NovelToon NovelToon
Ketika Dunia Kita Berbeda

Ketika Dunia Kita Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: nangka123

Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30: Putusan sidang

Keesokan harinya ruang sidang siang itu penuh sesak. Warga desa duduk rapi di kursi pengunjung, wajah mereka tegang sekaligus berharap. Fanda menggenggam erat tangan Andre, sementara Zul duduk di kursi terdakwa dengan wajah dingin. Ferdi menatap tajam dari bangku pengunjung, jelas menahan amarah.

Hakim mengetukkan palu, suara beratnya menggema.

“Sidang perkara dengan terdakwa Zul akan segera dibacakan putusannya. Dimohon semua hadirin tenang.”

Suasana hening. Fanda menunduk, napasnya cepat. Andre berbisik,

“Pegang tanganku, Fan. Tenang… sebentar lagi semua berakhir.”

Hakim membuka berkas, membaca dengan nada tegas.

“Setelah memeriksa keterangan saksi-saksi, barang bukti, serta fakta persidangan… maka majelis hakim menjatuhkan putusan…”

Fanda menutup mata rapat-rapat. Jantungnya seperti mau pecah.

“Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Zul dengan pidana penjara selama lima tahun, karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan berencana serta upaya intimidasi.”

“Dengan demikian, gugatan dari pihak korban Andre dan Fanda dinyatakan dikabulkan.”

Suara palu hakim terdengar sekali lagi. “Sidang dinyatakan selesai.”

Hening sejenak, lalu meledaklah sorak gembira dari warga desa.

“Hidup keadilan! Hidup Fanda dan Andre!” teriak seseorang.

Fanda langsung menutupi wajahnya dengan tangan, air mata deras jatuh. Andre merangkulnya erat.

“Kita menang, Fan… kita menang,” bisiknya sambil menahan suara bergetar.

Fanda menoleh ke suaminya, tersenyum di balik tangis.

“Aku… akhirnya bisa bernapas lega, Mas. Semua perjuangan kita… nggak sia-sia.”

Zul menunduk lesu, sementara Ferdi berdiri dengan wajah merah padam. Ia hendak maju, tapi aparat segera menahan.

“Pak, silakan keluar dengan tenang. Jangan bikin keributan,” kata petugas.

Ferdi hanya bisa mendesis,

“Ini belum selesai,” sebelum dipaksa meninggalkan ruang sidang.

Di sisi lain, Indah mendekat, memeluk Fanda erat.

“Aku bangga sama kamu, Fan! Kamu kuat banget. Lihat? Kebenaran nggak bisa ditutupin selamanya.”

Bu Rika, sang pengacara, tersenyum lega. “Saya ucapkan selamat. Keadilan memang kadang lambat, tapi hari ini… kalian berhasil membuktikan bahwa kebenaran selalu menang.”

Andre menyalami warga desa satu per satu, matanya berkaca-kaca.

“Terima kasih. Tanpa kalian, kami nggak akan sampai sejauh ini.”

Kepala Desa menjawab lantang,

“Kami hanya melakukan apa yang benar. Sekarang pulanglah bersama kami, Nak. Desa menunggu kalian.”

Fanda menggenggam tangan Andre lebih erat.

“Mas, ayo kita pulang. Aku ingin lihat Ibu Rita, aku ingin dengar suara jangkrik malam ini.”

Andre tersenyum.

“Kita pulang sebagai pemenang, Fan. Bukan cuma di pengadilan… tapi juga di hati kita sendiri.”

Mereka berjalan keluar dari ruang sidang, diiringi tepuk tangan warga. Cahaya matahari siang terasa lebih hangat dari biasanya,seakan menegaskan, perjuangan panjang mereka akhirnya berbuah manis.

Di ruang kerja megah yang pencahayaannya remang, Ferdi berdiri menghadap jendela, melihat ke jalan kota seperti menatap lawan yang baru saja kalah di papan catur. Keningnya berkerut, rahang mengeras. Di meja, segelas minuman tak terjamah mulai menguap.

“Saya tidak terima!” suaranya meledak ketika salah satu anak buahnya masuk membawa laporan.

“Lima tahun. Lima tahun! Mereka berani membuat keluarga kita dipermalukan di depan umum.”

Anak buahnya menunduk, berusaha menetralkan suasana.

“Pak, kita masih bisa proses banding. Kita punya pengacara.”

Ferdi memotong, ia berbalik, matanya menyala penuh dendam.

“Banding? Banding itu untuk orang yang kalah secara hukum, bukan untuk menutup malu yang sudah tersebar. Kalau mereka pikir dengan hukum mereka bisa hancurkan nama kami dan hidup tenang, mereka salah besar.”

Sejenak ia terdiam, lalu suaranya turun menjadi dingin seperti besi.

“Kalau hukum tidak cukup cepat untuk membersihkan nama kita, artinya kita harus pakai cara lain. Pastikan Andre tidak pernah lagi bisa berbicara di ruang sidang. Pastikan dia hilang.”

Seorang anak buah, yang selama ini terlihat paling setia, menelan ludah. “Maksud Bapak…?”

Ferdi tersenyum tipis ,senyum yang sama yang dulu membuat beberapa orang tunduk.

“Kamu tahu maksudku. Aku tidak mau gagal, karena aku cuma mau hasil. Lakukan yang harus dilakukan, tapi rapikan jejak. Kita tidak ingin kasus baru yang bikin kita repot. Tangani itu secara profesional.”

Anak buah itu menunduk, berkata pelan, “Baik, Pak. Akan kucari jalan keluarnya.”

