Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enambelas
Khalil memarkirkan motornya tepat didepan halaman rumah Aletha. Menatap Aletha yang entah sudah sejak kapan duduk di teras dengan laptop dan beberapa kertas dimeja. Harusnya, diumur ini bukan demi memberantas kasus pembunuhan yang Khalil lakukan. Tapi lebih menjurus pada percintaan remaja atau prestasi yang akan dibanggakan kelak.
Pria itu menghela napas panjang setelah meletakkan helm pada jok mortornya. Melangklah lebih dekat untuk tahu ide gila apa lagi yang teman barunya itu akan bicarakan dengannya.
“Jadi apa lagi?”
“Dari semua foto ini, cumann dia yang selalu ada disamping Revano”
Khalil terdiam saat sebuah foto baru yang diberikan Aletha terletak diatas meja, foto yang tidak asing dipikiran pria itu.
“Kita harus cari dia”
Khalil menggeleng, “Kita nggak tahu dia dimana sekarang, lo harus tahu fakta kalo gue dan Delleta sahabat dia sejak kecil, tapi kita udah nggak saling komunikasi”
“Sejak?”
Khalil hanya diam. Setelah kedua sahabatnya masuk ke Samudra High School, Khalil sudah jarang sekali bertemu atau berkomunikasi dengan kedua sahabatnya, terutama Sean. Bahkan setelah sekian tahun dia memutuskan untuk bergabung di sekolah itu, Delleta selalu memaksanya untuk menggunakan semua kepintarannya ditempat yang benar. Setelah akhirnya penolakan yang tidak berdasar itu justru dia gunakan sebagai gerbangnya masuk ke sana. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang justru memancing kecurigaan. Tentang pada akhirnya Delleta dan Sean yang menghilang begitu saja. Bahkan kedatangan Aletha.
Jadi menurutnya, justru keputusan untuk bergabungnya pada misi bersama Aletha bisa juga membantunya menemukan jawban dari pertanyaan itu. Justru menguntungkan jika kasus ini bisa mempertemukannya dengan Sean dan Delleta seperti dulu.
Simbiosis mutualisme, dimana kedua pihak yang terlibat saling mendapat keuntungan.
“Kita harus mulai dari mana?”
“Kita tidak akan pernah mulai dan tidak akan pernah mengakhirinya”
Khalil menghela napas, kenapa sih gadis ini selalu punya jawaban yang terkesan menyebalkan. Dengan gayanya yang datar dan dingin selalu membuatnya merinding. Bahkan ditengah malam yang sunyi, hanya ditemani akumulasi bahwa Delleta dan Sean tahu semua tentang kematian Revano.
“Gue pernah lihat ini di kamarnya Sean”
“Benar karena mereka berteman”
“Aletha, bisa nggak buat nggak bersikap horror kaya gini?”
“Jadi lo minta gue kaya gimana?”
“Yang ceria atau sekiranya senyum dikit” Khalil tersenyum, seakan memberikan contoh pada lawan bicaranya. Tapi tidak berhasil, dia justru terdiam dengan laptop yang terus menyapa dipangkuannya. Pandangan terfokus pada setiap abjad yang tersusun rapih dengan gambar.
“Apa selanjutnya?”
“Lo bilang bisa akses ruangan yang nggak bisa gue akses tanpa kecurigaan, menurut lo ruangan apa yang bisa jadi tempat penyimpanan dokumen rahasia, kecuali gudang?”
Khalil tertawa. Mana mungkin gudang dijadikan tempat penyimpanan berkas rahasia, kecuali kalau orang-orang memang sengaja menutupi ini semua dengan halus, tanpa jejak.
“Bisa jadi gudang, Al”
Aletha menoleh, menatap Khalil yang berubah ekspresi jadi lebih dingin. Selain ruang kepala sekolah dan gudang, Aletha hanya memikirkan sebuah ruangan yang tidak begitu dia yakini akan bisa dijamah. Laboratorium biologi lantai dua, suatu ruangan yang belum sempat dia masuki dan jamah lebih lanjut.
—
“Aletha, kamu tidak akan ijin dalam sesi olahraga pagi ini kan?”
Aletha sejenak diam, menatap siswa-siswi kelasnya sibuk melakukan pemanasan dengan seragam olahraga mereka. Sementara dirinya masih setia berdiri di sudut lapangan dengan jas sekolah yang sama. Maniknya kembali pada sang lawan bicara, menatap kaku sebagai jawaban.
“Haid hari pertama?”
“Iya, saya harus ke UKS”
“Baiklah, saya ijinkan”