Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersalah pada keduanya.
Amelia menatap Gunawan yang sedang asik bermain basket. Jam istrihat pertama dan guru yang tidak masuk setelahnya membuat Amelia punya banyak waktu untuk melihat Gunawan bermain.
Sesekali Amelia melirik pada anak-anak perempuan dan kakak kelasnya yang berteriak histeris saat Gunawan memasukkan bola.
“Kenapa mereka sampe teriak gitu coba?” Gumamnya. Entah untuk yang ke berapa kalinya Amelia melirik layar ponsel. Tidak ada apa-apa.
Chat yang dia kirim pun belum ada satupun yang dibalas Harlan. Sudah beberapa hari ini komunikasi mereka sangat buruk karena Harlan yang sibuk.
“Cemberut mulu dari tadi,” ujar Gunawan saat break. Dia duduk di samping Amelia. Lalu meneguk air dalam botol. Sekali teguk, hanya menyisakan seperempat air dalam botol.
Melihat keringat yang bercucuran, Amelia tidak kuat menahan diri untuk tidak menyekanya. Dia mengambil handuk kecil lalu mengelap wajah dan leher Gunawan dengan kasar.
“Jorok.”
“Perhatian banget sih, sayang.”
“Eitsss.” Amelia mengacungkan jari telunjuknya. Memperingatkan Gunawan agar mematuhi perjanjian yang telah mereka buat waktu itu.
“Kan lagi berdua. Merek jauh, sayang.”
“Heh, jerapah. Gue udah punya pacar.”
“Selama janur kuning belum melengkung, kita setrika aja, bos.”
“Gak jelas!” Amelia mendorong tubuh Gunawan. Mereka tertawa.
“Main sekali lagi, terus balik ke kelas. Tunggu ya.”
“Iya, lagian gue ke kelas juga mau sama siapa? Kagak punya temen.”
Amelia belum memiliki teman dekat di sekolah ini, Ade bersekolah di tempat lain. Sementara teman yang dulu satu sekolah pun hanya sekedar say hai saja.
Senyum Amelia terus melengkung melihat betapa lihai nya Gunawan bermain basket. Tidak heran dia menjadi kapten di club nya saat smp.
Kulitnya yang putih dan bersih, terlihat mengkilap tat kala keringat yang membasahi tubuhnya terkena sinar matahari.
“Pantas saja banyak wanita yang suka sama dia. Gunawan memang sangat menawan,” gumamnya.
Gunawan melambaikan tangan. Refleks Amelia membalas disertai senyuman.
Permainan berakhir. Mereka kembali menuju kelas bersama. Sambil bercerita dan tertawa, mereka seolah lupa jika di dunia ini tidak hanya ada mereka.
Rasa bosan karena buruknya komunikasi bersama Harlan, dan Gunawan yang terus saja memberi perhatian. Membuat Amelia semakin dekat dengan kapten basket itu secara tidak dia sadari.
Jika chat pada Harlan tidak di balas. Maka dia akan asik bersenda gurau chat ria dengan Gunawan. Bahkan Amelia Diah berani berbohong pada dirinya sendiri dan pada Ira.
Jika chat dia dengan Harlan tidak pernah dia hapus. Maka Amelia akan menghapus seluruh chat yang ada dengan Gunawan.
Awalnya dia merasa bersalah, tapi karena terlalu sering melakukan hal itu. Berbohong pada Ira sudah merupakan hal yang wajar baginya.
“Kamu masih deket sama temen kamu itu, Dek?” Tanya Ira saat mereka sedang nonton televisi.
“Nggak, Ma. Ya maksudnya gak deket banget. Ya mau gimana lagi kalau ketemu sih gak bisa dihindari. Kan kita satu kelas.”
“Ya wajar kalau ketemu doang, sih. Jangankan satu kelas, satu sekolahan pun pasti akan bertemu.”
“Lagian kita cuma temenan. Gak lebih.”
“Kamu pernah denger gak istilah ttm. Teman tapi mesra?”
“Pernah. Kenapa gitu?” Tanya Amelia sambil mengunyah kacang bawang.
“Jangan begitu ya, dek. Entahlah, kok mama gak suka ya sama dia. Beda aja gitu saat pertama kali mama bertemu Harlan. Temen kamu itu kayak petakilan, terus kayak centil gimana gitu.”
“Wajah sih, namanya juga anak sma. Gak akan sedewasa anak kuliahan.”
“Kok kayaknya kamu gak terima ya, mama ngatain dia.”
“Au ah, mama mah suka nemu aja celah buat nyerang adek.”
