Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Beberapa hari berikutnya, Kereta malam menderu meninggalkan stasiun, melesat di antara hamparan sawah yang berkilau samar diterpa sinar bulan. Di dalam gerbong kelas ekonomi yang sederhana, Rania duduk bersandar pada jendela, matanya menatap kosong ke luar. Dalam pelukannya, Chesna tertidur dengan kepala bersandar di pangkuan.
Namun, meski tubuh anak itu terlelap, air mata masih mengering di sudut matanya. Tangis yang sudah terlalu sering pecah sejak Alan dibawa pergi.
Rania mengusap pelan rambut hitam Chesna, hatinya seperti diiris setiap kali wajah Alan terbayang. Senyum kecil putranya, suara semangatnya setiap kali menceritakan perlombaan yang ia ikuti, bahkan cara Alan memanggil “Mama” dengan penuh kasih semua kini hanya tinggal bayangan yang semakin jauh.
Suara roda kereta beradu dengan rel seperti dentuman luka yang terus mengingatkan: mereka pergi dengan hati yang retak.
Terdengar Chesna mengigau pelan dalam tidur, “Kak Alan… jangan pergi… tunggu Chesna…”
Rania tercekat. Ia menunduk, mengecup kening putrinya dengan lembut. Rania berbisik getir “Maafkan Mama, Nak… maafkan Mama tidak bisa menjaga kalian tetap bersama. Tapi percayalah, Mama akan berusaha membuat hidup kita lebih baik. Untukmu… untuk Alan juga.”
___
Kilas Balik – Hari Keberangkatan.
Pagi tadi, rumah kontrakan kecil itu dipenuhi tumpukan kardus dan koper lusuh. Rania membereskan pakaian sederhana mereka, sementara Chesna hanya duduk diam di sudut ruangan. Matanya bengkak, tubuhnya lemas.
Chesna lirih “Mama… kalau kita pindah, Kak Alan bisa temukan kita lagi, kan?”
Pertanyaan itu menghujam jantung Rania. Ia menatap putrinya dengan senyum paksa, berusaha kuat. “Alan itu anak pintar. Dia pasti bisa menemukan kita. Dan kita… kita juga akan berusaha, Nak. Kita harus terus berdoa.”
Rania menahan tangis. Ia tahu ketakutan itu nyata, tapi ia tidak boleh menyerah di depan putrinya. “Percayalah, Nak. Alan ada di hati kita. Sejauh apa pun, kita tetap keluarga. Itu tidak akan hilang.”
“Mama, keluarga papa hanya menyukai Alan, ya? Apa mereka tidak mau menyayangiku?” Chesna bertanya dengan tatapan polosnya yang sedikit menahan senyum. Yang ia dengar dari ibunya, pengobatan Alan akan diambil alih sepenuhnya oleh keluarga ayah mereka.
Rania tidak menyebutkan soal Ayah anak-anaknya masih hidup kepada Chesna. Ia takut jika Chesna makin terluka. “Kalau mereka menginginkan Chesna, lalu mama bagaimana?” Rania menjelaskan kalau keluarga ayahnya itu tidak mengetahui keberadaan Chesna.
"Mama, kalau sudah besar, aku akan cari Alan. Alan milik kita, Mama. Bukan mereka." tutur Chesna dengan tekad yang entah akan selalu ia ingat atau hanya akan jadi angin lalu saja.
Kembali ke Dalam Kereta
Kereta berguncang lembut. Lampu redup dalam gerbong membuat suasana semakin muram. Rania menyandarkan kepala ke kaca, menatap gelapnya malam.
Pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah Alan baik-baik saja di negeri asing? Apakah dia masih terus memanggilku? Apakah Miko… benar-benar bisa menjaganya?
Rasa sakit itu tak terbendung. Air mata jatuh tanpa suara. Namun, ia cepat mengusapnya agar tidak membangunkan Chesna.
Seorang nenek tua yang duduk di bangku seberang memperhatikan mereka. Tatapannya penuh iba. “Anaknya capek, ya, Bu?”
Rania tersenyum tipis, berusaha ramah meski wajahnya pucat. “Iya, Bu… capek sekali. Kami sedang pindah…”
Nenek itu mengangguk, matanya penuh pengertian. “Hidup memang begitu, Nak. Kadang kita harus meninggalkan sesuatu meski hati masih ingin menggenggamnya. Tapi ingat, Tuhan tidak akan beri cobaan di luar batas kita.”
Ucapan sederhana itu menusuk Rania. Ia menunduk, menahan sesak di dada.
Kalau benar begitu, Tuhan… jangan ambil Alan jauh dariku. Biarkan aku bertemu lagi dengannya suatu hari nanti….
__
Tiba di Kota Baru
Pagi menjelang ketika kereta akhirnya berhenti di sebuah stasiun kota yang asing bagi mereka. Rania menggandeng Chesna yang masih mengantuk keluar dari gerbong, membawa koper besar di tangan lain.
Udara kota itu terasa sangat asing. Tidak ada yang menyapa, tidak ada yang mereka kenal. Hanya lautan orang yang berlalu-lalang tanpa peduli.
Chesna menatap sekeliling dengan mata bingung. “Mama… di sini… kita benar-benar sendirian, ya?”
Rania menunduk, menepuk bahu putrinya. “Kita tidak sendirian, Nak. Selama kita bersama, mama dan Kamu, kita masih keluarga. Kita akan baik-baik saja.”
Namun, di balik kata-kata itu, Rania tahu jalan di depan akan penuh perjuangan. Ia harus mencari tempat tinggal baru, pekerjaan baru, dan cara untuk tetap menguatkan Chesna di tengah kerinduan mereka pada Alan.
Malam Pertama di Kos Sederhana...
Hari itu terasa panjang. Setelah berkeliling mencari, akhirnya Rania menemukan kamar kos kecil di pinggir kota. Ruangan sempit dengan dinding kusam, tapi cukup untuk berdua.
Chesna duduk di kasur tipis, memeluk boneka lusuh miliknya. Tatapannya kosong.
“Mama… Kak Alan mungkin sekarang sudah tidur juga di tempat yang jauh… apa dia ingat kita?”
Rania duduk di sampingnya, meraih bahu kecil putrinya. Berkata dengan lembut, “Alan tidak akan pernah lupa. Kamu dan Mama adalah rumahnya. Hati Alan pasti selalu bersama kita.”
Chesna terisak pelan, lalu menyandarkan kepala ke bahu ibunya.
“Mama… jangan biarkan aku pergi jauh juga, ya. Aku takut kehilangan Mama.”
Rania memeluk anak itu erat-erat, air matanya kembali mengalir. “Tidak, Sayang… Mama janji tidak akan pernah kehilanganmu. Kita akan terus bersama, apa pun yang terjadi.”
Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan satu sama lain, dengan hati yang masih luka. Di luar, lampu jalan kota baru itu menyala temaram, seakan menjadi saksi bahwa dua jiwa rapuh tengah berusaha bertahan meski separuh hati mereka tertinggal jauh bersama Alan.
__
Rumah sakit di negeri asing.
Rumah sakit itu jauh berbeda dari yang pernah Alan lihat sebelumnya. Gedungnya menjulang tinggi dengan kaca-kaca berkilau, lorong-lorongnya luas, terang, dan dipenuhi bau antiseptik yang menusuk hidung. Semua peralatan terlihat canggih, membuat Alan seperti berada di dunia yang benar-benar lain. Tapi di dalam hati, ia justru semakin merasa sendirian.
Hari-harinya diisi dengan pemeriksaan panjang. Tim dokter asing datang satu per satu, berbicara dengan bahasa yang Alan kurang mengerti. Hanya lewat penerjemah ia tahu bahwa kondisinya serius, kakinya bisa diselamatkan, tapi perlu operasi besar, fisioterapi panjang, serta biaya yang amat mahal.
Alan berbaring di ranjang, selang infus menusuk lengannya. Ia memandang ke arah kursi di mana Miko duduk dengan laptop terbuka, tampak sibuk dengan pekerjaannya.
Alan berkata lirih, hampir tak terdengar.
“Andai aja mama ada di sini…”
Miko menoleh sekilas, tapi Alan buru-buru menutup mata, berpura-pura tidur.
Miko menatap wajah putranya lama, dadanya bergemuruh. rasa bersalah masih menghantamnya. Ia tahu, Alan merindukan ibunya. Namun, bagaimana mungkin ia membiarkan Rania muncul lagi sedangkan terhadap wanita itu hanya ada kebencian? Aku akan pertemukan mereka sewaktu-waktu.
Keesokan harinya, Alan bersama Miko dan Nyonya Mia duduk mendengarkan penjelasan dokter utama, seorang pria paruh baya berkacamata tebal.
“Operasi ini rumit. Kami akan mencoba menyelamatkan struktur otot dan syaraf di kaki kiri Alan. Setelahnya, ia harus menjalani fisioterapi setidaknya satu tahun penuh. Hasilnya? Kami optimis, tapi semua tergantung kemauan Alan untuk berjuang.”
Alan tampak ragu. Setahun penuh… jauh dari Mama dan Chesna.
“Kalau aku tidak operasi… apa aku masih bisa berjalan?”
Dokter menatapnya dengan serius.
“Kau mungkin bisa berjalan dengan bantuan tongkat, tapi sangat terbatas. Kau tidak bisa berlari, tidak bisa bermain seperti anak-anak seusiamu.”
