Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 14
...-Ketika aku yang tenggelam kau sebut berenang, kau harus me-revisi pandanganmu tentang arti cinta-...
...***...
Pekat sang malam menjadi teman Latif memikirkan jalan keluar dari masalahnya dan Yara. Asap rokok ia hempas ke udara, berharap dapat berpikir jernih dalam keadaan tertekan.
Jefrey : "Ada yang bisa aku bantu?"
Hingga detik ini, pesan dari Jefry belum jua ia balas. Mengingat dirinya yang hendak kembali pada jalan kebenaran, rasanya tak tega menjadikan Yara jaminan utang lagi. Apalagi dia mengetahui perasaan suka Jefrey pada Yara.
"Nggak! Walaupun demi Yara, aku nggak bisa nyakitin hati dia lagi. Gara-gara utang sama artis itu, masalah dia tambah runyam, harga dirinya pasti diolok-olok."
Ternyata untuk menjadi baik itu, sulit! Dengan kapasitas otak Latif yang dipenuhi pikiran kotor, muncul sebuah ide gila yang mungkin akan membuatnya dihukum mati oleh Yara
"Aku 'kan kerja sama Jefrey, kalau pinjem duit sama dia, boleh, dong, ya. Bayarnya juga tinggal potong gaji aku, nggak bakal ngerepotin Yara," gumamnya lagi. Sekarang akal sehatnya sedang bertarung melawan bisikan setan, untuk tak menggadaikan surat rumah mereka sebagai jaminan meminjam uang pada Jefrey.
Sayang sungguh sayang, dengan niat ingin menjadi pahlawan kesiangan, sertifikat rumah itu telah berada di meja kerja Jefrey, dalam waktu singkat.
Secepat kilat jarinya berkomunikasi dengan Jefrey melalui pesan singkat, hingga terjadilah sebuah kesepakatan dengan sebuah penawaran dari Latif terlebih dahulu.
"Nggak perlu pake jaminan. Yang penting kamu jagain Yara. Rutin kasih kabar tentang dia dan cepat kasih tau aku kalau dia kenapa-kenapa. Kayak masalah sekarang, kok baru ngabarin sekarang? Aku selalu siap bantuin kalian, lho," ujar Jefrey dengan nada santai.
Jelas sekali 'kan, sikap baik Jefrey tentu karena Yara. Menyadari hal itu, sedikit memaksa Latif menawarkan sertifikat rumah itu pada sang majikan. Sungguh, dia takut suatu hari nanti Jefrey menagih balasan atas kebaikannya dengan meminta Yara menjadi istrinya, yang sangat jelas hal itu tak mungkin terjadi.
"Ya sudah kalau kamu memaksa. Jadi sertifikat ini aku pegang sampai utang kamu lunas, gitu 'kan?" tukas Jefrey yang mulai merasakan penolakan Latif akan niat baiknya, yang berlandaskan demi Ayara. Baru disadarinya, terlalu terang-terangan menunjukkan ketertarikan juga tidak baik.
Setelah kesepakatan terjadi, saat itu juga sejumlah uang yang Latif pinjam langsung diberikan oleh Jefrey, tunai.
Melihatnya dalam jumlah banyak, jujur saja kedua bola mata Latif tak tahan untuk tak berkedip. Dia terpesona akan indah dan wanginya sang raja dunia, yaitu uang.
"Kalau aku bawa duit ini ke meja judi, kira-kira hokinya si Jefrey bakal nular ke aku nggak, ya?" Pikiran gila ini, sempat mengusik Latif. Kalau tidak mengingat amarah Yara tempo hari, bisa dipastikan setelah pertemuan ini Latif akan duduk manis di meja judi.
Baru saja Barra hendak berangkat ke lokasi syuting, saat Latif datang ke rumah.
"Duit dari mana?" Sebelah alis Barra terangkat naik, dia sedikit bingung dengan kedatangan Latif yang tiba-tiba.
