NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:462
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah Job

Tepat pukul 18.30, Cantika sudah siap dengan penampilan yang memukau.

Dress polos berwarna hitam selutut membalut tubuhnya dengan pas. Belahan di sisi kanan yang menjulur hingga ke paha menambah kesan menggoda, membuat siapa pun yang melihatnya sulit berpaling.

Make up tebal menghiasi wajahnya, membuat Cantika terlihat begitu berbeda dari kesehariannya. Sekilas, orang mungkin tak akan mengenalinya.

“Sudah sempurna, sayang. Sekarang kamu tunggu di depan, sebentar lagi Tuan Albert akan menjemput,” ujar Mami Viola sambil tersenyum puas.

“Iya, Mami,” jawab Cantika pelan. Ia meraih tas tangan di meja, tas mewah milik Mami Viola, tentu saja. Mana mungkin ia keluar dengan tas lusuh miliknya sendiri?

Dengan langkah anggun, Cantika berjalan ke depan, aroma parfum mahal yang ia kenakan meninggalkan jejak lembut di udara.

Lima belas menit berlalu...

Cantika yang sejak tadi berdiri mulai merasa pegal. Tumitnya perih karena sepatu hak tinggi yang dipakai nya.

“Huft... harus berapa lama lagi aku menunggu,” gerutunya kesal, sambil sesekali melirik jam tangan.

Ia berjalan mondar-mandir di depan klub, hingga akhirnya sebuah Ferrari hitam berhenti tepat di hadapannya. Mesin mobil itu berdengung halus, memecah kesunyian sore yang mulai menebal.

Dari dalam, keluar seorang pria berjas mahal. Wajahnya tampan, rahangnya tegas, dan usianya tampak sudah berkepala tiga. Tatapannya langsung tertuju pada Cantika.

“Cantika?” tebaknya.

Cantika mengangguk sambil tersenyum manis. Cahaya lampu jalan memantul di wajahnya, menegaskan kecantikan yang seolah diciptakan untuk malam itu.

Sekilas, Albert tampak terpesona. Penampilan Cantika yang sederhana namun elegan benar-benar menarik perhatiannya.

“Ayo masuk,” katanya sambil membukakan pintu mobil.

“Baik, Tuan,” jawab Cantika lembut. Dengan langkah anggun, ia masuk dan duduk di kursi penumpang.

Bruuk...

Pintu mobil tertutup. Albert segera duduk di belakang kemudi, lalu menyalakan mesin. Mobil pun melaju membelah padatnya jalanan ibu kota, sementara lampu-lampu kota menari di kaca jendela.

Cantika meremas ujung dress-nya, jantungnya berdebar. Naik mobil mewah seperti ini tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Ehem,” suara dehaman Albert memecah keheningan. Cantika menoleh, mencoba tersenyum sopan.

“Cantika, Mami Viola bilang kamu tidak menjual tubuhmu?”

Pertanyaan itu membuat napasnya tercekat. Wajahnya memanas, antara malu dan gugup.

“Tidak, Tuan. Saya hanya menemani mengobrol saja,” jawabnya pelan.

Albert terkekeh pelan. “Sayang sekali ya... padahal saya sangat menginginkan t*buh kamu yang s3ksi ini.”

Telapak tangan Cantika mulai dingin. Ada ketakutan yang tiba-tiba menjalar, membuatnya sulit menatap pria di sampingnya.

Albert tertawa kecil, nada suaranya kini lebih lembut.

“Tenang saja, saya nggak akan macam-macam. Kamu hanya perlu jadi kekasih pura-pura saya di depan keluarga. Kalau rencana ini berhasil, kamu akan dibayar sesuai janji.”

Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan rumah mewah berlantai lima, bangunan megah yang nyaris menyerupai istana. Pilar-pilar tinggi menjulang di sisi kanan kiri gerbang, dihiasi ukiran klasik dan lampu gantung yang berkilau.

Cantika terpaku di tempat.

