Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 13 Rasa Bersalah
Leo bersandar lunglai di sofa ruang tengah apartemennya yang redup dan pengap. Semua gorden tertutup rapat, menolak masuknya seberkas cahaya yang mungkin bisa mengusir dingin dan muram yang menggantung di udara. Kaleng-kaleng kosong berserakan di lantai, sebagian tergeletak miring, meninggalkan noda lengket. Bau alkohol menusuk, seakan menempel di setiap sudut ruangan. Di tangannya masih tergenggam satu kaleng terakhir; ia meneguk isinya dengan lahap, seperti hendak menenggelamkan diri lebih dalam lagi. Begitu cairan itu habis, tangannya meremas kaleng hingga penyok, lalu melemparkannya begitu saja tanpa peduli arah.
Detik berikutnya ia merasakan denyutan di kepala — getar yang datang bukan dari luar, melainkan dari sesuatu yang menekan dari dalam. Wajahnya meringis; ia menempelkan telapak tangan di pelipis, berusaha menghentikan suara berputar yang tak mau reda. Jantungnya berdebar liar seperti burung yang terjaring; ia mencoba meremas dadanya sendiri seolah bisa menahan irama itu, meski tahu itu sia-sia.
Penyiksaan yang ia alami belum juga memuaskan rasa hampa itu. Dengan langkah goyah ia meninggalkan sofa, melewati tumpukan kaleng yang tak pernah sempat dirapikan. Tangannya gemetar saat membuka kulkas — bukan karena dingin, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih dingin di dalam dirinya. Ia meraih beberapa kaleng, satu demi satu, seolah setiap tegukan bisa menenggelamkan ingatan yang selalu muncul kembali di sela-sela pikirannya.
Di ambang kesadaran dan kehilangan, kenangan-kenangan pendek seperti kilasan lampu masuk: tawa yang dulu hangat, ucapan yang menggantung, sebuah pintu yang pernah tertutup—semua datang tanpa minta izin dan meninggalkan rasa bersalah yang pekat. Ia meneguk lagi, cairan itu menuruni tenggorokannya seperti jurus penawar yang sementara. Namun setelah tiap teguk, ruang di dalamnya terasa makin kosong, bukan penuh.
Di atas meja dapur berlapis marmer, ponsel Leo bergetar berulang kali—menampilkan panggilan tak terjawab dan pesan-pesan yang ia biarkan terkubur. Dengan napas terengah dan mata terpejam, ia sempat berusaha mengabaikannya. Namun akhirnya, dengan enggan, tangannya terulur meraih benda itu. Tatapannya kosong, tapi tetap bisa mengenali nama yang terpampang jelas di layar. Getaran berikutnya membuatnya menekan tombol hijau. Ia menyalakan mode speaker, lalu meletakkan ponsel itu kembali di meja.
“Cepat katakan, apa maumu?” suara Leo terdengar berat, serak, sekaligus dingin.
((Kau minum? Kenapa suaramu seperti itu?)) tanya seseorang di seberang telepon.
Leo menghela nafas berat, ”Bukan urusanmu.”
((Dingin sekali pada teman satu malammu ini?)) godanya membuat Leo memicingkan mata.
”Jika satu malam, kenapa repot-repot menyimpan nomorku dan menerorku, sialan?” ketus Leo, kini ia duduk di kursi panjang meja bar sambil kembali meneguk minuman.
((Apa kau butuh teman minum? Beritahu alamatmu, aku akan datang ke sana, ya?))
Leo terdiam sejenak. Matanya melayang entah kemana, hendak berpikir untuk menerima tawaran dari orang di balik telepon itu atau tidak. Beberapa detik kemudian, ia membuang nafas. Ia raih ponselnya dan dengan cekatan mengirimkan posisi apartemen dengan map digital.
”Jika tidak datang dalam waktu 10 menit, tidak akan kubukakan pintu.”
Orang di balik telepon terkekeh, suaranya halus, terkesan lebih tinggi dibanding suara Leo yang berat dan rendah. ((Baiklah, aku akan segera datang padamu. Tunggulah aku dengan sabar, hmm?))
Setelah kalimat terakhir, telepon tertutup dengan sendirinya. Leo tidak peduli, ia hanya kembali meneguk sebelum kemudian rubuh di atas meja bar. Matanya terpejam, kadar alkohol di tubuh memaksanya untuk pergi ke alam mimpi meski ia tidak mau—
”Cukup kita berdua saja, kan?”
Suara itu terdengar samar, mengambang di antara kesunyian. Leo segera sadar—ia sedang bermimpi. Segalanya tampak kabur: hamparan padang rumput yang samar, langit biru yang samar, pepohonan di kejauhan yang hanya bayangan samar. Di pangkuannya, Anna terbaring dengan kepala bersandar pada kakinya—juga samar, seolah akan larut setiap saat. Bahkan suara di sekeliling pun terasa terendam, seakan dunia menutup telinga dari keberadaan mereka.