"Kerja keras, dong. Emang bro doang yang kerja dapat duit, aku juga bisa," jawab Latif congkak.
"Nggak gitu maksud aku."
"Ya udah, jangan banyak cing-cong. Ambil duitnya, kelar urusan kamu sama Yara. Jangan bikin Neng Yara nangis lagi, ya. Aku sudah jahat sama dia, tolonglah jangan nambah-nambahin beban pikiran dia sama masalah kalian," peringat Latif seraya menyodorkan tumpukan uang tunai pada Barra.
"Nih, uang 4 juta yang aku pinjem kemarin. Urusan kita juga selesai. Jadi, jangan usik Yara lagi, ya. Dia sudah nggak punya orang tua, dia cuman punya aku sekarang. Kalau nggak bisa bikin orang lain senang, setidaknya biarin dia hidup tenang."
Menatap lawan bicaranya dengan pandangan tak percaya, pada akhirnya Barra menerima uang itu. Celoteh Latif seperti sepasang lengan besar yang membungkam mulut Barra, pria ini tak bisa berkata-kata.
Latif undur diri setelah urusannya selesai, meninggalkan Barra yang masih tertegun menatapnya.
Untuk sementara, masalah dalam kehidupan Yara berakhir. Latif berterus terang mendapatkan uang itu dari Jefrey. Awalnya Yara tak setuju, namun, dengan halus Latif memberikan penjelasan, tanpa membeberkan bahwa serifikat rumah mereka ada pada lelaki itu.
"Pinjaman itu dibayar pake gaji aku, tiap bulan bakal dipotong sedikit demi sedikit. Nggak bakal ganggu gaji kamu, kok."
"Tapi itu banyak!" tukas Yara.
"Iya, aku tau duit segitu tu banyak, aku bakalan bekerja sampai titik darah terakhir. Pinjaman itu bakal aku yang melunasi," ucap Latif menekankan, dengan wajah serius yang jarang terlihat, akhirnya Yara luluh.
"Terima kasih, walaupun gali lobang tutup lobang, setidaknya urusan sama Barra selesai." Yara merasa lega, akhirnya.
"Sekarang, aku harus nyari kerjaan baru. Buat bantu kamu bayar pinjaman," lanjutnya.
Saat itu mereka bicara di meja makan, sambil sarapan. Baru menyadari bahwa pagi ini Yara tak mengenakkan seragamnya, ternyata ...
"Iya, aku dipecat." Dari pandangan penuh tanya Latif, Yara langsung saja mengungkapkan fakta.
Cacing di perut sudah konser, ada yang pegang gitar ada yang pegang gendang, tapi perkataan Yara membuat perut Latif kenyang seketika.
"Sudahlah. Kerjaan bukan cuman ada di sekolah itu," ujar Yara melihat Latif meletakan sendoknya.
"Tapi penilaian kinerjamu sudah tercoreng." Kali ini Latif meninggikan suara, dia tak kuasa menahan amarah. Barrata itu, sangat kejam sekali!
Lagi-lagi Latif si pembuat masalah bersikap berbeda dari dirinya yang dulu. Benarkah amarah Yara tempo hari membuatnya sadar? Hingga kini bersikap seperti paman yang peduli pada keponakannya. Daripada memikirkan hal itu, Ayara mencoba menghibur diri. Dia pamit dari hadapan Latif, keluar dari rumah dan berjalan pagi.
Seperti tidak sejalan dengan pikiran empunya, sang kaki melangkah menuju taman yang berhadapan dengan komplek perumahan Barra. Udara pagi ini terasa nyaman bagi jiwanya yang lelah, ia mengambil duduk di kursi taman.
"Bunda Yara!" teriak Arum. Dia berada di dalam mobil yang melaju, tentu suaranya tak terdengar oleh Yara, apalagi dengan kaca mobil yang tertutup.
Barra sontak menoleh ke arah yang ditunjuk Arum, begitu juga dengan Gavin.
Melalui kaca spion depan, Gavin melirik Barra. Rupanya sang bos juga sedang melirik padanya.
