 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkilir
Kaki Arinda masih terasa nyeri, dan Leo dengan hati-hati mulai mengurutnya perlahan. Tangan kuatnya namun berhati-hati, memastikan pijatannya tidak menyakitkan. Arinda menunduk, wajahnya memerah campur malu dan canggung.
“Mas… kenapa… kenapa mas nggak bilang kalau mas sudah menikah?” ucap Arinda dengan suara polos, tapi terdengar sedikit takut. “Arinda nggak mau… di-cap perempuan perbuat suami orang…”
Leo menatapnya tajam, matanya hitam dan penuh wibawa. Sejenak, ada hening di antara mereka. Arinda menatap wajah suaminya, polos dan lugu, tidak mengerti sepenuhnya situasinya, hanya tahu bahwa hatinya ingin dipercaya.
“Arinda…” suara Leo datar, tapi tegas. “Mas dan Aurelia… sudah menikah empat tahun, tapi pernikahan itu tanpa cinta. Kami… kami tidak pernah saling menyakiti atau menyakiti perasaan satu sama lain. Jadi jangan takut, kamu bukan… ‘perempuan perbuat suami orang’. Kamu istri Mas sekarang.”
Arinda menelan ludah, wajahnya merah padam, matanya membulat polos. Ia menatap suaminya yang dingin dan berwibawa itu, mencoba memahami kata-kata yang baru saja ia dengar. Jantungnya berdebar cepat.
Leo merasa sedikit tak sabar. Ia menatap bibir mungil Arinda, bibir yang polos dan manis, dan tanpa memberi kesempatan bagi Arinda untuk bereaksi, ia menunduk dan mencium bibir istrinya dengan lembut tapi penuh intensitas.
Arinda terkejut, matanya melebar, tubuhnya kaku. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana, campuran rasa gugup, takut, dan sedikit nyaman membuatnya terpaku. Bibir Leo tetap menempel di bibirnya beberapa detik, lalu perlahan ia melepaskan.
“Kamu… kamu kenapa mas?” tanya Arinda dengan suara gemetar, menundukkan kepala, tangannya menggenggam selimut.
“Karena aku tidak sabar,” jawab Leo singkat, tetap menatap intens wajah polos istrinya. “Kamu… terlalu lugu, terlalu polos. Aku ingin membuatmu mengerti bahwa kamu istri Mas sekarang. Mas… ingin kamu tahu itu.”
Arinda masih terdiam, dadanya berdebar kencang. Ia merasa campuran takut, canggung, tapi juga nyaman. Leo mengurut kembali kakinya, menatapnya sesekali untuk memastikan Arinda tidak kesakitan.
“Mas… Arinda takut… tapi… Arinda… senang juga…” gumamnya pelan, wajahnya memerah karena malu.
Leo menatap wajah polos Arinda yang memerah, dadanya berdebar kencang. Tanpa memberi kesempatan bagi Arinda untuk menghindar, ia menunduk kembali dan melumat bibir istrinya dengan intens. Arinda terkejut, matanya melebar, tubuhnya kaku, dan tangannya secara refleks menggenggam selimut.
“Mas… mas…” gumamnya pelan di sela-sela ciuman itu, bingung antara takut dan terpesona oleh keberanian suaminya.
Leo tetap tenang, tetapi aura gelap dan wibawanya membuat Arinda merasa tak berdaya. Dengan satu tangan, ia menahan tubuh Arinda, lalu dengan lembut membaringkannya di kasur. Arinda menatapnya dengan mata polos, tubuhnya sedikit gemetar.
“Arinda… diam saja,” bisik Leo dengan nada rendah tapi menuntut, tangannya menahan lembut lengan kecil istrinya. “Mas ingin kamu mengerti… kamu istri mas sekarang. Mas tidak akan menyakiti kamu.”
Arinda menelan ludah, wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca karena campuran rasa takut, malu, dan sedikit nyaman. Ia menundukkan kepala, menggenggam selimut erat-erat.
Leo menunduk, kembali menatap bibir Arinda yang mungil, dan tanpa ragu, ia mencium bibirnya lagi. Kali ini lebih lama, lebih intens, seolah ingin menanamkan satu pesan: “Kamu milikku, dan aku akan menjaga kamu.”
Arinda menutup matanya sejenak, tubuhnya kaku namun perlahan mulai mengikuti alur sentuhan lembut suaminya. Meski polos dan lugu, hatinya mulai merasakan kehangatan dari perlakuan Leo. Ia tidak mengerti sepenuhnya, tapi naluri polosnya membuatnya percaya bahwa Leo benar-benar ingin melindunginya.
Di kamar yang tenang, aroma kayu dan furnitur mewah menyelimuti ruangan. Bibir Arinda masih terasa hangat dari ciuman Leo, tubuhnya duduk di kasur sambil menatap wajah suaminya yang dingin namun karismatik. Namun, tiba-tiba nada dering dari ponsel Leo memecah keheningan.
Leo, tanpa menoleh terlalu lama, menghentikan ciumannya di bibir Arinda dan menekan layar. “Apa?” suaranya datar, nada tegas tetap melekat, meski di matanya terlihat sedikit gangguan karena panggilan itu.
