“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Menjadi Tumbal Kesenangan
Alex kembali ke apartemen Rayyan dengan amarah yang belum padam. Sesampainya di sana, dia langsung membuka laptop dan meminta Rayyan mengambil semua rekaman CCTV dari kafe tempat Eve biasa bekerja.
Jika benar yang dikatakan Shania bahwa Eve sudah pulang sejak sore, maka jejaknya seharusnya terekam.
Dia memutar rekaman itu, mempercepat waktunya sampai mendekati jam pulang. Dan tepat seperti dugaan, rekaman itu menampilkan Eve yang baru saja masuk ke kafe. Tapi tak sendiri—dia menemui seseorang.
Seseorang yang sangat dikenal Alex. Saudara tirinya.
“Darren …,” gumamnya sinis, dengan senyum menyeringai di sudut bibir.
Alex membiarkan rekaman itu terus berjalan. Beberapa menit kemudian, Darren meninggalkan meja, dan Eve tampak duduk sendirian—namun tidak lama. Dalam rekaman, tubuhnya mulai melemas, seperti kehilangan kesadaran. Lalu, dua pria asing masuk dan membopongnya ke luar, langsung menuju mobil van berwarna hitam yang sudah menunggu.
Dengan satu gerakan cepat, Alex mematikan rekaman dan berdiri. Rayyan juga sudah siap—kunci mobilnya di tangan, tidak butuh instruksi lebih. Mereka sudah tahu ke mana harus pergi.
Bar tujuan utama mereka. Begitu tiba, Alex tidak membuang waktu—langsung masuk dan menuju meja bar tempat Darren biasa berdiri. Tanpa sepatah kata pun, Alex mencengkeram kerah Darren dan menyeretnya keluar dengan paksa.
“Di mana dia?” Suaranya rendah dan tajam, mengandung ancaman mematikan.
Darren menepis dengan kasar. “Jangan membuat keributan di tempatku, Alex!”
Alex mendorongnya ke dinding. “Bukan cuma keributan—aku akan hancurkan tempat ini kalau kau tidak mengatakannya sekarang juga!”
Darren mendengus, tapi tak bisa menyembunyikan kepanikan di matanya. Dia sadar—Alex tahu. Dan kalau pria itu sudah sampai ke tahap ini, tidak ada yang bisa menghentikannya.
“Aku tidak akan memberikannya malam ini,” ucap Darren akhirnya. “Dia aman bersamaku. Itu saja yang perlu kau tahu.”
“Berikan dia sekarang juga.”
“Aku akan memberikannya besok, hanya setelah efek obat itu sudah tidak ada lagi.”
Dia tahu. Sebab, orang yang mencarikan obat itu adalah dirinya, sesuai permintaan Ibunya. Meski Darren melakukan, tapi dia tidak akan membiarkan Alex menyentuh Eve. Tidak akan!
Alex mencengkeram leher bajunya lebih erat, nadanya semakin dingin. “Itu bukan urusanmu. Menyentuh atau tidak, itu hakku. Dia istriku.”
“Kau sudah berjanji. Setelah pernikahan kalian selesai, dia akan jadi milikku.”
“Dan sekarang dia masih milikku,” desis Alex. “Jangan paksa aku mengambilnya dengan cara yang tidak kau sukai.”
“Kau tidak akan mendapatkannya malam ini. Aku tidak akan membiarkan dia menjadi tumbal kesenanganmu."
Darren bahkan belum sempat menegakkan bahunya ketika kepalan tangan Alex menghantam wajahnya keras. Suara benturan dan kursi jatuh mengundang perhatian para pengunjung, tapi tidak satu pun berani ikut campur.
Darren berusaha bangkit dan melawan. Mereka saling melempar pukulan, membenturkan tubuh ke meja dan kursi. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu: siapa mereka satu sama lain, dan mengapa pertarungan ini terasa begitu pribadi.
Rayyan hanya berdiri di belakang, tidak berusaha melerai. Dia sibuk menelepon Edgar.
“Sudah kau temukan?”
“Ya, Tuan. Saya di depan apartemen Darren sekarang. Pintu sudah saya dobrak, dan Nyonya Muda ada di dalam. Tapi dia belum sadarkan diri.”
“Jaga dia. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kami akan segera ke sana.”
Begitu telepon ditutup, Rayyan maju dan menahan tangan Alex yang siap menghantam lagi.
“Cukup, Tuan. Istri Anda sudah ditemukan.”
Alex terdiam sejenak. Nafasnya masih memburu. Ia meludah ke lantai, lalu menatap Darren yang sudah babak belur.
“Beri tahu Frans. Katakan bar ini diserang dan Darren terluka,” ucapnya dingin.
Rayyan mengangguk.
Bagi Alex, yang terpenting saat ini adalah membuat Laureen keluar dari rumahnya. Dia tidak boleh tahu apa yang terjadi pada Eve saat ini.