Ira tertawa. Mereka kembali fokus pada film horor yang sedang ditonton. Sesekali mereka berteriak histeris saat melihat hantunya muncul beserta efek jumscarenya.
Saat Ira dan Amelia sedang tegang-tegangnya menonton film, menunggu hantu itu muncul. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara dari belakang.
Amelia dan Ira langsung berteriak sambil berpelukan.
“Ihhhhh, apaan sih! Ngagetin aja.” Ira beteriak.
Emosi yang sebelumnya begitu menggebu, tiba-tiba hilang saat melihat siapa orang yang mengejutkan mereka.
“Abaaang ….”
Amelia langsung berlari dan memeluk Rehan. Pria itu menggendong adik kesayangannya sambil berputar.
“Nak, pulang gak bilang-bilang.”
Rehan menciumnya punggung tangan ibunya, lalu memeluknya erat. Seolah ada beban berat yang ingin dia limpahkan.
“Gimana? Udah selesai?”
“Alhamdulillah aku udah sidang, Ma.”
“Lulus?” Tanya Amelia.
“Hmmm.”
“Yeaaayyyy! Selama ya, abang.”
“Terus, temen kamu yang waktu itu ke sini, gimana?” Tanya Ira seolah ingin mewakili perasaan anak gadisnya.
“Dia lulus. Bahkan dengan nilai terbaik katanya. Gimana gak lulus, dia fokus banget sampe pernah drop. Lupa kali gak makan dan gak jaga kesehatan. Katanya dia harus lulus dengan nilai bagus supaya dapat pekerjaan yang baik. Ada yang ingin dia buktikan pada seseorang. Tau lah, gak ngerti aku sama dia. Padahal gak kerja pun dia bisa bikin kerjaan sendiri.”
“Dia gak pulang juga?” Tanya Ira lagi.
“Ada. Noh, di luar lagi telponan sama dosen. Tau ngomongin apa.”
Ira melirik anak gadisnya. Memberi isyarat agar dia bisa menahan diri dan tidak terlalu menonjol di depan Rehan.
“Ya udah, kamu mandi dulu. Nanti mama dan adek buatin makan malam.”
“Iya, Ma.”
Rehan naik ke atas.
Setelah Rehan tidak terlihat, Ira menyentil hidung anaknya gadisnya.
“Bisa kondisikan gak reaksi kamu, Dek? Jangan keliatan kegirangan gitu. Nanti abang curiga.”
“Maaf, Mama.” Bisiknya.
“Ya udah, mama mau bikin makan malam dulu. Kamu ke depan sana.”
“Ih, mama kok pengertian syekaleeeh sama adek.”
“Pergi atau—“
Amelia langsung berjalan pergi meninggalkan Ira. Langkahnya melambat saat hendak sampai ke pintu. Dada nya berdegup kencang karena akan bertemu dengan sang kekasih.
Begitu membuka pintu, Amelia terkejut saat Harlan pun hendak masuk. Mereka hampir bertabrakan jika tidak bisa mengendalikan langkah kakinya.
Keduanya nampak gugup.
Harlan menghela nafas. Mencoba mengendalikan diri agar tidak merasa tegang dan gugup.
”kenapa nunduk aja?” Tanya Harlan pada Amelia yang menundukkan kepala malu-malu.
“Sayang ….” Harlan berbisik.
“Aku marah sama kakak.”
“Kenapa? Aku bikin salah apa?”
“Gak ngasih aku kabar. Ngalang terus. Bahkan chat aku kadang gak suka dibalas.”
Tentu saja itu hanya alasan Amelia untuk menutupi betapa dia merindukan pria yang ada di hadapannya saat ini. Penjelasan Rehan sebelumnya sempat menampar hati Amelia. Dia merasa bersalah karena selama ini berburuk sangka pada Harlan. Dia bahkan melampiaskan kerinduannya dengan berdekatan bersama Gunawan.
Jika sudah seperi ini, maka Amelia pun akan sangat bersalah pada Gunawan.
“Maaf, ya. Aku sibuk.”
“Iya, tau kok. Abang juga bilang kakak pernah sakit. Sedih banget aku gak dianggap, bahkan gak dikasih tau kalau kakak sakit. Apa sangat tidak sepenting itukah arti aku dalam hidup kakak?”
Harlan tersenyum. Baru saja dia ingin membelai kepala kekasihnya, Ira memanggil Amelia dari dalam.
Rupanya Rehan sedang berjalan menuruni anak tangga.
Amelia segera berbalik, dan berlari menuju dapur.