Matanya menyusuri setiap detail, dinding marmer, taman rapi, dan air mancur di tengah halaman. Semua terlihat begitu sempurna, begitu jauh dari rumah sederhananya yang nyaris tak punya apa-apa.

Albert yang sejak tadi memperhatikan hanya tersenyum tipis. Baginya, ekspresi kagum Cantika tampak polos dan menggemaskan.

“Ayo,” ujarnya lembut, sambil mengulurkan tangan.

Cantika sempat tertegun. Apakah harus begini? pikirnya. Mereka bahkan belum lama saling mengenal, tapi kini harus bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih sungguhan.

“Kenapa masih diam?” suara Albert memecah lamunannya.

Cepat-cepat Cantika meraih tangan itu, berusaha terlihat tenang meski jantungnya berdetak cepat.

Albert menatapnya sekilas, lalu berkata dengan nada menenangkan,

“Maaf kalau aku membuatmu tak nyaman, Cantika. Tapi sebagai kekasih pura-pura, kita harus terlihat meyakinkan. Agar kebohongan ini tidak terbongkar.”

Cantika mengangguk pelan.

“Tidak apa-apa, Tuan. Karena ini memang bagian dari tugas saya.”

Mereka berjalan bergandengan tangan, langkah Albert mantap sementara Cantika berusaha menyesuaikan diri di sampingnya. Tak lama, mereka tiba di sebuah ruang makan mewah yang luas dan berkilau.

Meja panjang berlapis taplak putih tersusun rapi.

Berbagai hidangan mahal, buah segar, dan dessert warna-warni tertata cantik, sementara aroma lembut dari daging panggang memenuhi ruangan.

“Al, apa ini kekasihmu?” tanya seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah mulai memutih. Meski usia tampak di wajahnya, pesona dan wibawanya masih kuat terasa.

Albert mengangguk pelan sambil tersenyum.

“Benar, Oma. Perkenalkan, ini Cantika.”

Cantika segera menunduk sopan lalu mencium punggung tangan wanita itu. Setelahnya, ia melakukan hal yang sama kepada seorang wanita setengah baya yang sejak tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam namun penuh selidik. Di sampingnya, duduk seorang pria berwajah tegas, mirip dengan Albert, dan seorang gadis muda yang memandang Cantika dengan sinis sejak mereka datang.

“Ayo, silakan duduk, Nak. Anggap saja ini rumahmu sendiri,” ucap wanita paruh baya itu ramah.

Albert menarik kursi untuknya. “Duduklah,” katanya lembut.

Cantika menurut, tapi hatinya berdebar keras.

Berada di tengah orang-orang terpandang seperti ini membuatnya nyaris sulit bernapas. Tangannya dingin, lidahnya kelu.

Ia ingin mengucapkan sesuatu, sekadar basa-basi sopan, tapi suaranya seolah tertelan. Akhirnya, ia hanya bisa tersenyum, berusaha tampak tenang di balik kegugupannya.

“Cantika sangat cantik. Umur kamu berapa, Nak?” tanya Oma Zoya, dengan tatapan hangat yang membuat suasana sedikit mencair.

Cantika mendongak, menatap bola mata tua yang penuh ketulusan itu.

“Dua puluh empat tahun, Oma.”

Oma Zoya tersenyum makin lebar.

“Masih muda sekali. Kamu masih kuliah?”

“Iya, Oma. Saya masih kuliah di Universitas Pelita Cendekia.”

“Wah, pantas saja ka—”

“Orang tuamu punya perusahaan apa?” potong Stella, nada suaranya terdengar arogan dan menusuk.

Sekilas, suasana meja makan seketika berubah hening.

Tatapan Oma Zoya mengeras, jelas ia tidak menyukai cara menantunya bertanya.

“Tidak usah dijawab, Cantika. Itu tidak penting,” ujar Oma Zoya tegas, berusaha menengahi.

Namun Stella tidak tinggal diam. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap tajam ke arah Cantika.

“Itu justru penting, Oma. Karena untuk menjadi menantu keluarga ini, harus jelas bobot dan bebet-nya.”

Albert menghela napas panjang, lalu menatap ibu tirinya dengan dingin.

“Dia orang biasa, dan aku mencintainya. Itu saja sudah cukup.”

Tatapan Stella menyipit.

Pandangan matanya turun, menelusuri setiap detail tubuh Cantika, dari dress hitam elegan, tas mahal, hingga kalung berkilau di lehernya.

“Kamu bilang Cantika ini orang biasa, tapi lihatlah barang-barangnya. Semua mahal. Apa ini semua pemberian darimu, Al?”

Suara Stella terdengar dingin dan menyelidik. Ia menatap Cantika dari ujung kepala hingga kaki, seolah ingin mencari celah untuk merendahkannya.

Albert terdiam sesaat, tapi sebelum ia sempat menjawab, Oma Zoya lebih dulu menegur dengan nada tegas.

“Kamu tidak berhak bertanya seperti itu, Stella. Itu urusan Albert. Dia punya perusahaan sendiri, dan kalau pun dia memberi sesuatu pada Cantika, itu bukan masalah kita.”

“Ah, bukan maksud aku begitu, Mah,” ujar Stella cepat, mencoba terdengar manis. Tapi senyumnya tampak palsu.

“Aku cuma nggak mau Albert salah pilih wanita. Jangan sampai dia didekati karena uangnya. Dunia sekarang banyak perempuan yang pandai berpura-pura, kan?”

Brak!

Albert mendadak menggebrak meja. Suara piring dan gelas beradu keras, membuat semua orang di meja makan terlonjak kaget.

Cantika spontan menunduk, jantungnya berdegup kencang. Tangannya bergetar di pangkuan, tak berani menatap siapa pun.

“Cukup!” suara Albert bergetar menahan marah.

“Tidak ada satu pun yang berhak mengatur hidupku, termasuk Anda, Tante Stella.”

Ruangan langsung hening.

Tak ada yang berani bersuara. Bahkan suara napas pun terasa berat di udara.

Oma Zoya hanya menatap dengan wajah prihatin, sementara Arlo, ayah kandung Albert, tetap diam. Ia mengenal betul sifat anaknya, keras kepala, tegas, dan tak pernah mau diatur dalam hal hati.

Sementara itu, Stella hanya tersenyum tipis, meneguk kembali anggurnya perlahan.

“Baiklah, Al. mamah cuma mengingatkan. Tapi semoga saja kamu nggak menyesal nanti.”

Dan di sisi lain meja, Cantika masih menunduk, menahan sesak di dadanya. Ia tak tahu apakah harus merasa bersyukur karena dibela, atau takut karena kini dirinya telah menjadi pusat perhatian, sekaligus sumber pertikaian keluarga kaya itu.

“Mah, sudah... lebih baik kita lanjut makan saja,” ucap Arlo akhirnya, memecah keheningan yang menyesakkan. Nada suaranya lembut, tapi tegas. Ia tahu, suasana sudah terlalu panas, dan ia merasa tidak enak pada Cantika yang baru pertama kali datang, namun langsung disuguhi pertengkaran seperti ini.

“Iya, benar.”

Oma Zoya segera mengangguk dan memberi isyarat halus pada para pelayan.

Beberapa detik kemudian, para pelayan datang dengan langkah rapi dan sopan. Mereka menata piring satu per satu, menyajikan makanan-makanan mewah yang beraroma menggoda, steak empuk, sup krim hangat, salad segar, dan wine merah yang dituang ke dalam gelas kristal.

Semuanya terasa begitu megah, layaknya jamuan untuk keluarga kerajaan.

Cantika hanya bisa memandangi hidangan-hidangan itu dengan perasaan campur aduk.

Ia menggenggam ujung serbetnya erat, berusaha tersenyum walau matanya menunduk.

Setiap gerakan terasa salah; sendok dan garpu di tangannya terasa asing.

