Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Karena Dia
Bu Hanim tidak bisa tidur. Malam-malamnya diisi dengan dendam yang membara. Konferensi pers Ikhsan telah mempermalukannya, menyingkap kejahatan dan kebohongannya di mata publik. Wajahnya viral, bukan lagi sebagai sosialita berkelas, melainkan sebagai penjahat yang brutal. Dan Mulia, wanita yang ia benci, kini malah akan menikah dengan Ikhsan. Ini tak bisa dimaafkan.
"Dia harus membayar, Dinda. Dia harus membayar mahal," bisik Bu Hanim pada dirinya sendiri di dalam mobil SUV hitam yang diparkir agak jauh dari Rumah Sakit Medika Sejahtera.
Dinda duduk di kursi penumpang, wajahnya tampak tegang dan takut. "Ma, jangan gila! Kita bisa dipenjara!"
"Diam, Dinda! Kamu tidak tahu apa-apa!" bentak Bu Hanim. Di pangkuannya, tersembunyi sebuah pistol kecil yang didapatkannya dari kenalan lamanya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena luapan amarah.
Bu Hanim sudah berjam-jam mengawasi pintu utama rumah sakit. Ia tahu, Ikhsan biasanya akan keluar larut malam setelah memastikan semua urusan rumah sakit beres. Ia akan menyingkirkan Ikhsan, satu-satunya penghalang antara dia dan kehancuran Mulia.
"Itu dia!" seru Bu Hanim.
Di bawah cahaya lampu jalan yang remang-remang, Ikhsan terlihat keluar dari lobi rumah sakit. Ia berbicara sebentar dengan petugas keamanan, lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Napas Bu Hanim memburu. Jantungnya berdebar kencang. Ia meraih pistol di pangkuannya.
"Mama, jangan!" Dinda mencoba merebut pistol itu, tapi Bu Hanim terlalu cepat.
"Dia yang memulainya!" Bu Hanim berteriak.
Bu Hanim menurunkan kaca jendela mobilnya sedikit. Tangannya terangkat, pistol diarahkan lurus ke dada Ikhsan. Ia menarik pelatuknya.
DOR!
Suara tembakan yang memecah kesunyian malam itu terdengar nyaring dan mengerikan. Ikhsan tersentak, merasakan nyeri yang menusuk di bahu kirinya. Darah seketika merembes membasahi kemejanya. Ia sempat melihat mobil hitam yang melaju kencang menjauh, di dalamnya ia samar-samar mengenali wajah Bu Hanim.
"Aaargh!" Ikhsan jatuh tersungkur di aspal. Rasa sakit itu tak tertahankan.
Suasana heboh. Petugas keamanan yang tadi sempat berbicara dengannya langsung berlari panik. "Tolong! Ada yang tertembak! Direktur Ikhsan tertembak!" teriak salah seorang dari mereka.
Mulia, yang kebetulan sedang berada di lobi, mendengar suara tembakan itu. Jantungnya mencelos. Ia merasakan firasat buruk. Ia berlari keluar, menuju sumber suara.
"Ikhsan!" Mulia berteriak histeris saat melihat Ikhsan terbaring di tanah, dengan darah membasahi bahunya. Mulia berlutut di sampingnya, air matanya langsung membanjiri pipinya.
****
"Ikhsan! Kamu tidak apa-apa? Siapa yang melakukan ini?" Mulia memeluk kepala Ikhsan.
Ikhsan mencoba tersenyum, tapi yang keluar hanyalah ringisan. "Bu... Hanim..."
"Bu Hanim?" Mulia terkejut. Mulia tidak menyangka, Bu Hanim akan seberani ini.
Petugas keamanan dan beberapa perawat datang, membawa Ikhsan ke ruang gawat darurat. Mulia ikut berlari, tangannya menggenggam tangan Ikhsan erat.
"Kamu harus kuat, Ikhsan. Kamu harus kuat," Mulia memohon.
"Aku... tidak apa-apa, Mulia," Ikhsan berbisik, suaranya lemah.
Di ruang gawat darurat, dokter dan perawat langsung sigap. Mulia diminta menunggu di luar. Ia berdiri di sana, mondar-mandir, hatinya diliputi rasa takut dan khawatir. Ia tidak bisa lagi menahan air matanya.
"Ya Tuhan... kenapa ini terjadi padanya?" Mulia berbisik, memukul dinding. Ia merasa, ia yang bersalah. Jika ia tidak ada, Ikhsan tidak akan dalam bahaya.
Tiba-tiba, Kartika datang. Wajahnya pucat pasi. "Mulia! Ada apa? Kenapa Ikhsan tertembak?"
Mulia memeluk Kartika erat. "Tante... Bu Hanim yang melakukannya. Dia menembak Ikhsan."
Kartika terkejut. Ia tidak menyangka, Bu Hanim akan seberani ini. "Aku akan laporkan ini ke polisi, Mulia. Aku akan pastikan mereka mendapatkan balasan yang setimpal."
Mulia mengangguk. Ia tidak menolak lagi. Ia tahu, ia harus melawan. Ia tidak bisa lagi membiarkan Bu Hanim dan Dinda menghancurkan hidupnya dan orang-orang yang ia cintai.
Setelah beberapa jam, dokter keluar dari ruang gawat darurat. "Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaan Ikhsan?" tanya Mulia.
"Pelurunya sudah dikeluarkan. Dia kritis, tapi stabil," jawab dokter. "Dia beruntung, pelurunya tidak mengenai organ vital."
Mulia menghela napas lega. Ia merasa, ia diberi kesempatan kedua. Ia menoleh ke arah Kartika. "Tante, kita harus melakukan sesuatu. Kita harus melawan mereka."
Kartika mengangguk. Matanya dipenuhi tekad. "Kita akan melawan, Mulia. Kita akan pastikan, mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal."
Mulia tahu, ini adalah awal dari perang yang sesungguhnya. Ia tidak tahu, bagaimana mereka akan melawan. Tapi, ia tahu satu hal. Ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan berjuang, ia akan membuktikan pada semua orang, bahwa ia tidak bersalah. Dan ia akan membalaskan dendam Ikhsan.
****
Dendam adalah api yang membakar, dan bagi Bu Hanim, api itu kini berbalik membakar rumah tangganya sendiri. Setelah insiden penembakan Ikhsan, yang kini dalam penyelidikan polisi, Bu Hanim hidup dalam ketakutan dan amarah yang tak terkendali. Ia yakin, semua kesialan ini disebabkan oleh satu nama: Mulia Anggraeni.
Sore itu, Bu Hanim duduk di ruang keluarga rumah mewahnya. Ponsel Dinda berdering tanpa henti. Dinda terlihat pucat, ia menyerahkan ponselnya pada sang Ibu.
"Mama harus lihat ini," bisik Dinda, suaranya gemetar.
Bu Hanim mengambil ponsel itu. Layarnya menampilkan sebuah link berita dari akun gosip online yang tengah viral. Judulnya terpampang besar: "Direktur Pemasaran Menggara Group Terciduk Check-in dengan Karyawati Muda di Hotel Bintang Lima!"
Bu Hanim menekan video itu. Rekaman buram menunjukkan Pak Wibowo keluar dari kamar hotel bersama seorang wanita muda. Bukan Mulia Anggraeni, melainkan wanita lain, yang bahkan jauh lebih muda dan berpakaian minim. Wajah Pak Wibowo terlihat panik saat kamera menyorotnya.
Melihat itu, Bu Hanim tak bisa menahan diri. Sebuah raungan keras keluar dari tenggorokannya, raungan yang dipenuhi rasa sakit, malu, dan amarah.
"Pembohong! Bajingan!" teriak Bu Hanim.
Ia melempar ponsel itu hingga menghantam dinding dan pecah berkeping-keping. Bu Hanim bangkit, matanya merah menyala. Ia melihat vas bunga kristal mahal di atas meja. Dengan tenaga brutal, ia menyambar vas itu dan membantingnya ke lantai. PRANGG! Suara pecahan kaca memekakkan telinga.
"Mama! Jangan!" Dinda mencoba menenangkan, tapi Bu Hanim sudah kalap.
"Aku! Aku sudah melakukan segalanya untuknya! Aku menjaga nama baiknya! Tapi dia... dia membalasku seperti ini?!" Bu Hanim meraung.
Ia meraih patung perunggu kecil yang menjadi hiasan ruang tamu dan melemparkannya ke televisi layar datar. DUAKK! Layar itu retak, menampilkan gambaran Pak Wibowo dan wanita itu yang kini menjadi meme di media sosial.
"Rumah tangga kalian hancur, Ma!" Dinda mulai menangis histeris. "Papa menghancurkan kita!"
"Tidak! Bukan dia!" Bu Hanim berbalik, menatap Dinda dengan mata liar. "Ini semua gara-gara wanita itu! Mulia Anggraeni!"
"Mulia? Tapi itu bukan Mulia, Ma!" Dinda membantah. "Itu wanita lain!"
"Tidak peduli!" bentak Bu Hanim, amarahnya menolak logika. "Jika saja Mulia tidak merusak segalanya! Jika saja dia tidak datang ke kantor! Jika saja dia tidak merusak citra suamiku sehingga suamiku frustrasi dan mencari wanita lain! Ini semua salahnya!"