Ferdi menepuk meja, puas.

“Good. Jangan sampai ada yang ragu. Kita jaga nama keluarga ini.”

Di sisi lain kota, telepon berdering di apartemen Andre. Sebuah suara robotik memberi ancaman samar.

“Tinggal tunggu waktu. Jangan lengah.”

Pesan itu tanpa nomor terdaftar. Andre memerah wajahnya, menggenggam telepon seperti benda panas.

Dia menoleh ke Fanda.

“Fan… ada ancaman masuk. Suaranya… sepertinya dari pihak mereka.”

Fanda yang baru saja duduk tersentak, napasnya cepat.

“Apa katanya? Apa mereka bilang akan datang?”

Andre menggeleng.

“Hanya ancaman samar. Aku akan ke kantor polisi sekarang. Kita tidak bisa anggap remeh.”

Mereka segera menghubungi pengacara dan melaporkan ancaman itu. Bu Rika datang tak lama kemudian, menepuk bahu Fanda.

“Kita ajukan permintaan perlindungan darurat. Kita minta petugas mengawasi dan menempatkan petugas di sekitar rumah kalian. Aku juga akan minta agar saksi-saksi desa mendapat perlindungan ketika datang ke pengadilan.”

Fanda meremas tangannya sendiri.

“Aku takut, Mas. Kalau mereka benar-benar lakukan sesuatu.”

Andre menatapnya, suaranya tegas.

“Kamu bukan satu-satunya yang takut. Aku juga. Tapi kita tidak boleh menyerah pada ketakutan. Kita lapor, kita kumpulkan bukti, dan kita gerakkan semua orang yang peduli. Kita tak biarkan mereka bertindak di luar hukum.”

Kepala Desa mendapat kabar ancaman itu dan segera menelepon balik.

“Jangan coba-coba. Kalau mereka ganggu Andre, semua desa akan turun. Kami tidak takut pada ancaman.”

Suaranya tegas. Di desa, lelaki-lelaki yang dipimpin Kepala Desa mulai menyiapkan rencana sederhana bergantian menjaga rumah-rumah, memantau jalan masuk, menyiapkan jalur komunikasi cepat ke kota.

“Kalian tidak akan melakukan ini sendirian,” kata Kepala Desa pada Andre lewat telepon.

“Kalian sudah jadi bagian dari keluarga besar ini.”

Sementara itu, aparat kepolisian juga bergerak. Laporan resmi dicatat, petugas menempatkan patroli ekstra di sekitar apartemen Andre dan titik-titik rawan. Bu Rika meminta agar semua jadwal pertemuan dan transportasi saksi diberi pengawalan.

Media yang selama ini berada di garis depan juga dikontak, beberapa jurnalis independen bersedia menyorot setiap upaya intimidasi sebagai bentuk transparansi.

Di malam yang menegangkan, sebuah mobil gelap melintas dekat apartemen Andre. Dua pria yang tak dikenal menunggu di sudut, memeriksa sekeliling.

Mereka bergerak hendak mendekat namun sebelum langkah itu jadi lebih jauh, lampu sorot mobil patroli menyapu jalan. Petugas polisi yang mendapat informasi sejak sore tiba-tiba muncul. Dua pria itu terkejut dan melarikan diri, meninggalkan ponsel kecil yang kemudian ditemukan polisi. Polisi mengambilnya sebagai barang bukti.

Andre menonton dari balik tirai, napasnya tercekat. Ketika petugas mengetuk pintu, ia membuka dengan tangan gemetar.

“Terima kasih sudah cepat datang,” katanya kepada petugas.

Kapten petugas memberi senyum kecil. “Kita tidak mau menunggu sampai sesuatu terjadi. Kami di sini untuk menjamin keselamatan. Kalau ada lagi, lapor langsung, jangan tunggu.”

Di luar, konvoi mobil Ferdi melaju dan berhenti beberapa ratus meter dari gedung. Ferdi mendapat laporan bahwa satu pengamatan gagal karena patroli cepat polisi.

Wajahnya menegang, namun ia menahan diri. Dendamnya tetap menyala, tapi ia paham bahwa serangan kasar berisiko membuka kasus baru terhadapnya.

Keesokan paginya, media menulis tentang ancaman dan tindakan polisi yang mencegah insiden. Komunitas yang sebelumnya ragu kini bersuara lebih lantang, forum-forum online mengutuk ancaman kekerasan dan meminta perlindungan penuh bagi saksi-saksi.

Di balik semua itu, Ferdi memutar otak, menggenggam teleponnya.

“Tidak apa-apa,” gumamnya pada dirinya sendiri,

“kalau satu cara gagal, cari cara lain. Hanya saja… jangan sampai mereka tahu kita yang melakukannya. Nama keluarga harus bersih.”

Adegan itu menutup dengan ketegangan menggantung. Ancaman ada, dan rencana Ferdi mengerikan dalam niatnya, tetapi saat upaya nyata nyaris berlangsung, respons cepat polisi dan kesiapan hukum berhasil menggagalkan percobaan awal. Konflik belum usai, Ferdi marah dan gelap, tetapi Fanda, Andre, dan pendukung mereka bergerak bersama untuk melindungi diri, mengumpulkan bukti, dan memastikan setiap ancaman tercatat sebagai bagian dari bukti kriminal.

1
Nurqaireen Zayani
Menarik perhatian.
nangka123: trimakasih 🙏
total 1 replies
pine
Jangan berhenti menulis, thor! Suka banget sama style kamu!
nangka123: siap kak🙏
total 1 replies
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
nangka123: siap kakk,,🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!