NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11. Hubungan Tanpa Aturan

Suara langkah heels bergema di sepanjang koridor apartemen. Waktu sudah melewati jam kantor, tapi hari ini Elena tidak bekerja. Baru saja, Damian mengantarnya pulang, atau lebih tepatnya memaksa untuk libur sehari. Ia sempat menolak, tapi ancaman pria itu yang akan memecatnya membuatnya tidak punya pilihan selain menurut.

Deretan nomor sandi ia tekan di panel pintu. Begitu pintu terbuka, ia segera masuk dan mengganti high heels-nya dengan sandal rumah yang lembut.

Langkahnya beralih ke dapur. Ia membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin, lalu meneguknya perlahan. Setelah selesai, ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan dan seketika tatapannya menajam.

Suara bajingan itu kembali berputar di kepalanya. Sangat jelas, seolah Sean sedang berdiri tepat di depannya.

Sudah lima tahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, tapi suara itu belum pernah benar-benar hilang dari ingatannya.

“Aku akan membalasmu, Sean Evans,” desisnya tajam, sementara jemarinya mencengkeram botol hingga plastiknya berkerut dan berderak di tangannya.

Tatapannya dingin, seolah menembus bayangan masa lalu yang kembali mengusik pikirannya.

Flashback on

Elena terpojok. Punggungnya menempel pada tembok dingin, sementara seorang pria berdiri di depannya, menekan dahinya dengan telunjuk penuh ancaman.

“Sepertinya aku terlalu lembut padamu.”

“K-kumohon... l-lepaskan... a-aku...” Elena terbata, kacamata di hidungnya hampir jatuh saat ia menunduk.

“Apa? Kau minta dilepaskan? Kau bahkan belum menuruti permintaanku. Mana mungkin aku melepaskanmu semudah itu.”

Elena mendongak, matanya bergetar menatap wajah Sean yang penuh amarah.

“P-perbuatanmu itu... dilarang. A-aku tidak bisa membelikannya.”

Sean menghela napas kasar, lalu mundur dua langkah, “Ck, aku hanya minta rokok. Tapi kau malah menguliahi aku.”

“Itu tidak boleh. Usiamu masih di bawah umur,” ucap Elena.

“Apa urusanmu?!”

BUG!

Mata Elena terpejam rapat kala tangan Sean menghantam tembok di samping kepalanya.

Sementara Sean, mencondongkan tubuhnya ke depan, dan wajah mereka hanya berjarak sejengkal.

“Aku bahkan tidak meminta minuman keras. Lalu, apa susahnya itu, hah?”

Elena melirik sedikit dengan ekor matanya, “Kau anak orang kaya. Bisa mendapatkan apa pun dengan kemewahan yang kau punya. Tapi kenapa menindas kami yang bahkan tidak pernah salah padamu?”

Wajah Sean langsung menegang, jelas ia tersinggung dengan ucapan gadis itu. Dan tangan kanannya dengan cepat mencengkeram leher Elena.

“Kau tidak tahu apa-apa tentangku!”

“L-lepaskan... uhuk... Sean...!”

“Woy Sean! Aku dapat bbarangnya”

Teriakan dari kejauhan berhasil memecah konsentrasi Sean. Ia pun menoleh ke belakang. Setelah melihat apa yang ia mau, seulas senyum miring pun terbit di bibirnya. Akhirnya, ia melepaskan Elena.

Elena jatuh tersungkur, memegangi lehernya yang memerah.

“Uhuk... uhuk...”

Sean menunduk sebentar, menatap Elena yang tersungkur.

“Hari ini kau beruntung karena Leo menyelamatkanmu,” ucapnya dingin sebelum pergi.

“Hiks... hiks...”

Tangis Elena pecah. Ia memeluk lututnya, tubuhnya menggigil di area belakang sekolah yang sepi.

Flashback off

......................

Sementara itu di tempat lain, Sean memarkirkan mobilnya di depan bangunan yang lebih sering ia sebut sebagai markas. Sebuah rumah modern berdinding batu alam dan kaca besar, berdiri di tengah taman luas yang hijau. Di sinilah Sean dan teman-temannya biasa berkumpul. Geng lama sejak SMA.

Mereka semua anak-anak orang terpandang, pewaris perusahaan besar yang saling terkait dalam lingkaran bisnis keluarga. Bahkan, beberapa di antara mereka memiliki hubungan kerja sama langsung dengan Evans Corporation, perusahaan milik ayah Sean.

Namun di tempat ini, mereka bukan lagi pewaris, bukan pula wajah perusahaan. Mereka hanyalah sekumpulan pemuda pemudi yang mencari kebebasan dari tekanan dunia orang dewasa.

Dari dalam, bisa terdengar dentuman musik yang memecah keheningan pagi. Tawa, suara gelas bersentuhan, dan aroma minuman mahal yang bercampur dengan bau asap rokok yang khas.

Sean turun dari mobil, menenteng ranselnya, lalu melangkah masuk. Ia melirik sekilas ke arah sofa luar bangunan yang sudah dipenuhi minuman dan tumpukan kartu permainan.

Begitu pintu geser terbuka, suara riuh langsung menyambutnya.

“Pangeran Evans akhirnya datang juga....”

“Lihat siapa yang muncul setelah beberapa hari menghilang.”

Sean tersenyum miring, “Kalian ribut sekali,” ucapnya lalu meletakkan ranselnya di dekat pintu, dan bergabung dengan yang lain di sofa ruang utama.

Sean menghela napas sambil menatap pemandangan meja yang kacau. Botol kaca, sisa camilan, bahkan abu rokok berceceran di asbak.

“Pagi-pagi sudah mabuk,” gumamnya sambil menatap Leo yang tergeletak di sofa dengan tawa konyol yang menempel di wajahnya.

Leo menoleh malas, matanya separuh terbuka, lalu tersenyum lebar, “Pangeran Evans...” serunya dengan nada berat, lalu tanpa aba-aba langsung menyandarkan diri ke bahu Sean.

“Hei, lepaskan aku. Baumu mirip tong alkohol,” ucap Sean sambil mendorong Leo hingga pria itu jatuh lagi ke sofa.

Bastian yang duduk santai di sofa seberang, menatap pemandangan itu sambil terkekeh pelan, “Kau terlambat, Bro. Kita sudah mulai sejak semalam. Leo mengatakan ingin bertanding untuk menentukan siapa yang paling tahan minum,” ucapnya lalu menenggak minumannya.

Sean melirik Leo yang kini mendengkur pelan, “Dan jelas dia kalah.”

Bastian tertawa kecil, mengangkat gelasnya, “Kau benar. Seperti biasa.”

“Kalian memang tidak pernah berubah.”

“Dan kau juga,” sahut Bastian cepat, “Selalu datang paling akhir, tapi selalu jadi yang paling cerewet.”

Sean melirik tajam tapi bibirnya terangkat miring, “Aku sibuk, bukan pemabuk.”

Bastian mengangkat alisnya, menatap Sean dengan senyum setengah mengejek, “Sibuk atau kabur dari rumah, hah?”

Sean menghela napas panjang, lalu melempar botol kosong itu ke sofa di seberang.

“Percakapan pagi yang buruk,” gumamnya.

Bastian terkekeh lagi, “Aku hanya bercanda. Tapi serius, wajahmu kelihatan tidak beres. Bertengkar lagi dengan ayahmu?”

“Hm,” singkat Sean.

“Kau itu harusnya menurut saja pada ayahmu. Apa kau tidak takut hak warismu dicabut?”

“Untuk apa aku takut? Aku anak satu-satunya, maka aku yang akan menguasai semuanya.”

“Jangan terlalu percaya diri. Pikirkan kemungkinan terburuk. Bagaimana jika ayahmu menikah lagi, lalu punya anak dari istri baru. Dan karena kelakuan bodohmu selama ini, kau dicoret dari daftar penerima waris. Apa kau tidak pernah berpikir hal itu sebelumnya?”

Kalimat itu langsung menampar logika Sean. Ia membeku sejenak, membiarkan pikiran liar berkelebat di kepalanya.

Bayangan senyum Damian pagi tadi dan wanita yang duduk di samping ayahnya di meja makan kembali muncul. Wanita yang bahkan membuat ekspresi Damian terlihat berbeda. Sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Bagaimana jika mereka benar-benar memiliki hubungan?

Bagaimana jika wanita itu menjadi istri ayahnya?

Dan... bagaimana jika mereka memiliki anak?

Ia menelan ludah, wajahnya mendadak tegang.

Bastian yang memperhatikan perubahan ekspresi Sean segera tertawa kecil, “Sudah kuduga ada yang aneh dengan dirimu. Kenapa? Ayahmu punya kekasih?”

Sean memalingkan wajah cepat-cepat, lalu bersandar santai seolah tidak terjadi apa-apa, “Bukan urusanmu.”

Bastian mengangguk singkat. Ia tahu urusan keluarga Sean bukan sesuatu yang bisa disentuh sembarangan.

Tidak lama, suara langkah heels terdengar dari arah pintu.

Dua wanita muncul, wangi parfum mahal menyeruak bersamaan dengan gemerincing perhiasan yang mereka kenakan. Pakaian dari brand ternama membungkus tubuh mereka dengan sempurna, make-up tebal dan rambut bergelombang yang diurai indah menegaskan aura anak orang kaya yang sulit disembunyikan.

“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” pekik Emily begitu pandangannya jatuh pada meja yang dipenuhi botol minuman.

“Kita berencana untuk camping, tapi malah seperti ini,” ucap Isabel dengan nada ketus.

“Mereka memang tidak bisa diandalkan,” timpal Emily sambil meletakkan kopernya di samping ransel Sean. Ia menjatuhkan diri di sofa, tepat di samping Bastian.

“Setidaknya kalian bisa membereskan tempat ini dulu sebelum kami datang,” ucap Emily dengan tatapan yang menyindir ke arah Bastian.

Bastian hanya mengangkat bahu, “Kami hanya pemanasan sebelum berangkat.”

Sementara Isabel melangkah mendekati Leo. Ia mendengus lalu menunduk ke wajah pria itu yang mendengkur keras.

“Hei, bajingan! Bangunlah!” bentaknya, sambil menepuk pipi Leo beberapa kali.

“Mmm…” gumam Leo tanpa membuka mata.

Dan yang lain pun otomatis terkekeh melihat pemandangan itu.

“Dasar tidak berguna,” seru Isabel, kemudian melangkah ringan dan duduk di samping Sean.

“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Emily pada Sean sambil melipat tangan di dada, “Kau terlihat murung.”

Sean menghela napas, “Mungkin karena aku belum men-charge tubuhku.”

Emily berkerut, “Apa maksudmu? Tidak jelas.”

Bastian yang duduk di sebelahnya langsung terkekeh kecil, seolah paham arah pembicaraan Sean. Ia kembali meneguk minuman di gelasnya, “Percayalah, Emily, lebih baik kau tidak tahu maksudnya.”

Sean menoleh ke Isabel, “Kau tidak sedang datang bulan, kan?”

Isabel menatapnya tajam, “Kenapa? Mau membelikanku pembalut?”

Sean menyandarkan tubuhnya ke sofa, “Hibur aku. Pikiranku sedang kacau,” ucapnya dengan suara rendah, lalu menatap ke arah pintu kamar, dan dagunya sedikit terangkat untuk memberi isyarat.

Isabel mendengus, “Cepatlah! Sebelum aku berubah pikiran.” Ia bangkit dan berjalan lebih dulu.

Sean menyusul, dan tidak lama pintu kamar itupun tertutup rapat.

Emily menatap ke arah pintu dengan ekspresi tidak percaya, “Astaga... pikirannya hanya berputar pada satu hal saja. Hufft, aku tidak tahan mendengar desahan mereka,” ucapnya dengan muak, lalu berdiri dan melangkah keluar mencari ketenangan.

Bastian hanya tertawa pelan, lalu ikut berdiri, “Kau seharusnya sudah terbiasa.”

Emily mendengus dan melangkah keluar lebih dulu, sementara tawa rendah Bastian mengiringi langkah mereka menuju halaman depan.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!