Kata-kata itu menghantam hati Alan. Ia membayangkan dirinya tak bisa ikut lomba lagi, tak bisa bermain bola bersama teman-temannya, tak bisa melindungi Chesna.
Miko menepuk bahunya, meski suaranya tetap dingin. “Kau akan operasi. Tidak ada pilihan lain.”
Alan menunduk, tak menjawab.
___
Ruangan rumah sakit itu hening. Alan baru saja selesai menjalani pemeriksaan ketika pintu terbuka. Miko masuk, di sampingnya seorang gadis kecil dengan wajah manis dan senyum cerah. Alan sempat mengernyit, merasa pernah melihat gadis itu.
Miko berdiri tegak di sisi ranjang. Suaranya tegas, tanpa basa-basi. “Alan, aku ingin kau mengenal seseorang. Ini Lila… putriku. Itu artinya, dia adalah adikmu.”
Alan terbelalak, matanya bergantian menatap Miko lalu gadis kecil itu. Lila melangkah maju dengan polos, mengulurkan boneka kecil yang dibawanya. “Halo, Kak Alan. Aku Lila. Senang akhirnya bisa ketemu kakakku lagi.”
Alan tercekat, hatinya campur aduk. Ia meraih boneka itu dengan tangan bergetar, lalu menatap Lila dengan tatapan tak percaya. “Adik…?”
Miko mengangguk mantap. “Ya. Mulai sekarang, kalian harus semakin akrab dan terbiasa.”
Alan menunduk, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Lila, tanpa menyadari pergulatan itu, tersenyum lebar dan duduk di samping kakaknya, seolah kebersamaan mereka sudah terjalin sejak lama.
Hari operasi tiba. Alan menangis dalam diam ketika masuk ke ruang bedah, tangannya dingin menggenggam selimut. Lila berusaha menghiburnya di pintu, melambaikan tangan sambil berkata, “Kak Alan kuat! Aku tunggu di luar ya!”
Operasi berjalan berjam-jam. Miko mondar-mandir di lorong, wajahnya tegang. Ketika dokter akhirnya keluar dengan senyum kecil dan berkata, “Operasi berhasil,”
Miko menghela napas lega, meski matanya tetap menyimpan kegelisahan.
Hari-hari setelah itu lebih berat. Alan harus belajar berjalan kembali dengan bantuan alat. Setiap langkah penuh rasa sakit, membuatnya ingin menyerah.
“Tidak bisa… sakit sekali…” Alan terisak ketika fisioterapis menyuruhnya berdiri.
Tapi Lila selalu datang, menggenggam tangannya.
“Kak Alan kan jagoan. Kalau Kak Alan menyerah, nanti aku juga ikut sedih. Kita kan janji mau main bola bareng.”
Ucapan itu membuat Alan menahan tangisnya. Ia menggertakkan gigi, mencoba melangkah lagi. Satu langkah… dua langkah… meski lututnya gemetar, ia terus berusaha.
___
Miko sendiri sering terlihat di ruang latihan, berdiri agak jauh sambil mengamati. Ia jarang bicara banyak, tapi tatapannya penuh perhatian.
Suatu sore, Alan jatuh keras saat mencoba berjalan tanpa alat bantu. Ia memekik, hampir menangis. Fisioterapis hendak menolong, tapi Miko lebih dulu mendekat, meraih lengannya.
“Jangan menyerah, Alan! Kalau kau jatuh, bangkit lagi. Papa tahu kau bisa.”
Alan menatap wajah Miko dengan air mata mengalir. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Kata-kata itu sama seperti yang dulu sering dikatakan Mama. Hanya saja, kali ini keluar dari mulut seorang pria yang masih asing baginya.
___
Meski perlahan membaik, hati Alan tetap hampa. Setiap malam, ia menulis di buku kecil yang disembunyikannya.
Hari ini aku bisa berjalan tiga langkah. Mama, Chesna, kalian pasti bangga. Tapi aku ingin kalian ada di sini. Aku ingin pulang.
Kadang, ia menempelkan kertas itu di jendela, berharap angin bisa membawanya sampai ke rumah kecil yang dulu ia tinggali bersama Rania dan Chesna.
Bulan demi bulan berlalu. Alan makin kuat, makin mampu berjalan tanpa tongkat. Tapi keceriaan tak juga kembali ke wajahnya. Di hadapan Miko, ia sopan dan menurut. Di hadapan Nyonya Mia, ia diam dan menjaga jarak. Hanya pada Lila, ia bisa tersenyum tulus.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa seperti burung yang dipaksa tinggal di sangkar emas. Kakinya boleh sembuh, tapi hatinya tetap terbelenggu kerinduan pada Mama dan Chesna.
___
Bersambung... guys, jangan lupa tambahkan cerita ini ke favorit kalian ya... aku bakal up setiap hari 3 kali kayak minum obat. Sehat2 ya kalian...