”Adikku juga penting bagiku. Tidak mungkin dia kutinggalkan seorang diri di saat aku sedang mencari menyamanan seperti ini, kan?” Itu perkataan yang dilontarkan Anna. Leo masih tampak tidak setuju. Ia merasa dunia kecil mereka cukup diisi berdua. Ia tidak ingin ada orang baru, meski itu adik Anna sendiri.
”Leo...” Anna yang melihat ekspresi tidak setuju Leo pun bangkit, ia duduk menghadap pria yang masih memanyunkan bibirnya. ”Aku sangat sayang pada Adikku. Aku berharap kau juga bisa menyayanginya seperti kau menyayangiku. Ayo kita jaga dia bersama.”
Tidak ada yang tahu, ucapan itu justru menyeret Leo pada takdir dan perasaan yang salah. Sejak Anna pergi dari dunia ini, hidupnya runtuh. Dunia seakan ikut lenyap bersamanya. Ia tampak tegar, namun ketegaran itu hanya ada karena kehadiran Anna. Tanpa perempuan itu, Leo kehilangan pijakan. Tubuhnya lunglai, hatinya kosong, arah hidupnya kabur.
Rasa sakitnya menyesakkan. Ia hanya mampu berdiri jauh, menyaksikan pemakaman Anna. Di bawah naungan pohon rindang, dengan pakaian hitam yang semakin menegaskan kelamnya suasana. Ia tak sanggup menatap wajah pucat yang tak bernyawa itu, wajah yang sebentar lagi ditelan tanah basah dan ditaburi bunga-bunga putih beraroma getir.
Leo benar-benar hancur. Air matanya jatuh tanpa henti, mengalir deras di pipi lalu bercampur dengan hujan yang perlahan membasahi bumi. Namun tak ada yang mampu menampung kesedihannya; tidak ada tempat untuk menaruh rasa kehilangan itu. Selama ini hanya Anna—kehadirannya saja sudah cukup untuk mengangkat segala beban. Dan kini, bersama kepergian Anna, dunianya ikut lenyap.
Namun kepergian Anna tidak serta-merta menghapus dunia kecil yang pernah mereka jalani. Seakan tanpa pamit yang layak, Anna meninggalkan sebuah tanggung jawab besar di pundak Leo yang diam-diam rapuh. Malam-malam setelah pemakamannya berlalu dengan sepi yang menghantam, hingga kabar itu datang: Lya—adik Anna—mengurung diri, menolak keluar dari kamarnya.
Leo ingin membiarkan dia—seseorang yang tidak bisa menjaga Anna untuk tetap berada di dunia ini. Hingga membuat Anna harus menanggung beban berat seorang diri ketika dirinya tidak ada.
Namun, ingatan tentang ucapan Anna kembali menyeruak: permintaan sederhana agar ia tetap menyayangi orang yang juga Anna sayangi. Andai bukan karena itu, Leo tidak akan peduli. Ia tak akan repot-repot memberi penghiburan, apalagi kembali menyentuh keluarga itu.
Tapi kata-kata yang terdengar seperti janji tanpa ikatan itu seolah bergerak dengan sendirinya, menuntun Leo hingga ia berdiri di depan kediaman Anna—berhenti tepat di depan pintu kamar Lya.
Sebelum mengetuk pintu kamar Lya, tatapan Leo lebih dulu jatuh pada dua orang itu—orang yang menurutnya tampak begitu bodoh. Bagaimana mungkin mereka gagal menjaga satu anak saja, namun masih sanggup menegakkan wajah angkuh seakan tak bersalah?
Leo menghela napas panjang, membuang muka seolah menepis rasa muak yang mengganjal dadanya. Barulah, dengan sisa kesabaran yang dipaksakan, tangannya terangkat dan mengetuk pintu perlahan.
”Lya? Ini aku...” sahut Leo dari luar kamar. Tidak ada jawaban. Leo menelengkan kepala. Merasa benar-benar muak. ”Lya... Kau tidak bisa begini terus... Setidaknya bicaralah padaku, hmm?” sambung Leo masih setengah berusaha, namun masih tidak ada jawaban. Di saat ketika Leo hendak mencapai titik ingin mendobrak pintu, secara kebetulan pintu terbuka—dibuka oleh pemilik kamar yang belum ada wujudnya.
Tanpa sepatah kata pun, Leo melangkah masuk setelah memberi isyarat tegas pada kedua orangtua Lya agar tidak ikut campur. Begitu berada di dalam, ia langsung disambut kegelapan pekat yang menyelubungi kamar itu. Udara di dalam begitu dingin hingga membuat kulitnya merinding karena ia menggunakan kaus tanpa lengan.
