Clarissa, yang terikat oleh sistem terpaksa harus menjalani dua kehidupan lagi agar dia bisa mati dengan tenang.
Setelah dalam kehidupan sebelumnya, suskses sebagai wanita karir yang dicintai oleh keluarga dan semua orang, kini dia terlempar ke jama di era 80 an yang terlahir sebagai bayi dari keluarga buruh tani miskin yang tinggal di desa Sukorejo.
Misi kali ini adalah mengentaskan keluarganya dari kemiskinan dan menjadi wanita suskse seperti sebelumnya.
Mampukah Clarissa yang kini bernama Lestari,seorang bayi dengan otak dan pemikiran wanita dewasa,yang sudah pernah jatuh bangun dalam menjalankan usahanya mampu menyelesaikan misinya?
Kehidupan di era 80 an tidaklah mudah, keterbatasan alat dan juga masih tingginya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) membuat hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Lestari yang dalam kehidupan sebelumnya banyak ditunjang oleh kemajuan teknolgi dan percepatan informasi.
Penasaran...
ikuti terus kisa Lestari dalam cerita ini!
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMBANGUN RUMAH PRODUKSI
Setelah membersihkan lahan yang akan dipergunakan untuk membangun rumah produksi, Supardi pun bergegas pergi ke hutan untuk menebang pohon yang kayunya bisa dipergunakan untuk membuat rumah.
“Mau kemana?”, tanya Trisno, suami Sumiati yang kebetulan berpapasan dijalan
“Mau ke hutan, nyari kayu untuk bangun rumah buat produksi keripik. Dapurku kan kecil, sempit dan panas kalau memasak disana”, jawab Supardi sedikit mengeluh.
“Alhamdulillah, usahamu cukup bagus rupannya”, ucap Trisno.
“Alhamdulillah pakdhe, banyak yang suka keripik buatan istri saya”, ucap Supardi dengan nada sedikit bangga.
“Kalau begitu, ayo aku bantu tebang pohon”, ucap Trisno sambil berangkul bahu Supardi dan mengajaknya naik keatas gunung.
Dengan dua orang yang menebang pohon, pekerjaan mencari pohon di hutan jadi bisa berjalan dengan cepat.
Sambil menunggu pakdhe Trisno menebang pohon yang cukup besar untuk dibuat jendela dan pintu, Supardi pun secara bertahap mulai turun dari hutan sambil memanggul pohon yang sudah berhasil dia tebang dan potong, untuk dibawa ke lahan dimana dia akan membangun rumah kayu.
Karena rumah produksi yang akan Supardi buat cukup besar maka diperlukan banyak pohon untuk mendirikannya sehingga keduanya baru selesai menebang dan mengangkuti semuanya ketika matahari hampir tenggelam.
“Besok, jika tak ada halangan, saya minta tolong pakdhe untuk membantu saya membangun rumah agar bisa cepat selesai”, ucap Supardi.
Trisno tampak berpikir sejenak sambil menikmati sebatang rokok yang di hisap dalam-dalam ditemani secangkir kopi panas dan sepiring ketela goreng.
“Besok, aku bisa bantu tapi sampai siang saja, soalnya habis dhuhur aku disruh ke rumah juragan Iman untuk membantunya membuat kandang bebek”, jawab Trisno sambil mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.
“Enggeh, tidak apa-apa. Saya sangat berterima kasih sekali pakdhe masih mau membantu saya”, ucap Supardi tak enak hati.
“Kamu ini, kaya sama siapa aja...”, ucap Trisno sambil terkekeh pelan.
Keduanya mengobrol sambil menunggu keringat yang membasahi tubuh mereka kering dan menikmati ketela goreng yang renyah dan manis.
Sebelum matahari bennar-benar tenggelam, Trisno pun segera pamit pulang untuk membersihkan diri, begitu juga dengan Supardi yang langsung masuk kedalam kamar mandi begitu tetangganya itu menghilang dibalik pohon jagung.
***
Keesokan harinya,
Keduanya segera memasang pondasi rumah, sambil menunggu pondasi mengering, keduanya pun mulai memotong kayu sesuai ukuran yang akan dipergunakan dengan gergaji.
Karena dikerjakan berdua, pemotongan kayu berjalan dengan cepat karena ketrampilan pertukangan yang dimiliki keduanya cukup mumpuni.
Sesuai perkataan Trisno, setelah makan siang yang disiapkan oleh Srikandi, pria itupun pergi ke rumah juragan Iman untuk menyelesaikan janji pekerjaan yang telah diterimanya, meninggalkan Supardi yang kini tengah membuat jendela untuk rumah yang akan dibanggunnya.
Dua hari Supardi membuat kusen pintu dan jendela sambil menunggu pondasi mengering. Baru dihari ketiga, rumah kayupun mulai dikerjakan.
Rumah kayu yang dibuat sebagai tempat produksi camilan yang dijualnya baru selesai dikerjakan pada hari ketujuh dengan bantuan anak sulungnya yang ikut bekerja membangun rumah setelah dia pulang dari sekolah.
Dengan adanya rumah produksi maka tenaga kerja dirumahnya pun mulai ditambah. Kali ini Supardi mulai mencari pekerja agak jauh dari rumahnya tapi masih satu desa.