Di sisi lain, suara Aurelia terdengar hangat melalui telepon. “Leo, bagaimana keadaan Arinda? Sudah lebih tenang?”
Leo menatap Arinda yang masih duduk di kasur dengan mata bulat polosnya. Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada rendah dan tegas, “Ini urusanku. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tidak usah khawatir.”
Aurelia menahan napas sejenak, lalu tersenyum di ujung telepon. “Baiklah… aku percaya padamu, Leo. Pastikan dia tidak terlalu kaget atau merasa tertekan.”
Arinda, yang mendengar percakapan itu, menatap suaminya dengan mata polos dan sedikit bingung. “Mas… itu… nyonya Aurelia?” tanyanya dengan suara lembut, menundukkan kepala karena rasa takut yang masih melekat.
Leo mengangguk singkat, lalu menutup telepon. Matanya kembali fokus pada Arinda, yang masih duduk gemetar di kasur. Tanpa membuang waktu, ia berjalan ke lemari besar di kamar pribadinya, membuka pintu kayu besar, dan mengambil setelan casual yang rapi untuk diganti.
Arinda, yang menatapnya, tiba-tiba menutup matanya rapat-rapat. “Mas… Arinda… nggak… nggak mau lihat…” gumamnya dengan suara kecil.
Leo mengangkat alis tipis, setengah tersenyum di balik wajah dinginnya. Ia menggelengkan kepala, namun tetap mulai mengganti bajunya dengan cekatan. Arinda tetap menutup mata, tubuhnya sedikit gemetar karena rasa malu dan canggung.
Tak lama kemudian, Leo selesai mengganti pakaian. Ia menatap Arinda yang masih menutup mata rapat, lalu berjalan mendekat dengan langkah mantap. Dengan lembut, ia menepuk bahu kecil Arinda.
“Arinda… buka matamu. Mas akan antar kamu ke kamarmu, biar lebih nyaman,” bisiknya lembut namun tegas.
Arinda menggigit bibirnya, menundukkan kepala, dan perlahan membuka mata setengahnya. Leo tersenyum tipis, aura gelap dan wibawa masih terpancar, membuat Arinda sedikit gemetar namun merasa aman.
Tanpa menunggu jawaban, Leo menunduk dan menggendong Arinda di kedua tangannya. Arinda terkejut, bibirnya sedikit terbuka, namun ia tidak berusaha menolak. Tubuhnya terlalu lemah dan polos, serta rasa percayanya pada Leo mulai tumbuh.
“Kita ke kamar kamu sekarang,” kata Leo sambil melangkah keluar dari kamar. Arinda menempel di dadanya, tangan kecilnya menahan tubuhnya dengan canggung. Setiap langkah Leo terdengar mantap dan pasti, aroma tubuhnya yang hangat memenuhi indera Arinda.
Setelah beberapa langkah, mereka tiba di kamar Arinda. Leo menurunkan Arinda dengan hati-hati di dekat kasurnya. Arinda menatapnya dengan mata berbinar, sedikit gugup tapi juga lega.
“Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, menundukkan kepala.
Leo mengangguk singkat, lalu mengeluarkan ponselnya lagi. Ia menekan layar untuk menelepon Sofia, yang selalu setia dan siap sedia. “Sofia… antar makan malam ke kamar Arinda. Pastikan semuanya sesuai dengan standar. Dan awasi dia baik-baik, jangan biarkan dia kelaparan atau merasa bosan,” perintah Leo dengan suara rendah dan tegas.
Sofia, yang mendengar perintah itu melalui telepon, segera menjawab, “Siap, tuan. Saya akan pastikan semuanya berjalan lancar.”
Leo menutup telepon, lalu menatap Arinda. “Nanti makan malam akan diantar, Arinda. Kamu jangan khawatir, semuanya akan diurus. Sekarang… diam saja di kamar, biar aku selesaikan pekerjaan yang masih menunggu.”
Arinda mengangguk, tubuhnya sedikit rileks. Ia menatap suaminya dengan mata polos yang masih berbinar, sedikit heran dengan perhatian yang diberikan Leo padanya. Rasanya campur aduk: takut, canggung, tapi juga nyaman dan sedikit lega.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dan masuklah Sofia dengan nampan makan malam yang sudah rapi. Arinda tersenyum polos melihatnya. “Terima kasih, mbak Sofia,” ucapnya lembut.
Sofia tersenyum hangat, meletakkan nampan di meja dekat kasur Arinda. “Silakan makan, nona kecil. Semua sudah siap sesuai keinginanmu.”
Arinda mulai menyantap makanannya, sesekali menatap Leo yang duduk di dekat pintu kamar, masih memantau dengan tatapan dingin namun penuh perhatian. Leo merasa sedikit hangat di hatinya melihat Arinda yang polos dan antusias menikmati makan malam pertamanya di kamar, sementara Aurelia dan Sofia tetap menjadi bagian dari lingkaran keamanan dan kenyamanan rumah megah itu.
 
                    