Seorang wanita miskin bernama Kirana secara tidak sengaja mengandung anak dari Tuan Muda Alvaro, pria tampan, dingin, dan pewaris keluarga konglomerat yang kejam dan sudah memiliki tunangan.
Peristiwa itu terjadi saat Kirana dipaksa menggantikan posisi anak majikannya dalam sebuah pesta elite yang berujung tragedi. Kirana pun dibuang, dihina, dan dianggap wanita murahan.
Namun, takdir berkata lain. Saat Alvaro mengetahui Kirana mengandung anaknya. Keduanya pun menikah di atas kertas surat perjanjian.
Apa yang akan terjadi kepada Kirana selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Pertikaian Yang Memanas
Malam itu udara dingin menusuk. Pintu geser rumah sakit terbuka. Alvaro keluar dengan wajah dingin, usai menandatangani beberapa berkas.
Di depan pintu, Bram sudah berdiri. Tubuhnya kaku, matanya merah menyala menahan amarah. Begitu melihat sosok Alvaro keluar, ia langsung melangkah cepat ke arahnya.
“Alvaro!” Desis Bram saat melihat Alvaro.
Alvaro menoleh, alisnya terangkat, sebelum sempat bicara—bugh!—tinju Bram mendarat keras di rahangnya.
Tubuh Alvaro terdorong setengah langkah ke belakang, bibirnya pecah. Beberapa orang di sekitar mereka terkejut, bahkan seorang perawat hampir menjerit.
“Itu untuk Kirana! Karena Kau hampir membunuhnya dan anak yang dia kandung!” bentak Bram, suaranya pecah disana.
Alvaro mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia mendongak, matanya menyala. Senyum tipis, namun sinis, malah tersungging di wajahnya.
Dengan perlahan ia melangkah maju, berdiri berhadapan tepat di depan Bram.
“Berani sekali kau menyentuhku, Bram. Kau benar-benar ingin mati, ya?”
Nafasnya terengah, Bram mengepalkan tinju lagi, “Kalau itu satu-satunya cara melindungi Kirana… ya. Aku tidak peduli!” jawab Bram berani.
Alvaro refleks menangkap kerah baju Bram, menariknya mendekat. Kedua pria itu hampir saling dorong. Para pengunjung rumah sakit mulai panik, beberapa mencoba melerai, tapi aura mereka berdua terlalu menakutkan.
Alvaro mendesis tepat di wajah Bram, “Kirana tetap milikku. Kau bisa pukul aku seribu kali, tapi itu tidak akan mengubah kenyataan. Bahwa dia adalah istriku, Bram.... "
Ucapan itu tidak membuat Bram goyah. Bram balas menatap, penuh tekad, “Aku akan merebutnya, Alvaro. Aku akan merebutnya dari penjara yang kau ciptakan. Lihat saja.” Tantang Bram.
Alvaro mendorong Bram dengan kasar, hingga adiknya itu terhuyung mundur. Mereka nyaris kembali bentrok, namun suara dokter yang berteriak dari dalam rumah sakit menghentikan keduanya.
“Hei! Kalau kalian masih ingin pasien selamat, hentikan pertikaian konyol ini! Dia butuh ketenangan, bukan kekacauan! Disini banyak sekali orang yang sakit. Jadi jangan buat keributan"
Alvaro dan Bram sama-sama terdiam, dada mereka naik turun. Pandangan mereka masih saling menantang, seakan pertempuran belum selesai. Namun perlahan Alvaro berbalik, melangkah masuk kembali ke rumah sakit tanpa sepatah kata pun. Sementara Bram berdiri di luar, mengepalkan tangan yang masih bergetar karena emosi.
Disisi lain. Clarissa berdiri tak jauh dari pintu rumah sakit. Ia baru saja datang, namun pemandangan yang disaksikannya membuat langkahnya membeku.
Ia melihat, Alvaro yang baru keluar dari pintu, dan tiba-tiba—bugh!—Bram melayangkan tinjunya tepat ke wajah kakaknya.
Clarissa sempat menutup mulut, terperangah. Matanya bergantian menatap dua pria itu yang hampir saling menyerang lagi sebelum akhirnya terhenti karena teriakan dokter.
