnya. Ia mengingat kembali pembahasan dengan Aletha di ruangan wanita itu tadi siang.
Damian tersenyum geli. "Bisa-bisanya dia mikir aku biseksual. Kenapa dia gak bisa berpikir kalau aku cowok normal setelah tahu aku sering salah tingkah di depannya? Dasar Aletha... gak peka."
BERSAMBUNG...
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu