NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Natori-Osmanthus

Caroline baru selesai mandi. Aroma sabun dan sampo menguar dari tubuhnya. Rambutnya yang masih basah ditutupi handuk kecil. Ia keluar dari kamar mandi dan pandangannya langsung tertuju pada sebuah benda pipih hitam di nakas samping tempat tidur, smartphone miliknya. Dia ingat dalam mimpinya, dia sampai melompat dan terjungkal karena benda sekecil ini.

Ia mendengus tidak puas, mengambil dan membolak-baliknya. Bentuknya ramping, permukaannya halus. Natasya sering sekali memegangnya dan menggeser-geser layarnya. Sama seperti suaminya juga.

Caroline mencoba menekan-nekan layarnya, tapi tidak ada reaksi sehingga keningnya berkerut. Biasanya ada cahaya jika menyentuh bagian ini, apakah tidak sama cara kerjanya?

Caroline mencoba menggeser jarinya di permukaan layar, seperti yang Natasya lakukan. Tiba-tiba, layar menyala! Seketika muncul gambar-gambar berwarna-warni yang bergerak. Caroline terkesiap. Sebuah dunia baru di dalam genggamannya. Ia melihat simbol aneh seperti amplop, kamera, lingkaran dengan garis-garis, dan banyak lagi.

“Apa ini?” gumamnya.

Ia mencoba menekan salah satu ikon yang bergambar kamera. Layar berubah, menampilkan pantulan wajahnya sendiri! Caroline terkejut, segera menjauhkan ponsel itu dari wajahnya.

Kaca kecil?

Ia mendekatkan lagi, mengamati pantulan dirinya. Ini seperti cermin, tapi kenapa bisa bergerak? Ia menggeser-geser jarinya, dan gambar di layar ikut bergerak. Ia mengutak-atiknya, tak sengaja menekan tombol lain, dan tiba-tiba ada suara klik keras.

Layar menampilkan gambar dirinya yang sedang terkejut.

Dia menertawakan ekspresinya dan membiarkannya begitu saja. Penasaran, jemarinya terus menekan-nekan, tak sengaja membuka aplikasi lain. Terdengar suara notifikasi, dan sebuah tulisan muncul di layar. Ia mencoba mengeja tulisan itu, "W-A-S-A-P."

Apa itu?

Saat Caroline masih sibuk dengan smartphone-nya, Pratama masuk ke kamar. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Ia melihat Caroline yang asyik dengan ponselnya.

“Sedang apa, Lin?”

Caroline mendongak, menunjukkan ponselnya dengan antusias. “Pram! Lihatlah! Benda ini bisa merekam wajahku! Dan ada gambar-gambar bergerak di dalamnya! Ini seperti panggung kecil yang bisa kubawa ke mana-mana!”

Pratama tersenyum tipis, berhasil menyembunyikan kecemasan yang mengganjal di hatinya. Ia duduk di tepi tempat tidur, di samping Caroline. Mungkin istrinya memang benar-benar perlu diperkenalkan dengan banyak hal semenjak ia baru bangun dari tidurnya.

“Itu smartphone-mu. Dulu kau sering menggunakannya untuk menelepon, mengirim pesan, mengambil gambar, dan berbicara dengan orang luar kota. Kecuali bermain game.”

Pratama mengambil alih ponsel itu dan menunjukkan beberapa hal di dalamnya. Caroline mengamatinya dengan serius, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.

Pratama mengutak-atik ponselnya. Jari-jari suaminya bergerak lincah di layar, membuka dan menutup aplikasi, seolah benda pipih itu adalah perpanjangan tangannya sendiri. Ini adalah tontonan baru yang menarik bagi

Caroline, jauh lebih menarik daripada kisah kucing dan tikus yang saling kejar.

“Berbicara dengan orang beda tempat? Apakah suaranya akan terdengar sama persis di waktu bersamaan?”

Pratama terkekeh. Ia meletakkan ponsel itu di nakas dan menoleh pada Caroline, tatapannya lembut. “Coba panggil nomor ini dahulu.”

Caroline mengikuti arahannya hingga tiba-tiba, ponsel suaminya berdering dari dalam saku. Dia terkejut karena seperti ada suara khusus, berbeda dari panggilan yang biasa diangkat oleh Pratama. Suara deringnya lebih lembut dan halus.

Beberapa detik kemudian, suara itu menghilang. Caroline membulatkan matanya, masih mempelajarinya beberapa saat. Lelaki itu mengintip nama yang tercatat disana ketika memanggilnya, sedikit terhibur. “Kakek Tua. Aku baru kali ini melihat namaku di teleponmu.”

Caroline mengernyit kemudian tertawa terbahak-bahak. “Jangan salahkan aku, aku tidak tahu kenapa menamainya seperti ini.”

“Yah.. kejutan baru bagiku. Apakah hari ini ulang tahunku?” balas Pratama. “Sini, aku jelaskan bagian lainnya.”

Kewaspadaannya menurun. Caroline semakin condong ke arah Pratama, ingin tahu lebih banyak. Pratama merasakan kehangatan tubuh Caroline yang begitu dekat dengannya.

Aroma sabun dan sampo masih menguar dari rambut basah istrinya, menciptakan aroma yang menenangkan.

Pratama menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat, merangkul bahu Caroline dengan lembut. Caroline tidak menolak, justru membiarkan dirinya bersandar. Keduanya saling menghadap dan akrab satu sama lain.

“…hampir seperti cermin, tapi ini lebih canggih. Kamu bisa melihat ekspresi mereka, mendengar tawa mereka... seperti mereka ada di sini, di ruangan ini bersamamu.”

Caroline memejamkan mata, membayangkan bagaimana wajah banyak orang bisa menyatu dalam layar ini. Satu untuk semua..