Sementara itu, Albert sesekali melirik ke arahnya, tatapan lembut yang seolah ingin mengatakan “kamu nggak sendirian di sini.”

Namun rasa canggung itu tetap menempel kuat di dada Cantika, membuatnya merasa kecil di tengah meja makan penuh kemewahan dan tatapan yang masih menilai diam-diam.

Tak terasa, makan malam yang menegangkan itu akhirnya berlalu juga. Piring-piring kosong sudah diangkat pelayan, dan jam dinding di ruang makan menunjukkan pukul sepuluh malam.

Albert kini berdiri di dekat sofa, merapikan jasnya sambil bersiap mengantar Cantika pulang.

“Nak, kamu harus sering-sering datang ke sini, ya,” ucap Oma Zoya lembut, seraya menggenggam tangan Cantika. Sentuhannya hangat, seperti seorang nenek pada cucu yang sudah lama tak ditemui.

“Insya Allah, Oma,” jawab Cantika sambil tersenyum tipis. Suaranya pelan, sedikit bergetar.

Dalam hati, ia tahu, senyum itu menyimpan keraguan, sebab hubungannya dengan Albert hanyalah sandiwara belaka.

“Yasudah, hati-hati di jalan, ya. Sampaikan salam Oma buat ibu kamu,” sambung Oma Zoya.

Lalu ia menoleh pada Albert. “Ingat, Al... jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.”

Albert mengangguk sopan. “Siap, Oma. Tenang aja, paling dikit aja dikebutnya,” ujarnya mencoba bercanda, walau terdengar agak kaku.

Oma Zoya tertawa kecil, matanya berkilat lembut. “Haha... kamu ini, Al, tetap saja bandel. Ingat, kamu bawa anak orang. Jangan sampai dia kenapa-kenapa, ya.”

Cantika ikut tersenyum, hatinya sedikit menghangat.

Ada ketulusan dalam cara Oma Zoya bicara, sesuatu yang membuatnya merasa diterima, meski hanya sekejap.

Sementara itu, Stella hanya menatap sinis ke arah Oma Zoya yang terlihat begitu perhatian pada Cantika.

“Cihhh... mereka memang buta,” desisnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum sinis.

“Padahal Dela jauh lebih segalanya dibanding perempuan itu. Tapi kenapa Albert gak pernah mau dijodohkan sama Dela?”

“Iya, Mah. Aku juga gak suka sama Cantika,” timpal Vani, nada suaranya terdengar manja tapi sarat iri.

“Mending Kak Albert sama Kak Dela aja, biar kekayaan keluarga ini gak jatuh ke tangan orang lain.”

“Syuuttt...!” Stella cepat membungkam mulut anaknya, menatap sekeliling dengan waspada.

“Kamu jangan asal bicara, nanti ada yang dengar.”

Vani langsung menutup mulut, menyesal sudah bicara sembarangan.

Di wajah Stella, ada guratan ambisi yang tak bisa disembunyikan, ambisi untuk menjaga kekuasaan dan harta, meski harus mengorbankan kebahagiaan orang lain.

Di sisi lain, mobil mewah milik Albert meluncur meninggalkan rumah besar itu. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan, menciptakan bayangan lembut di wajah Cantika.

Albert duduk tenang di balik kemudi, namun sesekali melirik ke arah gadis di sampingnya yang sejak tadi terdiam.

“Cantika, maaf...” ucapnya pelan, memecah keheningan.

“Untuk semua ketegangan yang kamu dengar tadi. Wanita itu... dia ibu tiri saya. Satu-satunya orang yang paling saya benci, karena dia sudah merusak hubungan orang tua saya.”

Cantika hanya tersenyum getir.

Dalam hatinya, ada rasa iba, sekaligus kagum pada laki-laki di sampingnya.

Ternyata kesempurnaan yang terlihat dari luar, belum tentu benar-benar sempurna di dalamnya.

