Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Hari itu, entah mengapa Fino kembali tenggelam dalam diamnya. Sejak pagi, ia bahkan tak menoleh apalagi menyapa Anara.
Di dalam kelas, Anara berusaha tetap tersenyum meski hatinya diliputi resah. Ia melangkah mendekat ke meja Fino.
"Fino, nanti pulang sekolah kita latihan lagi, ya?" tanyanya pelan.
Namun Fino hanya menutup bukunya dengan keras, suara bantingannya membuat Anara terkejut.
"Aku sibuk," katanya singkat, lalu berdiri dan berjalan keluar.
"Fino!" panggil Anara, segera mengejarnya sampai ke koridor. Nafasnya sedikit terburu, tapi ia tak peduli.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba kayak gini lagi? Apa aku salah?" suaranya terdengar cemas, hampir bergetar.
Fino menghentikan langkahnya lalu menoleh. Rahangnya mengeras, seakan menahan sesuatu.
"Berhenti ikut campur dalam hidupku, Anara," ucapnya dingin.
"Tapi kenapa, Fino? Kamu harus jelasin sama aku. Kalau kamu ada masalah, cerita sama aku, jangan gini," desaknya dengan suara bergetar.
"Kamu nggak akan paham, Anara," katanya lirih, sebelum akhirnya melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Anara yang terpaku di koridor.
**
Sejak kejadian di koridor tadi, wajah ceria Anara hilang begitu saja. Di kelas, dia hanya menunduk, menatap kosong pada buku catatannya. Senyum yang biasanya selalu menghiasi wajahnya seakan terkubur dalam-dalam.
Bagas yang duduk di belakang hanya bisa memperhatikan. Ia melihat Anara beberapa kali menggigit bibirnya.
Saat jam istirahat, Bagas akhirnya mendekat. Ia meletakkan sekaleng minuman dingin di meja Anara.
"Hei," panggilnya pelan. "Minum dulu. Kalo terus diem kayak gini, aku bisa ikutan murung, tahu nggak?"
Anara mendongak, matanya sayu. "Gas… aku nggak apa-apa." Suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Bagas tersenyum miring, mencoba mencairkan suasana.
"Nggak apa-apa apanya? Dari tadi kamu kelihatan kayak langit mendung mau hujan tau??. Anara yang aku kenal tuh biasanya bawel, bikin orang lain nggak sempet sedih karena ketularan senyumnya."
Ucapan itu membuat Anara terdiam. Ia menunduk lagi, menggenggam erat kaleng minuman itu. "Aku cuma... nggak ngerti kenapa Fino tiba-tiba berubah lagi. Padahal aku pikir… semuanya udah lebih baik."
Bagas menahan helaan napasnya. Ada rasa ingin sekali mengatakan kalau Fino memang nggak pantas bikin Anara sedih.
"Nar, kamu pernah dengar nggak… rintangan cinta sejati?" tanya Bagas tiba-tiba.
Anara mengernyit. "Hah? Apa itu?"
Bagas menatapnya lekat, lalu tersenyum tipis.
"Cinta sejati lahir dari luka dan pengorbanan. Mungkin sekarang kamu lagi ngerasain itu. Tenang aja, cepat atau lambat, aku yakin Fino bakal benar-benar terbuka sama kamu."
Anara terdiam, mencoba mencerna kalimat itu. Hatinya yang tadi berat sedikit terasa lebih ringan. "Benar, Gas… kalau gitu aku nggak boleh patah semangat."
"Ya, betul. Itu baru Anara yang aku kenal," ucap Bagas sambil menepuk pelan tangannya. "Jadi, apa rencana kamu aelanjutnya?"
Anara menggigit bibirnya, berpikir sejenak.
"Ehmm… aku bingung. Fino itu punya luka yang nggak kita tahu. Dan itu… yang jadi penghalang. Aku rasa, kita harus bikin Fino belajar menerima luka itu dulu. Baru setelahnya, dia bisa benar-benar hidup."
Bagas terdiam cukup lama, matanya seakan mencari-cari sesuatu di ingatannya. Lalu, tiba-tiba ia menepuk dahinya.
"Syafira!" serunya spontan.
Anara menoleh cepat, kaget melihat ekspresi serius Bagas. "Syafira? Siapa itu?"
"Perempuan yang dulu sempat dekat sama Fino. Aku pernah lihat beritanya… mereka cukup deket," jawab Bagas, suaranya merendah.
"Cukup deket?" ulang Anara, nadanya penuh tanda tanya.
Bagas mengangguk pelan. "Iya. Bisa dibilang… teman dekat Fino waktu itu."
Anara tertegun, jantungnya berdebar tidak nyaman. "Terus?"
"Terus… aku nggak tau." Bagas menghela napas panjang, menunduk sedikit. "Aku nggak baca artikelnya sampai habis."
Mata Anara langsung membulat, wajahnya menunjukkan rasa jengkel. "Gas… kamu bikin aku deg-degan dari tadi cuma buat bilang itu?" katanya dengan nada kesal.
Bagas tersenyum kecut, mengangkat bahu.
"Ya maaf. Tapi, Nar, dengar aku dulu. Mungkin Syafira itu kuncinya. Kalau kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia sama Fino… mungkin kita bisa ngerti luka Fino."
Dan malam itu, Anara sama sekali tidak bisa tidur. Nama Syafira terus terngiang di kepalanya, seolah menjadi potongan teka-teki yang selama ini hilang dari Fino.
Keesokan harinya, begitu bel pulang sekolah berbunyi, Anara langsung menghampiri Bagas yang sudah menunggunya di gerbang.
"Gas, aku udah pikirin semalaman. Kita harus cari tahu tentang Syafira," ucap Anara mantap.
Bagas menyilangkan tangan di dada, menatap Anara dengan tatapan ragu. "Kamu yakin? Kalau benar dia bagian dari masa lalu Fino, berarti kita bakal ngorek luka lama."
"Aku tahu," Anara mengangguk, "tapi kalau itu satu-satunya cara biar Fino bisa terbuka… aku siap."
Bagas menghela napas panjang, lalu mengangguk pasrah. "Baiklah. Jadi kita mulai dari mana?"
Anara mengeluarkan ponselnya, membuka tab pencarian. "Aku udah coba cari nama Syafira di internet tadi pagi. Ada beberapa artikel lama tentang kegiatan sosial sekolah dulu. Di situ ada nama dia."
"Terus?"
"Alamatnya nggak ada… tapi aku nemu satu akun media sosial. Dan kayaknya, itu dia." Mata Anara berbinar penuh semangat.
Bagas mendekat, ikut menatap layar. "Kalau gitu, ayo kita coba hubungi dia."
Anara menggigit bibir, jari-jarinya ragu menekan tombol pesan. "Aku nggak tau harus mulai dari mana…"
Bagas menepuk pundaknya. "Tenang. Kalau kamu nggak bisa, biar aku yang mulai."