“Kurasa aku sudah memahami cara kerjanya.”

Caroline sedikit mengutak-atik benda pipih di tangannya tanpa melihat sekitar. Dia sibuk bermain, dan lelaki itu sibuk memainkan helaian rambut dan untaian kalungnya. Dalam kamar yang dingin, keduanya menambahkan kehangatan dari panas tubuhnya. Mengusir sensasi menusuk itu.

“Sudah. Aku bosan,” tutur Caroline dan meletakkan smartphone ke atas meja.

Sebelum ia beranjak berdiri, tubuhnya ditarik ke belakang dan ia terjatuh ke dekapan Pratama. Caroline diam sejenak, nafas hangat itu melewati daun telinganya. Menyebarkan sensasi panas dan tersentrum hingga ia sedikit menahan nafasnya. “Pram, apakah tidak ada tugas dari kantormu?”

Lelaki itu menggeleng. Tadi ia sudah mengutus Andreas mewakilinya seperti biasa. Semenjak istrinya sakit, ia mengalihkan pekerjaan ke bawahan kepercayaannya. Memantau dari jauh perkembangan produksi hingga pemasaran.

“Tunggu sejenak, aku masih ingin memelukmu.”

Tidak ada penolakan dari wanitanya, maka lelaki itu menjalankan aksinya. Lengan lebar itu mengayun dan menempel di perut Caroline.

Pratama tersenyum, mengeratkan pelukannya. Ia menyandarkan dagunya di puncak kepala Caroline. Rambut basah Caroline terasa dingin di kulitnya, namun nyaman. Siapa yang memulai, dia yang berlekatan satu sama lain. Caroline menghela napas gemetar. Masih kurang biasa dengan pendekatan ini, tetapi ia berusaha menerimanya.

“Pram.”

“En?” balas lelaki itu.

“Aku... aku tahu aku banyak bertanya, dan sangat merepotkanmu. Terima kasih tetap sabar dan sudah ada di sini, menemaniku tiap saat.” Suaranya berbisik tulus. Kata-kata itu menyentil Pratama. Ia tahu betul betapa beratnya ini bagi Caroline. Dan bagi dirinya sendiri, menjaga Caroline agar tidak terganggu oleh apapun, lumayan menyita waktu.

Pratama memejamkan mata, menghirup aroma Caroline dalam-dalam.

“Tidak merepotkan, kenapa harus merasa terbebani dengan istri sendiri? Anggap saja bentuk perhatianku kepadamu.”

Ia mempererat pelukannya, seolah ingin menyalurkan seluruh kekuatannya pada Caroline. Caroline menyandarkan kepalanya lebih dalam ke bahu Pratama. Dekapan suaminya terasa begitu hangat, membuatnya nyaman. Ia tidak lagi memikirkan wajan yang meleleh, tabung gas yang mungkin ia otak-atik, atau bahkan kebenaran pahit tentang identitasnya. Saat ini, hanya ada Pratama dan rasa aman yang ia dapatkan dari pelukan ini.

Ia memejamkan mata, membiarkan aroma Pratama yang maskulin dan lembut mengisi indranya. Detak jantung Pratama terdengar stabil di telinganya, menenangkan detak jantungnya sendiri yang masih sering berpacu karena hal-hal asing.

Caroline sedikit menggeser posisinya, mencari kenyamanan maksimal dalam pelukan itu. Ia merasa seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya.

Caroline sedikit tersentak. Gambaran samar melintas di benaknya, ayunan kayu di bawah pohon rindang, suara tawa, dan tangan besar yang mendorongnya pelan. Rasanya nyaman. Sangat nyaman. Seperti pelukan Pratama ini.

Namun, gambar itu menghilang secepat ia datang, meninggalkan perasaan hampa yang familier.

Rasanya baru beberapa hari disini dan ia sudah hampir mampu melupakan ingatan masa lampaunya. Menggantinya dengan ingatan masa kini.

Ia menghela napas lagi, lebih panjang kali ini. Rasa nyaman itu masih ada, namun ia merasa tertekan karena kurangnya ingatannya akan semua hal disini. Tidak ada yang mampu memperjelas apapun, hanya sedikit demi sedikit kilasan ingatan.

“Aku berharap mengingat semuanya,” selorohnya lalu menyadari tubuh lelakinya sedikit menegang.

Caroline bingung lalu menoleh ke belakang. Keduanya sama-sama melirik ke pintu kamar. Tidak lama wanita itu kaget dan melepaskan diri dari rengkuhan Pram. Begitu pula dengan pelukan yang melemas dari lelaki itu.

Pintu terbuka entah sejak kapan, menampilkan Natasya yang melirik penuh binar. Di tangannya terdapat beberapa buku dan kaset, gadis itu segera menaruhnya di depan kamar. “Aku tidak melihat apapun, lanjutkan.”

Bam!! Pintu ditutup keras.

“…”

Pram merutuk dan menyesali kecerobohannya untuk mengunci pintu. Dia berjongkok dan memunggut beberapa benda bawaan adiknya. “Lin, kurasa ia ingin bermain denganmu.” Pram menyerahkannya pada sang istri lalu menggosok rambut panjang itu.

“Aku akan keluar sejenak,” lirihnya saat melihat jam tangannya menunjukkan pukul satu siang. Dia akan mampir ke tempat kerjanya sejenak lalu ke rumah sakit. Tetapi ia tidak memberitahukannya pada Caroline, begitu juga dengan Caroline yang tidak bertanya kemana suaminya pergi.

“Hati-hati di jalan,” ucapannya terputus saat melihat sosok tegap itu sudah keluar dari kamar. “…Pram.”

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!