Dia mengutamakan wanita paruh baya yang miskin dimana dia sudah tak bisa melakukan pekerjaan berat sehingga dengan adanya pekerjaan di rumahnya, para wanita itu bisa membantu perekonomian keluarganya setiap hari.
Gaji yang diberikan oleh Supardi mingguan agar uang yang mereka dapatkan bisa segera dibenlajakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak seperti pangan karena hal itu pernah Supardi dan keluarganya alami dulu, sebelum perekonomiannya sedikit membaik berkat saran dari Tari.
“Bu, acara selapan tari kurang satu minggu lagi. Kita sudah mulai harus bersiap dari sekarang”, ucap supardi mengingatkan.
Sang istri yang sibuk menangani produksi keripik dan aneka camilan, sedikit melupakan hal itu sehingga begitu diingatkan, dia langsung bergegas.
“Nanti aku list apa saja yang perlu bapak beli di pasar induk besok, agar tak kerepotan mencari bahan untuk acara nanti. Sekalian, bapak hubungi juragan Darto untuk membeli kambing buat aqiqahan”, ucap Srikandi sambil menulis apa saja yang diperlukan buat acara nanti.
Meski miskin, tapi Supardi dan Srikandi selalu mengusahakan agar anak mereka di aqiqahi setelah berusia 35 hari (selapan-dalam trandisi jawa biasanya ditandai dengan adanya pencukuran rambut bayi dan pemotongan kuku dan doa bersama)
Kali ini, selain mengadakan acara selapan sekaligus aqiqahan untuk Lestari, Srikandi juga ingin mengadakan acara syukuran atas limpahan rejeki yang didapatkannya setelah bayi perempuannya terlahir kedunia sehingga dia akan membuat acara yang lebih besar dan meriah dibandingkan sebelum-sebelumnya karena sekarang dia memiliki dana sehingga ingin berbagi kebahagiaan dengan banyak orang.
Begitu Srikandi memberikan catatan dan uang untuk belanja esok hari, tiba-tiba suara hati Tari terdengar.
“Ayah, pelgi beli kambingnya sole ini saja kalena besok pagi julagan Dalto akan telkena musibah, ibunya akan dilawat dilumah sakit dan ada pelmasalahan kelualga yang cukup pelik disana sehingga dia halus pulang dan kemungkinan balu kembali satu bulan lagi”.
Tari yang merasa jika kambing milik juragan Darto bagus dan orangnya juga jujur perlu memberi ayahnya peringatan agar ayahnya tak sampai membeli kambing untuk acara selapannya ke penjual yang curang.
Supardi yang mendengar peringatan yang Tari beri pun segera bersiap pergi kerumah juragan Darto untuk membeli kambing.
“Oya bu, besok pagi akan sangat sibuk jadi aku membeli kambingnya sore ini juga agar besok tinggal belanja dipasar induk saja”, ucap Supardi berpamitan ketika hendak keluar dari rumah.
Tari yang mendengar ucapan ayahnya merasa sangat lega. “Aku tak menyangka jika ayah dan aku memiliki pemikilan yang sama denganku. Memang tak salah, dalah lebih kental dali ail”.
Supriadi yang mendengar ucapan Tari merasa malu, semua ini berkat bayi cantiknya. Jika tak ada peringatan dari Tari, kemungkinan dia akan bingung kemana lagi mencari kambing dengan harga murah tapi memiliki kualitas bagus seperti milik juragan Darto.
Tak ingin membuang waktu, Supardi pun segera mengayuh sepedanya meninggalkan bayi cantiknya yang baru saja selesai dimandikan.
Setelah mengayuh sepeda kurang lebih tiga puluh menit, Supardi tiba di kandang kambing milik juragan Darto dan kebetulan pria berkumis itu sedang berada disana.
"Lho, juragan keripik ada disini. Ada perlu apa nih kesini? apa mau cari kambing aqiqahan?", tanya juragan Drato sambil menyalami Supardi dengan ramah.
"Juragan Darto ini bisa saja. Usaha saya ini masih kecil, jika dibandingkan dengan usaha milik juragan Darto, tak ada seujung kuku", ucap Supardi merendah.
"Kamu itu ya, bisa saja merendah seperti itu. Yang penting itu, terus berkelanjutan. Sedikit demi sedikit, nanti juga akan besar dengan sendirinya jika kita sabar dan yang penting jangan sampai mengurangi kualitas", Darto mencoba memberikan masukan kepada teman sekolahnya itu agar usaha yang dirintisnya bisa maju.
"Terimakasih atas masukannya. Oya, aku sekini mau cari kambing buat aqiqahan Tari", ucap Supardi mengutarakan maksud kedatangannya.
"Wah, cepat sekali ya sudah selapan. Aku saja masih belum sempat kerumahmu untuk menjenguk bayimu", ucap juragan Darto sedikit merasa bersalah.
"Tidak apa. Kamu bisa datang pas aqiahan nanti untuk melihat anak perempuanku", jawab Supardi.
Melihat waktu sudah hampir gelap, juragan Darto pun segera membawa Supardi ke kandang kambing untuk memilih kambing aqiqah buat anak perempuannya.
di tunggu upnya thor