Sekilas cahaya dari pintu yang masih terbuka sempat menyingkap sosok Lya, berdiri membelakangi Leo dengan rambutnya yang mulai memanjang. Dalam hitungan detik, Leo menyalakan lampu—dan seketika cahaya menyingkap pemandangan yang membuat napasnya tercekat.
Kamar itu berantakan. Barang-barang berserakan tanpa arah, seolah dilemparkan dengan amarah. Namun yang membuat dada Leo terhantam adalah keberadaan benda-benda tajam dengan noda merah yang jelas tak seharusnya ada. Seketika, ia tak bisa lagi berpura-pura tenang.
Dengan gerakan spontan, Leo meraih bahu Lya dan membalikkan tubuh anak itu menghadapnya.
Jantung Leo berdegup tak karuan begitu sorot matanya menangkap jelas keadaan Lya. Lingkaran hitam tebal membingkai mata kosong itu. Kulitnya pucat kusam, bibir pecah penuh luka, rambut berantakan kusut tak terurus. Dan yang paling menusuk—bekas-bekas luka segar di lehernya, sebagian masih mengalirkan darah tipis yang menodai kulit pucat itu.
“LYA!”
Seruan Leo pecah, penuh kepanikan. Matanya membelalak melihat gadis itu menatap kosong, seolah jiwanya telah tercerabut. Tidak ada respon, tidak ada tanda kehidupan selain tubuh yang masih duduk di sana.
“Tunggu—rumah sakit! Kita harus ke rumah sakit!” Suara Leo gemetar, tangannya buru-buru merogoh saku celana mencari ponsel. Namun sebelum sempat menghubungi siapa pun, gerakan Lya menghentikannya.
Seperti adegan yang diperlambat, Leo menoleh kembali. Ia menemukan pandangan Lya yang gusar, bibir pecah-pecahnya bergerak membentuk senyum getir—senyum yang tak sanggup disertai air mata.
“Kak Anna... Maafkan aku... Semua karena aku...”
Detik seakan membeku. Waktu berhenti berputar. Melihat sosok yang rapuh di depannya, tubuh Leo seperti tersengat listrik. Dalam hampa itu, ia tak hanya melihat Lya—melainkan bayangan Anna.
Anna dengan kelemahannya. Anna dengan senyum yang sama getirnya. Senyum yang dulu membuat Leo bertekad, dengan seluruh dirinya, untuk menjadi rumah tempat Anna bisa pulang.
Merasa pikirannya kacau, Leo membiarkan ponsel tergeletak begitu saja. Ia memilih jalan paling sederhana—dan paling manusiawi—memeluk Lya.
Pelukannya begitu erat, seolah ingin memindahkan ketenangan yang tak pernah benar-benar ia punya, sambil menyalurkan rasa takut yang mendera dirinya sendiri.
Ya, Leo takut. Baru beberapa menit lalu ia begitu yakin tidak peduli, namun kenyataannya berbeda. Melihat sosok yang dulu pernah begitu disayangi Anna kini hancur di hadapannya, seolah-olah ada sesuatu yang meremukkan hatinya dari dalam.
Anna memang telah tiada, tapi dunia kecil mereka tidak ikut lenyap. Dunia itu tetap ada—dan kini hanya berisi dua orang. Rasanya seperti Anna sengaja pergi sambil menitipkan satu beban terakhir, sebuah tanggung jawab yang tak bisa dilepaskan, yang harus Leo pikul sampai kapan pun.
Awalnya Leo hanya ingin mencoba menjaga Lya, karena dialah satu-satunya bagian dari Anna yang masih tersisa. Wajahnya, senyumnya, bahkan sikap rapuhnya seolah menghadirkan kembali sosok yang telah pergi. Meski di awal Leo masih menyimpan rasa menyalahkan, perlahan ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Dunia kecil itu, yang dulu terasa hampa setelah Anna tiada, kembali memiliki denyut. Untuk pertama kalinya sejak lama, Leo merasa dirinya punya arah, punya tempat untuk dibutuhkan.
Hari-hari bersama Lya pun membuat Leo semakin sulit membedakan batas antara kepedulian dan kebutuhan. Setiap kali Lya menatapnya dengan mata kosong atau berusaha tersenyum meski luka masih jelas terlihat, ada sesuatu di dalam hati Leo yang bergetar. Ia tidak lagi hanya melihat Lya sebagai adik Anna, melainkan cermin samar yang menghadirkan kembali kehangatan yang pernah ia miliki bersama Anna. Seakan-akan, dengan menjaga Lya, ia bisa memperbaiki kegagalan masa lalu—menghapus rasa bersalah yang tak pernah berhenti menghantui.