"Bos ...."
"Sudah berakhir."
Arum tak mengerti dengan maksud perkataan ayahnya, namun, Gavin sangat mengerti. Keputusan para wali murid adalah, tidak lagi mempertahankan posisi Ayara sebagai tenaga pengajar di sekolah itu, sebab kasusnya dinilai cukup pelik.
Dalam hati Gavin, ada rasa iba melihat Yara pagi ini. Meski sekilas, dia dapat merasakan kesedihan dari raut wajah gadis berkerudung merah jambu pucat itu.
"Fokus, Gavin!" tegur Barra.
"Siap, Bos," ujar Gavin.
Kabar Yara yang kini menjadi pengangguran, tentu sampai pada Jefrey secepat kilat. Pria ini punya niat untuk memberinya pekerjaan, tapi apa?
"Buang jauh-jauh pikiran itu, Bang!" Baru saja Jefrey mengungkapkan niatnya pada Valery, sang adik langsung menolaknya.
"Kenapa? Aku cuman mau ngasih dia kerjaan."
"Kerjaan apa? Ngajarin abang belajar membaca?"
"Valery, kalau ngomong dipikir dlu. Aku nggak butuh diajarin membaca," tegas Jefrey, rasanya tak rela mendengar ocehan tak sedap sang adik.
"Terus? Abang mau ngasih dia kerjaan apa? Dia 'kan guru Tk. Memangnya dia paham sama pekerjaan di kantor Abang?"
"Atau ... Abang mau jadiin dia sales perumahan? Yang benar aja! Aku nggak rela!" Valery memberengut. Dengan segala dugaan yang dia buat sendiri, ia berpindah tempat duduk dan dengan sengaja mendempet pada Jefrey.
"Ck! Vale jangan rese!" Jefrey mencoba menghindar, tapi sang adik terus mengikuti kemana dia berpindah tempat duduk.
Sejak Yara menjadi pengangguran, itu artinya waktu bertemu dengan Arum telah tiada. Arum dengan segala kepintarannya mencari tahu apa yang telah terjadi pada guru tersayangnya itu. Dan, betapa sedihnya gadis kecil ini setelah mengetahui bahwa Yara telah berhenti mengajar. Apalagi hal itu terjadi karena masalah dirinya, oh, sungguh Arum menyesali apa yang telah terjadi.
Aksi protes Arum dimulai. Demi memberikan pelajaran pada ayahnya, gadis kecil ini mogok makan, juga mogok sekolah. Barrata kerepotan karena ulah putrinya. Bahkan di sela waktu syuting dia kerap mendapat telepon dari rumah, yang mengabarkan bahwa Arum tidak mau makan.
Kali ini Barra dan Enzi menjadi rekan dalam beradegan. Menyadari ada yang tak beres dengan sikap Barra, Enzi pun menanyakan apa yang sedang terjadi pada Gavin
"Scene-ku sedikit hari ini, kalau kamu mau kelar syuting aku bisa nemenin Arum," ujar Enzi setelah mendapat informasi dari Gavin dan coba memahami keadaan.
Pria dengan mata sipit ini menatap Enzi tajam, namun, sebelum dia berucap, Enzi dengan segera berkata "Jangan ge-er, ya. Aku mikirin Arum, bukan mau PDKT sama kamu! Lagian aku bosan nembak kamu, capek tau, nggak!"
Sudah beberapa kali mendapatkan pernyataan cinta dari wanita cantik di hadapannya ini, saking muaknya Barra pernah mengancam Enzi akan jaga jarak dengannya kalau masih memaksa.
Daripada kehilangan kesempatan mendekati pria pujaan hati, juga demi kedekatan mereka tetap terjaga, maka Enzi rela menahan perasaan itu.
"Maaf, aku jadi ngerepotin kamu," ujar Barra.
"Dibilangin jangan ge-er," ketus Enzi membuang muka.
...To be continued .......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya. ...
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum