Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rakyat Berpaling
Pasar besar Nurendah berdenyut dengan kehidupan. Aroma rempah, asap tungku, dan teriakan pedagang memenuhi udara. Suasana pagi itu seharusnya membawa semangat bagi setiap warga, tapi bagi Al Fariz, hari itu terasa berat—seperti langkahnya di tengah lautan yang bergerak melawan arus.
Ia berjalan perlahan di antara kios-kios yang dipenuhi kerumunan. Mata rakyat, yang biasanya menatapnya dengan hormat, kini dipenuhi keraguan. Beberapa menunduk, beberapa mencibir pelan, dan beberapa menatapnya dengan ragu.
Di ujung pasar, pangeran palsu berdiri di atas panggung kayu sederhana, dikelilingi beberapa bangsawan yang mendukungnya. Senyum pangeran itu menawan, gesturnya meyakinkan, retorikanya manis. Ia berbicara dengan suara lantang, menyentuh hati rakyat dengan janji-janji kesejahteraan dan masa depan yang gemilang.
“Rakyat Nurendah,” suaranya bergema, “kita layak memimpin negeri dengan tangan yang kuat, hati yang tegas, dan visi yang jelas! Tidak lagi bayangan rapuh, tidak lagi kepemimpinan yang goyah. Bersamaku, Nurendah akan berjaya!”
Beberapa anak muda bersorak, beberapa pedagang mengangguk setuju. Sebagian dari mereka bahkan menepuk tangan dengan penuh semangat. Suara tepuk tangan dan sorak sorai itu menggema di pasar, menekan hati Al Fariz.
Ia berdiri di pinggir pasar, tubuh tegap tapi hatinya nyeri. Mata rakyat yang menatapnya dulu penuh hormat, kini mulai berpaling. Bahkan beberapa orang yang dulu loyal tampak ragu.
Seorang wanita pedagang, sambil mengaduk dagangannya, berbisik kepada temannya:
“Sultan lama itu lemah… Pangeran baru lebih pantas memimpin.”
Bisikan itu menusuk Al Fariz seperti pisau. Tubuhnya tetap tegap, wajahnya tenang, tapi di dalam hati ia berteriak: Kalau pun mereka berpaling… aku tetap milik mereka. Aku harus bertahan.
Ia melangkah mendekat, mencoba melihat lebih dekat ekspresi rakyatnya. Ada seorang anak kecil menatapnya, bingung antara takut dan kagum. Seorang lelaki tua menggelengkan kepala, sementara seorang ibu muda menarik anaknya pergi. Semua tanda itu menunjukkan satu hal: kepercayaan mulai goyah.
Al Fariz menundukkan kepala sejenak. Napasnya berat, tapi ia menahan sakitnya, menahan hawa kecewa yang mencoba menjalar ke seluruh tubuh. Ia tahu—ini hanyalah ujian berikutnya. Jalan kebangkitannya masih panjang, lebih panjang daripada yang bisa dibayangkan orang lain.
Di atas panggung, pangeran palsu menatap kerumunan, melanjutkan pidatonya dengan nada hangat dan karismatik:
“Kita tidak perlu takut akan perubahan. Pemimpin baru berarti harapan baru. Tidak ada ruang untuk keraguan, tidak ada ruang untuk lemah.”
Rakyat mulai berdesak, beberapa mendekat, beberapa menjauh dari Al Fariz. Sorak sorai, tepuk tangan, dan teriakan mulai menenggelamkan keberadaan Sultan sejati di tengah keramaian.
Al Fariz berdiri diam, membiarkan suara itu mengalir di sekitarnya. Ia tahu, jika ia berbicara sekarang, kata-katanya mungkin tidak akan cukup. Ketenangan adalah kekuatan yang tersembunyi, kekuatan yang menunggu saat yang tepat untuk muncul.
Jalan ini berat, tapi aku harus menahan diri. Aku akan menunggu momen yang tepat, dan saat itu tiba, mereka akan tahu siapa pemimpin sejati.
Seorang bangsawan tua yang dulu setia mendekatinya, menatap dengan wajah penuh keprihatinan:
“Yang Mulia… rakyat mulai ragu. Banyak yang berpaling. Apakah kau tidak takut?”
Al Fariz menatapnya dengan mata tajam, berkilat seperti bara yang tersembunyi:
“Takut? Tidak. Aku tahu jalan ini panjang dan berliku. Tapi aku tidak akan membiarkan keraguan mereka menghentikanku. Aku harus bertahan, untuk mereka, untuk Nurendah.”
Bangsawan itu mengangguk, meski jelas wajahnya menunjukkan kecemasan. Ia tahu kata-kata Al Fariz bukan sekadar retorika. Ada keteguhan yang lebih dalam, yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat.
Di tengah pasar, beberapa pedagang mulai menyebarkan gosip tentang pangeran baru, memperkuat citra positifnya. “Ia gagah, cerdas, dan berani,” kata seorang lelaki muda sambil menatap panggung. “Sultan lama terlalu lemah untuk memimpin kita.”
Al Fariz mendengar semua itu, tapi tidak bereaksi. Ia menundukkan kepala sejenak, menahan dorongan untuk membalas. Dalam diamnya, ia memetakan langkah: siapa yang loyal, siapa yang mudah terpengaruh, dan siapa yang bisa ia ajak kembali ke jalannya.
Seorang gadis kecil menatapnya dengan mata bingung, memegang tangan ibunya. Ia melihat kedalaman kesedihan yang tersembunyi di mata Sultan, namun juga keteguhan yang membuatnya tetap berdiri. Gadis itu menarik napas, menatap Al Fariz seolah memahami sesuatu yang orang dewasa lupa: kekuatan sejati tidak selalu terlihat.
Bahkan jika mereka berpaling, aku tetap milik mereka. Aku akan menunjukkan siapa aku sebenarnya, bukan dengan janji manis, tapi dengan tindakan yang akan mereka kenang.
Di atas panggung, pangeran palsu mengangkat tangan, mengajak rakyat bersorak. Kerumunan sebagian besar ikut bersorak, sebagian mulai bimbang. Suasana pasar berubah menjadi medan psikologis: antara kagum dan ragu, antara harapan dan loyalitas lama.
Seorang pedagang tua menatap Al Fariz dengan mata sayu:
“Yang Mulia… apakah kita masih bisa mempercayai Sultan lama?”
Al Fariz menunduk, menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia berbisik:
“Ya, aku masih milik mereka. Dan aku akan bertahan. Jalan kebangkitanku panjang, dan setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat.”
Beberapa anak muda mulai mendekat ke pangeran palsu, tertawa dan menyapa. Beberapa rakyat lain menatap Al Fariz, menahan keraguan mereka. Ia berdiri di tengah keramaian, tubuh tegap, aura tenang, meski hatinya sakit. Setiap langkahnya di pasar itu menjadi saksi bisu dari ujian yang ia hadapi.
Seorang wanita muda menatapnya, lalu menoleh ke pangeran palsu. Bibirnya bergerak perlahan:
“Sultan lama… terlalu lemah. Pangeran baru lebih pantas.”
Kata-kata itu seperti hujan es yang membekukan hatinya. Tubuhnya tetap tegap, tapi napasnya berat. Ia menelan rasa sakit itu, membiarkan kata-kata itu melewati dirinya. Dalam hatinya, ia meneguhkan janji:
Jalan kebangkitanku masih panjang. Aku akan membuktikan siapa pemimpin sejati. Tidak dengan kata-kata, tapi dengan keberanian dan tindakan.
Rakyat yang awalnya loyal mulai menatap pangeran palsu, sebagian mendekat, sebagian ragu. Sorak sorai dan tepuk tangan menggema di seluruh pasar, sementara Al Fariz tetap berdiri, tenang, mengamati. Ia tahu, momen ini bukan akhir, melainkan permulaan dari perjuangan yang lebih besar.
Seorang bangsawan tua yang ikut menonton berkata lirih:
“Rakyat berpaling… tapi Sultan kita tetap teguh. Ada sesuatu yang berbeda dalam ketenangan itu, sesuatu yang tidak dimiliki pangeran baru.”
Al Fariz menutup mata sejenak, merasakan semua emosi yang mengalir di pasar: keraguan, pengkhianatan, kekaguman, dan harapan. Ia tahu, meski hati sakit, ia harus bertahan. Setiap langkah, setiap napas, menjadi bagian dari rencana yang akan mengembalikan keyakinan rakyat.
Jalan ini panjang, dan setiap tantangan adalah batu loncatan. Aku akan bangkit. Dan saat waktunya tiba, mereka akan kembali—tidak karena terpaksa, tapi karena sadar akan kebenaran.
Pasar mulai tenang sejenak. Pangeran palsu tersenyum puas, mengira hari itu kemenangan ada di tangannya. Tapi Al Fariz tahu, kemenangan sejati tidak lahir dari sorak sorai atau janji manis. Kemenangan lahir dari keteguhan hati, dari kesabaran, dari keberanian yang tidak terlihat.
Ia menatap kerumunan, melihat mata-mata yang mulai goyah, beberapa anak kecil yang masih menatapnya penuh kagum, dan beberapa orang tua yang menahan keraguan. Semua itu menjadi pengingat: jalannya masih panjang, tapi ia tidak akan menyerah.
Hook bab ini tercipta: hati Al Fariz sakit, rakyat berpaling, tapi ia tetap teguh. Jalan kebangkitannya masih panjang, dan setiap ujian hari ini hanyalah permulaan dari perjalanan untuk menunjukkan siapa Sultan sejati yang sebenarnya.
Ia menarik napas dalam, meneguhkan diri:
Biarkan mereka berpaling. Biarkan mereka mencibir. Aku akan bertahan. Aku akan membuktikan kebenaran melalui tindakan, bukan kata-kata. Dan saat waktunya tiba, Nurendah akan kembali—bukan karena takut, tapi karena sadar akan kepemimpinan sejati.