Edgar sudah berdiri di depan pintu apartemen Darren saat Alex dan Rayyan tiba. Pintu terlihat rusak, seperti bekas didobrak, tapi tetap tertutup rapat.
“Di mana dia?” tanya Alex cepat.
“Di dalam, Tuan. Dia belum sadar.”
Alex menerobos masuk.
Di dalam kamar, Eve masih terbaring tenang. Tubuhnya tertutup selimut hingga batas dada, napasnya lembut dan teratur—masih di bawah pengaruh obat tidur.
Tanpa ragu, Alex menyibak selimut itu dengan kasar. Ia menyelipkan satu tangan di bawah leher Eve dan tangan lainnya di bawah pahanya, lalu mengangkat tubuh wanita itu ke dalam gendongannya.
Eve tak bereaksi sedikit pun.
Rayyan sigap membantunya membuka pintu belakang.
“Ibuku sudah pergi?” tanya Alex sambil menatap ke depan.
“Baru saja meninggalkan rumah Anda.”
Alex hanya mengangguk tipis. “Kita pulang.”
Tanpa menunggu perintah, Rayyan telah lebih dulu menghubungi Nic. Luka di pelipis Alex yang robek serta wajah lebamnya tak bisa dibiarkan begitu saja.
Nic tiba bersamaan dengan kedatangan Alex di rumah. Tanpa banyak tanya, ia mengikuti Alex yang menggendong Eve ke kamar.
“Astaga, Alex. Apa yang terjadi? Kenapa dia, dan kenapa juga dirimu? Kau habis berkelahi?” tanya Nic, bingung melihat keduanya.
Alex meletakkan Eve di atas ranjang, lalu berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap Nic tajam.
“Kebetulan kau datang. Aku perlu bicara denganmu.”
“Bicara tentang apa?”
“Apa yang sudah kau lakukan padaku?”
Nic menaikkan alis. “Aku sudah melakukan banyak hal padamu. Yang mana yang kau maksud?”
“Apa kau sengaja membuatku impoten sungguhan?”
Nic terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Apa maksudmu? Kau terkena karmamu sendiri?”
“Aku pikir ini ulahmu.”
“Coba jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?”
Alex menghela napas, frustasi. “Ibuku memberiku obat per4ngsang. Aku pergi menemui Paula, dan di sana aku sudah menel4njangi seorang wanita. Sialnya, aku tak merasakan apa-apa. Sama sekali tidak ada dorongan untuk menyentuhnya.”
Nic terkekeh, nyaris geli. “Jadi kau pikir aku meracuni kau dengan penurun gairah?”
“Siapa lagi yang punya akses selain kau?”
Nic menggeleng, masih tertawa. “Alex, dengar ... mungkin kau sudah menemukan 'obatmu' sendiri.”
Alex menatapnya curiga. “Apa maksudmu?”
“Kau akan sadar sendiri nanti. Aku pun tak yakin sepenuhnya. Sekarang duduk. Luka di keningmu harus dijahit.”
“Kau keluar. Aku akan menggantikan bajunya.” Alex menunjuk Eve.
Rayyan yang dari tadi berdiri di ambang pintu maju setengah langkah. “Tuan, Anda yakin akan melakukannya sendiri?”
Alex menoleh, ekspresinya datar. “Aku sudah bilang, aku kehilangan selera.”
Baru beberapa detik lalu Alex bilang hasratnya hilang. Tapi saat resleting Eve terbuka separuh, tangannya terhenti di sana.
Jantungnya mulai berdetak lagi. Hangat. Panas. Seperti bara yang tak padam, hanya tersamarkan.
Ia menatap wajah Eve. Baru sekarang ia menyadari—betapa bibir mungil itu terlihat menggoda. Satu isapan saja, dan semuanya bisa lenyap seperti waktu itu.
Tangannya bergerak, menyentuh bibir itu dengan ujung jari. Lembut. Terlalu lembut. Cukup untuk membangkitkan badai yang coba dia kubur.
Alex mengerjap. Ia menarik diri, cepat. Lalu pergi begitu saja tanpa melakukan apa yang dia katakan tadi. Lupakan mengganti baju. Dia bisa gila jika tetap di sana.
“Aku pikir kau takkan keluar sampai pagi,” cibir Nic, berdiri di dekatnya dengan senyum miring. Ia mulai membersihkan luka di tubuh Alex, tangannya cekatan seperti biasa.
“Alex,” lanjutnya. “Apa kau sungguh tak ingin membuat hubungan ini jadi lebih serius?”
“Aku tidak mencintainya.”
“Bagaimana kalau ternyata kau hanya belum sadar?”
“Kau tahu jawabanku,” ucap Alex, pendek. “Aku tidak tertarik menjalin hubungan.”
Nic mendes4h, tapi matanya menyipit memperhatikan wajah sahabatnya. “Aku tak yakin kata-kata itu masih bertahan lama.”
***