Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panasnya Ruang Sidang
Surat dari psikiater dilempar ke meja persidangan, membuat suasana makin memanas. Nadine bahkan sudah membuka mulut untuk menginterupsi, ingin mempermalukan Sania dengan surat itu. Namun, karena Alveron mencegahnya dengan isyarat mata, Nadine tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk sambil menahan geram.
"Beberapa kali Tuan Irfan meminta konsultasi dan mengonsumsi obat dari psikiater sebelum akhirnya setahun belakangan ia bisa tenang setelah berhasil menemui putri kandungnya secara langsung."
Sania disini merasa ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh Alveron. Tuduhan itu tidak berdasar sebab teror yang tak terhingga itu memaksanya mundur. Apa benar Irfan berkonsultasi dengan psikiater karena frustrasi menahan rindu pada Mutiara? Sania menimbang ragu.
Sania sudah bersiap mendebat tetapi ia merasa percuma sebab semua dokumen bukti teror tidak ia bawa. Lagipula, Maxwell belum memberikan kabar soal perkembangan pencarian kaki tangan Nadine. Bisakah bukti itu berbicara banyak?
Sania segera menenangkan diri dengan meminum air di botol yang tersedia. Sejenak ia berpikir sembari mendengarkan pidato Alveron yang berputar-putar untuk menjatuhkan Sania. Bahkan Alveron mengatakan Sania egois yang tidak mengizinkan Mutiara hadir di persidangan dan dibiarkan memilih sendiri siapa yang ingin dia ikuti.
"Nyonya Sania!" Hakim memanggil Sania untuk memberikan respon.
Sania segera berdiri dan sedikit tersenyum. "Saya memang tidak mengizinkan putri saya hadir di persidangan dan saya tidak membawa putri saya menemui ayahnya, Yang Mulia ...."
Semua orang dibuat kaget oleh penyataan itu. Bahkan mereka tidak menyangka kalau Sania benar-benar tidak melakukannya dan mengakui di depan hakim. Sania sedang berjalan menuju tiang gantungan rupanya.
Namun, sikap tenang Sania membuat Lita Jordan mengerutkan kening. Ia sudah menyangka kalau Sania akan kalah dengan pengakuan barusan, tapi ketenangan itu seperti sedang mengokang senjata terakhirnya.
Disisi lain, Alveron terkekeh pelan dan menundukkan kepala pada hakim seolah persidangan ini sudah ia menangkan. Langkahnya tenang terayun ke sisi Nadine dan Irfan. Nadine tersenyum penuh makna melihat Sania benar-benar tidak punya jalan keluar lalu pada akhirnya akan menyerah.
Ini benar-benar hanya membuang waktu. "Percuma dia menolak mediasi dan membawa gugatan ini ke meja persidangan!" Alveron berbisik pada Nadine. "Dia tidak tahu bahwa ke meja pengadilan belum tentu akan mendapat keadilan. Dia orang baru yang tidak tahu apa-apa, tapi sok tau soal hukum."
Nadine tersenyum puas. Rasanya ia ingin menertawakan Sania keras-keras disini.
"Namun ada alasan kenapa saya tidak mengizinkan puteri saya hadir disini maupun menemui ayah kandungnya!" Sania melanjutkan ucapannya setelah ruang sidang jadi tenang. Senyum Nadine perlahan pudar. "Saya tahu, tanpa bukti, kata-kata saya hanya terdengar sebagai sebuah omong kosong yang terkesan mencari-cari alasan. Akan tetapi, saya bisa menjamin ucapan saya benar. Diri dan nyawa saya taruhannya."
Hakim merasa aneh dengan kata-kata Sania. "Nyonya, kami tidak menerima alasan seperti itu."
"Saya benar-benar punya bukti atas teror yang Nyonya Nadine lakukan pada saya sejak saya bercerai, Yang Mulia! Saya berani jika harus bersumpah atas nama Tuhan!"
"Bohong, Yang Mulia!" Nadine meraung marah, urat-urat di wajahnya muncul semua, mukanya menjadi merah dan tampak mengerikan. Mirip iblis wanita yang haus darah. "Dia memfitnah saya—"
"Saya akan membuktikan dengan sepenuh hati, Yang Mulia." Sania agak kecewa dengan keputusannya meninggalkan dokumen bukti yang ia kumpulkan sewaktu melapor dulu. "Beri saya waktu untuk membawa bukti tersebut ke muka persidangan."
Hakim setuju. "Baiklah, sidang diskors selama setengah jam!"
Sania segera duduk dan menelpon Rey, namun karena sadar sedang berhadapan dengan orang yang bisa melakukan apa saja, ia meminta Rey dikawal oleh Jack dan anak buah Rob yang lain.
Nadine dengan gigi gemeretuk menghubungi seseorang, lalu ketika keluar dari ruang sidang, ia menuju kamar mandi.
"Aku mau kau melakukan sesuatu! Sekarang juga!" Nadine segera mengatakan apa saja yang harus dilenyapkan agar apapun yang ia lakukan di masa lalu tidak terungkap.
Beberapa menit kemudian, Nadine kembali bergabung bersama Alveron dan Irfan dengan perasaan puas tak terkira.
"Bukti apa yang Sania punya sampai dia berani bersumpah seperti itu?" Alveron menatap Irfan penuh tanya. "Apa kalian menyembunyikan sesuatu?"
Irfan menggelengkan kepala. "Saya tidak punya sesuatu untuk disembunyikan dari anda, Pak Alveron."
"Baguslah, jika saja apa yang dikatakan Sania terbukti, kita akan kalah telak tanpa bisa mengelak!" Alveron mengingatkan, sejenak ia menatap Nadine yang senyumnya begitu mencurigakan.
"Jika Sania bisa membuktikan saya yang melakukan teror padanya, saya mungkin harus bersujud di kakinya sebelum di penjara ... benarkan, Alveron?"
Alveron mengangguk pelan. Sepertinya Nadine benar-benar bersih dari tuduhan Sania. Jika tidak, tidak mungkin Nadine berkata seberani itu di depannya.
Setengah jam berlalu, tetapi Rey belum muncul juga di sini. Sania menggigit bibir karena panik dan cemas. Apalagi ketika Nadine beserta rombongan mereka masuk, kentara sekali Nadine sedang mengejeknya.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Sania. Bergegas ia membuka pesan itu.
"Bu, apartemen anda terbakar, saat ini sedang berusaha dipadamkan."
Sania tersenyum tenang. Lantas menatap kembali tablet yang ia bawa, dimana ia masih menyimpan video yang Max kirimkan waktu itu.
Hakim memulai kembali sidang, dan meminta Sania menunjukkan bukti. Dengan segera Sania berdiri dan memberikan bukti video itu pada panitera persidangan dan hakim untuk melihatnya.
"Ini merupakan rekaman CCTV playground dimana anak saya ditemukan dalam kondisi kritis."
Sania tidak perlu repot-repot menatap Nadine untuk melihat kegelisahan wanita itu.
"Saya tidak melaporkan penculikan ini karena saya tidak punya bukti kuat yang bisa menyatakan Nadine sebagai pelakunya. Tapi saya yakin dengan pasti bahwa satu-satunya orang yang mungkin melakukan hal keji semacam itu hanyalah selingkuhan suami saya 10 tahun lalu. Rekaman ini saya dapat beberapa bulan lalu setelah rekaman itu dinyatakan hilang selama 10 tahun."
"Itu tidak ada hubungannya dengan klien kami dan alasan kenapa putri kandung tidak dipertemukan dengan ayahnya Yang Mulia!" sela Alveron tegas. "Seperti kata Nyonya Sania sendiri, bahwa ia tidak punya bukti kuat, tetapi membawa rekaman CCTV ke muka hukum hanya berdasarkan keyakinan dan pandangan pribadi. Apalagi mereka jelas merupakan rival, Nyonya Sania hanya mengada-ada karena ia frustrasi."
Hakim setuju. "Anda tidak bisa membuktikan rekaman ini berhubungan langsung dengan yang kita bahas dan penggugat, Nyonya Sania."
Sania mundur setelah menerima tabletnya, lalu menggeser ke slide berikutnya. "Ini satu dari banyak surat teror yang saya terima, Yang Mulia. Saat ini bukti yang saya miliki dalam perjalanan."
"Ini tidak akan membuat persidangan maju, Yang Mulia! Tergugat hanya sedang mengulur waktu padahal dia tidak bisa membuktikan apa-apa!" seru Alveron sedikit mendesak pengadilan dan panitera. Biasanya, untuk segera memenangkan persidangan, pengacara perlu mendesak dan sedikit mempengaruhi hakim secara psikis. Biasanya ini efektif.