“Dan ke depannya, sepertinya aku akan sering membutuhkan bantuan kamu, Cantika,” timpal Albert lagi.

Cantika mengangguk pelan, seolah sudah paham maksud laki-laki itu.

“Gak masalah, Tuan. Hubungi saya aja kalau butuh bantuan.”

“Tentu,” jawab Albert singkat, senyumnya samar muncul ketika menatap wajah polos Cantika. Dalam hati, ada perasaan aneh yang belum bisa dia jelaskan, antara kagum dan iba.

Namun di balik senyumnya, Albert menyayangkan pilihan Cantika yang harus menjadi seorang LC, meski dia tahu Cantika tidak menjual tubuhnya.

Tak terasa, mobil mereka sudah berhenti di depan rumah sederhana Cantika. Gadis itu menatap ke sekeliling, memastikan tak ada siapa pun yang melihatnya turun dari mobil mewah dengan pakaian minim.

“Kenapa?” tanya Albert heran.

“Ah, nggak… Saya cuma memastikan aja gak ada yang lihat saya pakai baju kayak gini.”

Albert terkekeh pelan. “Haha… kamu lucu sekali, Tika. Sudahlah, gak usah terlalu peduli sama omongan orang.”

Cantika menggeleng cepat. “Gak bisa, Tuan. Saya takut omongan orang nanti bikin ibu saya kepikiran. Kesehatan beliau bisa drop.”

Mendengar itu, tatapan Albert berubah lembut. “Memangnya ibu kamu kenapa, Tika?”

“Ibu saya sakit ginjal,” jawab Cantika lirih. “Saya gak mau bikin dia sedih. Karena kalau ibu sampai stres, kesehatannya makin turun.”

Albert menatap dalam, suaranya pelan. “Kamu melakukan pekerjaan ini demi ibu kamu?”

Cantika tersenyum getir dan mengangguk. “Ayah saya sudah meninggal. Jadi cuma saya yang bisa diandalkan. Kami bukan keluarga kaya, jadi apa pun akan saya lakukan demi kesembuhan ibu.”

Hati Albert seketika mencelos. Ada rasa iba yang menekan dadanya, karena ternyata di balik senyum lembut itu, Cantika menanggung beban berat sendirian.

“Maaf ya, Tuan, saya malah curhat,” ucap Cantika canggung, menunduk menahan air mata.

Albert menggeleng pelan. “Gak apa-apa, Tika. Ceritalah kalau kamu merasa nyaman. Saya tahu rasanya menanggung semua sendirian.”

“Terima kasih, Tuan.” Cantika tersenyum, lalu bersiap turun. “Kalau gitu saya masuk dulu.”

“Tika, tunggu.”

Albert menahan pergelangan tangan Cantika. “Kamu belum kasih nomor rekeningmu.”

“Oh iya,” Cantika buru-buru menyebutkan deretan angka itu.

Tak lama, terdengar suara notifikasi dari ponselnya.

Ting...

Matanya membulat.

“Tu-tuan… ini banyak banget. Tiga puluh juta?” ucapnya terkejut.

Albert tersenyum. “Anggap aja itu bonus, untuk biaya pengobatan ibu kamu. Sekali lagi, terima kasih udah bantu saya malam ini.”

Cantika tercekat, menunduk menahan haru. “Terima kasih banyak, Tuan. Saya bingung harus balas kebaikan Anda dengan apa.”

“Gak usah dipikirin. Cukup bantu saya lagi kalau nanti saya butuh.”

Cantika mengangguk cepat. Senyum kecil menghiasi wajahnya.

Begitu dia turun dari mobil, Albert memandangi punggung Cantika yang perlahan menjauh sebelum akhirnya mobil itu melaju meninggalkan halaman kecil itu.

Cantika menatap layar ponselnya lagi.

“Tiga puluh juta...” bisiknya lirih.

Air mata menetes tanpa sadar. Malam itu terasa seperti mimpi yang terlalu indah untuk dilupakan.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!