Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enambelas
Suasana cell yang sunyi dan Athena tidak membenci kesendirian. Ditemani sebuah buku berukuran lebih besar dari sepetak keramik yang jadi alasnya tidur. Athena hidup dalam lingkup yang semua orang sebut sebagai ketakutan.
Kasandra dan Avrem terdiam diruang tunggu. Berhadapan dengan anak perempuannya berbatas jeruji besi, menghubungkan kerindukan yang tidak bisa terobati semudah itu. kurang lebih tujuh bulan setelah keputusan hakim yang menjebloskannya kepenjara tanpa bukti. Apakah ini sebuah penyesalan yang akan dia ratapi disisa hidupnya? Bahkan waktu yang seharusnya jadi pena dalam hidupnya kini direnggut begitu saja.
“Kita akan mengusahakan lagi, Athena”
Deru air mata yang mengisi ruangan ini, gema yang tidak akan berujung. Athena sudah muak melihat kesedihan yang entah kapan akan berakhir. Sementara tangisan itu setiap hari seakan tidak ada pergerakan untuk menepati ucapannya.
“Tidak ada gunanya”
Avrem menatap lipatan kertas yang dia selipkan antara jeruji yang ada. Berharap petugas yang mengawasinya tidak curiga, Avrem segera menyimpannya. Tak peduli Kasandra dengan tangis justru menutup mata.
“Lakukan apapun yang bisa Papah lakukan, aku tidak yakin kalian menemukan jalan lain, selain membebaskanku dulu”
“Athena, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
“Mendapatkan keadilan”
Avrem menggeleng pelan, menurutnya justru Athena akan melakukan hal yang jauh lebih besar setelah bebas dari penjara. Yang bisa jadi akan jauh lebih mengerikan resiko yang dia dapat dan akan jadi boomerang yang luar biasa jika dia tidak waspada.
Khalil meletakkan sebotol air mineral tepat didepan meja Aletha. Membuyarkan lamunan yang entah apakah ini bisa disebut lamunan saat pikirannya berputar mengelilingi isi sekolah ini.
Gadis itu beranjak, bersama tas hitam yang selalu merangkul ditubuhnya. Diikuti Khalil yang lagi-lagi menghela napas karena sikap dingin Aletha. Tepat dibelakang sekolah, tempat kejadian perkara tiga tahun yang lalu. Tertekam jelas bukti tangkapan layar berita di ponselnya. Aletha menghela napas lebih panjang dari biasanya. Membuat Khalil tersadar bahwa yang gadis itu lewati sudah jauh lebih besar dari hari ini.
“Kita harus temuin orangnya”
Aletha mendongak.
“Kalo kita ke kantor polisi itu nggak mungkin, kan?”
Aletha masih diam, matanya masih tertuju pada Khalil. Pria yang secara tiba-tiba menyetujui keputusan yang sempat dia tentang.
“Nggak ada yang nggak mungkin”
“Tapi itu jalan terakhir” Khalil tersenyum.
Siang ini, tepat di belakang kelas ditemani angin sepoi dan sebotol soda dingin. Sementara gadis itu hanya diam menatap langit sebagai perwakilan peristiwa yang dia bayangkan. Aletha menyerahkan sebuah foto dan kertas yang sempat dia temukan pagi ini.
“Omongan lo ada yang nggak valid”
Khalil terdiam dalam kejut. Selama ini dia mengenal Sean, ternyata untuk tidak saling mengenal. Pria itu bisa melihat dengan jelas tubuh Sean berdiri diantara anggota berseragam palang merah. Tentu dengan senyum kebahagiaan yang terpancar pada bola matanya. Tatapan yang tidak pernah Khalil lihat sebelumnya, entah dalam bentuk foto ataupun secara langsung.
Yang Khalil tahu, hidup Sean itu cenderung menyedihkan. Berbaur dengan orang-orang arogan yang membuat sifat itu terturun padanya. Sifat egois yang selama ini tertonjol benar tidak mewakilkan apa yang dia lihat.
“Sean Ahmad ada di list keanggotaan PMR tahun itu, gue yakin dia tahu banyak”
Khalil membuka lembar kertas tertoreh tinta, membaca setiap nama yang ada disana dengan teliti.
“Kita harus bicara sama dia, Khal” gadis itu menoleh, pada busur mata yang masih belum percaya dengan kenyataan.
“Tahu dimana orangnya aja enggak, gimana mau bicara sama dia, Al?”
Suara deheman membuat kedua pasang mata tertuju pada sumbernya. Kali ini hanya suara angin yang jadi teman mereka. Tidak kurang dan tidak lebih, kesunyian kembali menyelimuti bagaimana cara mereka saling mengintimidasi. Aletha kembali pada sudutnya, membiarkan Khalil bangkit menghampiri Niko.
“Apapun rencana kalian, gue nggak akan setuju lo terlibat, Lil”
Aletha beranjak, hendak meninggalkan mereka berdua. Pasalnya sejak awal, bukan Aletha yang menyeret pria itu masuk pada lingkaran ini. Dia sendiri yang sukarela untuk bergabung padahal sang pemilik rumah sudah memintanya untuk pergi. Dia hanya bersikap dewasa dengan tidak mengusirnya saja.
“Lo nggak ngerti”
Ujung lorong, tepat arah pandangnya pada bercak darah yang masih tersisa, aroma yang belum sempat Aletha rasakan kala itu. Anyir yang seharusnya sudah hilang ditelan masa, kali ini tercium lebih segar seperti baru saja darah itu mengalir ditubuh Revano. Setetes air mata jatuh saat jiwanya seakan meminta merekam ulang adegan dimasa lalu.
“Ini bahaya, Lil”
“Iya, kali ini lo tahu. Gue harus tahu dimana Sean, gue harus ketemu sama dia, dan kita bisa kaya dulu lagi”
“Ini semua demi kepentingan lo doang?”
Khalil dan Niko menatap punggung Aletha. Tidak ada gerak apapun kecuali alam, decitan burung atau hanya suara dedaunan yang tersapu angin. Lebihnya suasana dingin menyentuh sampai tulang, kecuali pada sang pemilik sifat dingin itu.
“Gue nggak pernah maksa, gue udah pernah minta dia pergi karena sejak awal ini bukan cuman kepentingan gue, tapi karena dia butuh”
Niko kembali menatap Khalil. Dari semua teman yang ada dilingkup Khalil berada, Niko adalah salah satu yang tahu bagaimana cara Khalil bertahan hidup. Mengejar segala ketertinggalan yang kata orang-orang itu nyata. Padahal dirinya sendiri yang sudah melangkah terlalu jauh. Obsesinya tentang belajar dan bagaimana dia mengagung-agungkan Sean, pria yang ada pada setiap motivasi hidupnya.
Bagi Khalil, Sean memang arogan dan sombong. Tapi Sean itu adalah tipe manusia yang ideal. Menguasai banyak ilmu yang tidak sembarangan orang tahu. Dari Sean bahkan Khalil belajar banyak hal, tentang hidup, dan bagaimana cara menghidupi. Sean itu pintar, dia bahkan memenangi banyak olimpiade sampai jenjang yang Khalil tidak ketahui.
Aletha melanjutkan langkahnya meninggalkan Niko bersama Khalil. Jejak air mata dipipinya terhapus kasar oleh punggung tangan. Tidak mungkin jika Sean adalah tokoh utama dalam pembunuhan ini, sementara Sean ada pada setiap perjalanan foto itu bersama Revano.
Saat ada pada situasi yang mendesak, cobalah berpikir negatif.
Praduga atau kesimpulan sementara yang dilihat dari sudut pandang buruk tanpa bukti yang kuat, dan sering kali berakar pada rasa takut, ketidakpercayaan, serta rasa cemas berlebihan.
Gadis itu berusaha mengatur arah kepalanya pergi, bagaimana caranya berpikir lebih logis dari terakhir kali dia mencium aroma anyir di tempat itu.
To Be Continue...