"Maaf, saya sedikit terlambat karena macet!" Suara pintu sidang yang terbuka begitu keras, membuat semua orang terpaku. "Saya membawa bukti yang Bu Sania minta."
Rey masuk bersama Robert Denver alih-alih Jack seperti yang Sania minta. Seluruh atensi langsung tersedot ke sana, seakan semua tidak berarti karena adanya Robert Denver yang berkuasa.
Untuk apa seorang Robert Denver sampai turun sejauh ini?
Rob duduk di kursi audiens sementara Rey menyerahkan berkas kepada Sania. Sania menerima berkas tapi matanya tertuju pada Rob, seakan mengatakan kenapa harus repot ke sini?
Rob tidak merespon, tapi tujuannya jelas. Mendukung penuh Sania. Rey juga ikut duduk di sebelah Rob dan menyaksikan persidangan.
Sania dengan cepat menyerahkan berkas ke panitera lalu hakim kembali menskors sidang 15 menit tanpa seorangpun diizinkan keluar.
Nadine, Irfan dan Alveron berdiskusi panas, tapi tidak sampai membuat Nadine menunjukkan gelagat bersalah yang bisa ditangkap oleh Sania.
Di sisi Sania, Rob langsung berinisiatif mencarikan Sania pengacara tapi Sania menolak.
"Tidak usah! Mereka tidak penting!" Sania santai karena bukti itu kuat sekali. "Kau juga, kenapa harus sampai datang ke sini? Kau bikin kacau fokus persidangan!"
Robert mengendikkan bahu ringan dan percaya diri. "Aku datang untuk mendukungmu secara moral sebagai teman, tidak tahu ternyata kau tidak suka!"
"Bukan begitu—aku suka, tapi lihat, semua orang mencuri pandang ke arah sini! Kita jadi pusat perhatian! Nanti hakim bisa membuat putusan yang berat sebelah karena ada kamu!"
"Apa kau pikir aku punya sihir yang hanya dengan melihat aku saja, hakim bisa membuat keputusan yang tidak adil?" Rob menggelengkan kepala seraya berdecak seakan ucapan Sania tidak masuk akal. "Aku baru tau kau punya pikiran yang tidak logis seperti itu."
Sania gemas sekali pada Rob yang bertingkah sok tidak tahu soal efek apa yang ia timbulkan jika dia hadir di suatu tempat. Sania menghela napas dan menyerah mendebat Rob. Jelas ini mempengaruhi keputusan hakim nanti. Karena Rob orang yang disegani, beberapa orang tahu siapa Rob, meski Sania tidak tahu seberapa besar kuasa Rob, tapi beberapa kali Sania memahami betul efek yang Rob timbulkan setiap kali berada di sebuah forum.
Rey menutup mulut dan terus menahan senyumnya. Ya ampun, mereka ini romantis sekali.
Sidang kembali bergulir, semua orang kembali ke posisi awal. Bukti dibeberkan, Nadine dan Sania masing-masing mengutarakan tuduhan dan alibi yang kuat.
"Sekali lagi saya tekankan kepada Nyonya Sania, bahwa tidak ada satupun bukti yang anda bawa adalah hasil kejahatan klien saya." Alveron menutup debat sengit ini dengan sebuah kalimat yang tegas dan meyakinkan hakim. "Yang Mulia lihat sendiri, bukti itu hanya tulisan yang mana siapa saja bisa menulis dan melemparkan kepada Nyonya Sania."
Alveron mendekat ke depan Sania. "Kecuali jika Nyonya Sania bisa membuktikan, misalnya ia menemukan orang suruhan atau semacamnya ke meja persidangan, baru saya akan mempercayai ucapannya yang diikuti bukti kuat."
Sania menghela napas karena begitu lelah dan frustrasi. Ia sudah menjelaskan detail persis kejadian 10 tahun lalu sampai ia pergi ke Diora Street yang kumuh.
Hakim menilai tuduhan Sania juga tidak berdasar karena bukti tidak terlalu kuat. Di detik akhir, hakim yang telah selesai berdiskusi dengan panitera, bersiap mengumumkan putusan.
Namun, seorang penjaga yang berjaga di luar pintu masuk ruang sidang, masuk lalu mengatakan sesuatu pada petugas yang berdiri tak jauh dari meja hakim, sebelum akhirnya penjaga memberi tahu hakim apa yang terjadi di luar.
"Izinkan Kepala Polisi Maxwell masuk!"
Nadine langsung pucat dan gemetar.
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.