Cinta Di Rak Diskon

Malam mulai turun di langit kota, meredupkan hiruk pikuk yang seharian menggema di sepanjang jalan. Toko Kita Jaya sudah setengah ditutup, rolling door sisi kanan sudah tertarik separuh. Di dalam, hanya ada Raka, Intan, dan suara kipas angin tua yang berdengung pelan seolah ingin mengatakan "tolong aku, aku capek berputar seharian penuh. Aku ingin istirahat sejenak".

Hari ini mereka lembur. Barang datang lebih banyak dari biasanya, dan tentu saja, yang paling semangat bongkar dus adalah Intan. yang entah kenapa selalu bisa bikin momen kerja terasa seperti variety show penuh kekonyolan dan candaan absurd. Dan yang terpenting dia berburu hadiah gratisan dalam kemasan dus produk yang dia incar. (hadia gratis 1 piring cantik dengan motif bunga tulip).

"Mas Rakaaa, tolong dong ini angkatin! Berat banget!" serunya sambil menunjuk satu 5 dus mie instan yang menumpuk. padahal tadi baru saja dia mengangkat galon air dengan satu tangan.

"Dus mie? Kamu angkat galon aja bisa, masa mie doang minta di angkatin?" sahut Raka sambil menyeka keringat dari pelipisnya.

Intan mencibir. "kalau satu dus bisa, kalau 5 dus sekalian nggak sanggup aku Mas. Aku capek, Aku lelah, Aku Letih, Aku Linglung, Aku Capek jadi wanita kuat. Percuma, nggak perna di ajakin gabung The Avengers juga. Sekali-sekali aku pengen jadi cewek manja, boleh kan?"

Raka tertawa. "Yaudah, sini, kasih dusnya. Tapi kalau kamu manja tiap hari, nanti yang capek aku."

"Nggak apa-apa. Capek bareng, kan katanya cinta itu saling menopang." Intan mengedip iseng, lalu langsung lari masuk ke dalam Toko Kita Jaya sambil terkekeh.

Raka hanya geleng-geleng kepala, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Sejak malam makan mie kadaluarsa itu, hubungan mereka terasa lebih... nyaman. Lebih dekat. Seolah-olah ada pintu tak terlihat yang perlahan terbuka. Dan di balik pintu itu, ada perasaan yang diam-diam tumbuh.

Setelah rak terakhir dibereskan, Raka mengajak Intan duduk di kursi kasir. Mereka membawa dua cup es krim sisa promo yang sudah dilelehkan sedikit oleh suhu ruangan.

"Capek?" tanya Raka.

Intan menjawab dengan menguap. "Ngantuk. Tapi seneng. Aku suka kerja kayak gini. Meski gajinya kecil, suasananya nggak bikin stres."

Raka tersenyum lembut. "Aku juga."

Hening sejenak. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti jeda yang tenang di antara lagu favorit (Stecu-stecu).

"Mas," kata Intan tiba-tiba, "boleh nanya nggak?"

"Boleh, asal jangan tanya soal seberapa luas alam semesta, bumi itu bulat apa datar, atau tentang masa depan. Aku belum punya jawabannya." Raka bercanda.

Intan tertawa pelan. "Bukan. Tapi... mas pernah pacaran?"

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam sejenak. Ia menatap ke arah pintu toko, seakan mencari jawaban di luar sana.

"Pernah. Dulu. Lama juga. Tapi dia... bukan orang yang bisa hargai aku sebagai pacar. Dia lebih suka apa yang aku punya."

Intan mengangguk pelan. "Sakit ya?"

"Dulu sih iya. Sekarang... aku bersyukur udah ninggalin dia sih, kalau nggak, mungkin aku nggak ketemu kamu."

Kalimat itu membuat Intan terdiam. Wajahnya langsung memerah, dan ia pura-pura sibuk membuka sendok es krim.

"Mas... suka sama aku ya?" tanyanya pelan.

Raka menoleh. "Kenapa kamu tanya gitu?"

"Soalnya... aku ngerasa Mas baik banget ke aku. Dan aku... aku takut. Takut ini cuma perasaan sepihak."

Raka tak langsung menjawab. Tapi tangannya bergerak. Perlahan, tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Intan yang sedang menggenggam cup es krim.

Hangat. Tangannya besar dan kokoh. Sementara tangan Intan kecil dan dingin karena memegang es.

"Intan... aku nggak mau buru-buru. Tapi yang jelas... kamu itu bikin aku pengen jadi versi terbaik dari diriku. Aku suka caramu ketawa, caramu cerewet, caramu ngomel soal mie. Dan aku suka saat kamu nggak kuat tapi tetap pura-pura kuat. Aku suka semua yang ada di kamu."

Intan menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca.

"Aku juga suka Mas... Tapi aku takut, Mas. Aku nggak punya apa-apa. Aku... nggak secantik cewek-cewek lain. Nggak sepintar, nggak sekaya. Aku cuma gadis pendek cerewet yang hidup sendirian di kota, bisa nafas aja udah alhamdulillah bangat."

Raka mengeratkan genggaman tangannya.

"Justru itu. Karena kamu apa adanya. Dan itu cukup. Lebih dari cukup."

Malam itu, tanpa pelukan, tanpa ciuman, mereka hanya saling menggenggam tangan. Tapi bagi keduanya, itu adalah momen paling hangat dan paling tulus yang pernah mereka alami.

Es krim mereka mencair.

Tapi rasa manisnya tak hilang. Malah tertinggal di hati masing-masing.

Hari-hari berikutnya, entah mengapa, semuanya terasa berbeda. Pelanggan tetap datang dan pergi. Barang tetap harus diisi. Rak tetap harus dibersihkan. Tapi setiap kali Raka dan Intan berpapasan, senyum mereka selalu mengembang lebih lebar dari biasanya.

Mereka belum pacaran. Belum saling menyatakan cinta secara eksplisit. Tapi ada kepercayaan baru yang tumbuh.

Dan tangan yang pernah digenggam itu, terasa seperti janji dan hangat.

Bersambung.