Wajah Alvaro yang biasanya dingin, kini berlumuran amarah sekaligus darah di sudut bibir. Sedangkan Bram berdiri dengan tatapan membara, jelas-jelas menunjukkan kepedulian yang lebih dari sekadar perhatian biasa.
Clarissa menggigit bibir. Dadanya berdegup cepat. Ada sesuatu yang tidak beres—dan ia tahu perasaannya tidak salah.
"Kenapa Bram begitu nekat membela Kirana? Bahkan sampai berani melawan Alvaro… seakan dia punya alasan kuat. Apa sebenarnya hubungan mereka sebelum ini?” gumam Clarissa curiga.
Tatapannya mengeras. Semakin lama, kecurigaan itu berubah menjadi rasa tidak tenang yang menggerogoti pikirannya.
Beberapa menit kemudian, Clarissa keluar dari kerumunan. Hatinya semakin tak tenang. Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor seseorang yang selalu ia percayai untuk urusan-urusan kotor.
“Aku ingin kau mencari tahu semuanya tentang Bram dan Kirana. Hubungan mereka sebelum pernikahan ini. Dari awal sampai akhir. Aku tidak peduli bagaimana caramu. Aku harus tahu.” Ucap Clarissa dingin, penuh perintah.
Suara di seberang menjawab singkat, “Baik, Nona.”
Clarissa menutup telepon, wajahnya berubah semakin kelam. Ia menatap kembali ke arah rumah sakit, ke ruangan tempat Kirana dirawat.
“Kirana… kalau benar kau punya hubungan dengan Bram sebelum semua ini… aku akan menghancurkanmu. Aku akan pastikan Alvaro melihat siapa dirimu sebenarnya.” Gumamnya lirih, penuh kebencian.
Seketika senyum tipis terbentuk di wajahnya. Senyum yang bukan kebahagiaan, melainkan tanda dimulainya rencana baru.
Sementara itu, ditempat lain. Pintu kamar rawat perlahan terbuka. Kirana yang berbaring lemah di ranjang menoleh, tubuhnya masih lemas dengan selang infus di tangan. Matanya melebar begitu melihat sosok Alvaro masuk.
Wajah pria itu terlihat kusut—rahangnya memar, sudut bibirnya pecah dan berdarah. Ada noda samar di kerah kemejanya, tanda jelas pertikaian yang baru saja terjadi.
“Alvaro… wajahmu… apa yang terjadi?”
Alvaro berdiri di dekat pintu sejenak, seakan menimbang harus menjawab atau tidak. Lalu ia berjalan mendekat, duduk di kursi di sisi ranjang Kirana. Sorot matanya masih keras, tapi ada bayangan lelah dan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Bukan urusanmu.” Jawabnya kemudian.
Kirana menatapnya, wajahnya dipenuhi rasa khawatir bercampur bingung. Perlahan ia mengulurkan tangan, meski tubuhnya gemetar. Alvaro terkejut ketika jemari Kirana yang dingin menyentuh sudut bibirnya yang pecah.
"Kau… berkelahi dengan Bram, ya? Karena aku…” ucap Kirana pelan, namun penuh emosi.
Alvaro menepis pelan tangannya, tapi bukan dengan kasar—lebih seperti menolak kelembutan yang tak pantas ia terima.
“Kau terlalu sering membuatku kehilangan kendali, Kirana. Dan itu… berbahaya untukmu, dan untuk anak ini.” tegas Alvaro.
Kirana terdiam, air matanya jatuh begitu saja. Ia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata pria itu. Alvaro menunduk, menatap tangannya yang mengepal di pangkuan. Hatinya diguncang rasa bersalah yang tidak pernah ia akui.
Alvaro menghela nafas berat, suaranya rendah, hampir berbisik.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu tadi. Melihatmu kesakitan… aku hampir… kehilangan akal.”
"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakiti mu"
Kirana kembali menoleh padanya. Pandangan mereka bertemu—Kirana dengan mata berkaca-kaca, Alvaro dengan tatapan rapuh yang berusaha ia sembunyikan. Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka, dipenuhi emosi yang tak terucapkan.
Di luar kamar, tanpa mereka sadari, Clarissa berdiri diam mendengarkan percakapan itu. Matanya menyipit, hatinya semakin panas melihat perubahan Alvaro. Ia menggenggam erat tas di tangannya, rasa benci terhadap Kirana semakin dalam.
.
.
.
Bersambung.