Namun dari perasaan itu, tumbuh pula rasa takut. Takut jika suatu hari Lya ikut lenyap, meninggalkannya seorang diri lagi. Ketakutan itu perlahan menelan logika, mengubah kasih sayang menjadi kebutuhan mutlak. Leo mulai merasa dirinya tidak bisa hidup tanpa kehadiran Lya. Ia ingin selalu ada di dekatnya, memastikan Lya tidak jatuh terlalu jauh, memastikan gadis itu tidak pernah berpaling ke siapa pun selain dirinya.
Semakin lama Leo secara sadar, mengubah rasa takut itu menjadi sesuatu yang lebih gelap. Obsesi. Leo tidak lagi sekadar menjaga Lya—ia ingin memilikinya sepenuhnya. Baginya, Lya bukan hanya tanggung jawab terakhir dari Anna, melainkan satu-satunya alasan ia bisa bertahan di dunia yang kejam baginya, yang seakan tidak ada siapapun selain dia dan Lya.
Namun jika Leo terlalu terang-terangan memperlihatkan perasaan aneh itu, ia takut Lya akan menjauh. Selama ini, tanpa menyadarinya, Lya hanya menjadikan dirinya sebagai pengganti sosok kakak yang telah tiada. Leo tahu benar, Lya merasa tidak akan bisa bertahan tanpa bayangan Kak Anna yang selalu mendukungnya. Dan di situlah Leo masuk, mengisi kekosongan itu. Maka dari itu, ia memilih mengubur perasaan yang makin menekan dadanya. Baginya, selama bisa tetap berada di sisi Lya, dunia kecil mereka tidak akan pernah berubah.
Tapi ia salah. Setelah kematian Anna, ini adalah kali kedua Leo lengah dalam menghitung sesuatu. Tanpa tanda-tanda, Lya mulai menemukan seseorang. Sosok baru yang entah bagaimana berhasil menarik perhatiannya. Perlahan, ketergantungan Lya pada Leo mulai memudar, seperti benang halus yang satu per satu terlepas. Dan bagi Leo, itu bukan sekadar kehilangan—itu ancaman. Ancaman bahwa dunia kecil yang ia yakini abadi, bisa runtuh sekali lagi.
Orang itu—sosok yang kini menarik perhatian Lya—Leo melihat bagaimana orang itu kerap menyakiti, menyudutkan, dan menekan Lya tanpa peduli batasan. Setidaknya, begitulah keyakinan yang tumbuh dalam pikiran Leo. Dan keyakinan itu cukup untuk membuatnya semakin terperosok dalam frustrasi.
Setiap luka baru yang melekat pada Lya, setiap gurat sakit yang bukan berasal dari masa lalu mereka bersama, membuat Leo merasa gila. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa penderitaan Lya kini dipicu oleh kehadiran orang lain—seseorang di luar 'dunia kecil' yang selama ini ia jaga dengan susah payah.
Namun yang paling menghancurkan adalah fakta bahwa ada orang lain yang peduli, orang lain yang bisa masuk ke dalam ruang yang selama ini hanya menjadi milik Leo dan Anna. Kesadaran itu membutakan mata Leo, mendorongnya semakin jauh ke dalam kegelapan hingga akhirnya ketika mendengar Lya mengalami luka setelah jatuh dari tangga karena melindungi ’orang itu’, Leo terpojok.
Pagi itu, Leo mengira ia sudah berhasil mendinginkan kepala. Namun begitu nama 'Ben' kembali meluncur dari bibir Lya, sesuatu dalam dirinya meledak. Kabut cemburu, panik, dan takut bercampur menjadi satu, menutupi pandangan sehatnya. Tanpa bisa menahan diri, ia mendorong Lya ke atas tempat tidur—didorong oleh niat kotor untuk memilikinya sepenuhnya, agar tak ada lagi yang bisa merebut gadis itu darinya.
Tamparan keras yang mendarat di wajahnya seketika membuyarkan segalanya. Leo terpaku. Seolah tersadar dari mimpi buruk yang justru ia ciptakan sendiri, pikirannya menjadi benar-benar kosong. Rasa bersalah dan ngeri menghantam dirinya sekaligus. Ia tidak lagi melihat jalan ke depan, hanya kehampaan yang menyayat.
Yang bisa ia lakukan hanyalah berlari. Meninggalkan Lya, meninggalkan amarah dan ketakutan yang baru saja menguasainya. Kakinya membawanya menuju satu-satunya tempat yang dulu pernah menjadi dunianya—tempat di mana ia merasa dibutuhkan, dan ia pun membutuhkan. Anna. Meski kini hanya tersisa nisan, Leo berlari ke sana dengan harapan kosong: berharap bisa kembali menemukan dunia yang sudah lama pergi bersama Anna.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