Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah dan Pembelaan
Abyan mendengarkan degup jantungnya saat Nada menyerahkan foto dan pesan dari paket tanpa nama itu.
Grup WhatsApp karyawan dan pimpinan hotel masih ramai dipenuhi screenshot yang menyudutkan Nada, terlihat menerima uang dari ajudan instansi pemerintah, sambil tersenyum di lobi hotel dengan kepala departemen tamu itu. Abyan (menahan amarah).
"Aku tahu kamu nggak melakukannya."
Nada menghela napas panjang, matanya berkaca. dengan lembut tapi tegas diaa berkata.
"Aku percaya, Abyan. Tapi aku harus tetap tenang. Kalau aku panik, malah semakin diperburuk keadaan."
"Aku akan selalu ada buat kamu, Nad." Abyan berdiri dari kursi kebesarannya. Mengitari meja dan berdiri tepat di samping nada.
Saat ini, Nada tengah berada di ruangan Abyan. Setelah foto-foto dirinya yang tengah menerima amplof beredar di grup karyawan, Rendi memanggil Nada atas permintaan Abyan.
"Terima kasih, tidak perlu berjanji, Pak. Cukup Bapak berdiri di tempat gang seharusnya."
Abyan menatap Nada sayu, wanita yang selalu menggetarkan hati dan membara kan semangatnya itu tetap terlihat tegar.
Beberapa hari kemudian, Nada menerima surat resmi panggilan rapat direksi.
“Nada, kamu dipanggil direksi. Jelaskan semuanya.” ucap Pak Rian, manajer hotel. Nada berusaha tersenyum, menenangkan hatinya.
"Baik, Pak."
"Kamu siap, kan?" suara Pak Rian merendah.
“Aku harus siap, Pak. Tak ada yang bisa menolongku kecuali bukti dan saksi.” Pak Rian mengangguk, menatap dalam, seolah mengalirkan kekuatan untuk bawahannya itu.
Abyan, Rendi, dan Arya pun berkumpul. Mereka menyusun strategi.
Abyan menelusuri hari-hari sebelum foto itu tersebar
Rendi mengecek CCTV hotel
Arya melacak siapa yang mengirim paket tanpa nama
Jejak Bukti, Abyan di Lapangan
Abyan sempat pergi ke humas pemerintah daerah, menanyakan siapa yang memesan hotel untuk acara kedinasan. Dengan sabar, dia meminta bukti administratif.
Surat permintaan booking acara, transfer resmi, tanda tangan pejabat, daftar tamu peserta dan dokumen terkait lainnya.
Di kantor hotel, Rendi menyisir rekaman CCTV selama tanggal acara. Dia menemukan adegan.
Nada dan ajudan pejabat sedang berbincang di lobby. Nada menerima paket kecil, tapi bukan amplop berisi uang, melainkan dokumen acara dan souvenir resmi pemerintah.
Arya menelusuri nomor pengirim paket lewat kurir. Dia menemukan nama pengirim, bagian protokol walikota.
Semua bukti tersebut disusun rapi oleh Abyan.
Sementara itu, Nada memutuskan menghubungi ajudan yang bertransaksi dengannya dulu, yang pernah dia kenal saat bekerja sama.
Nada (mengirim pesan via WhatsApp):
“Pak, saya difitnah telah menerima suap dari instansi tempat bekerja Bapak. Foto-foto ini tersebar sebagai bukti kecurangan yang saya lakukan . Saya butuh saksi. Mohon bantu kalau bapak bisa."
Tak lama, sang ajudan menelpon:
Ajudan (via telepon, suara serak):
“Mbak Nada, saya akan bantu. Semua booking dilakukan melalui protokol walikota. Bukti administratif sudah saya siapkan. Saya bisa hadir sebagai saksi.”
Nada merasa ada secercah harapan.
Malam sebelum rapat, Abyan menelepon Nada.
Abyan:
“Semua bukti sudah siap. Dan ajudan siap hadir. Kita akan ke sana bersama, Nada.”
Nada, termenung:
“Aku… takut. Kalau mereka tetap tak percaya….”
Abyan (dengan lembut):
“Kamu tidak sendiri. Aku percaya kakek Akbar akan mau mendengar, beliau orang yang profesional."
Nada kembali termenung usai panggilan Abyan terputus, secercah keyakinan kembali hadir di hatinya, percaya jika Pak Akbar profesional dalam urusan pekerjaan. Ancaman pemecatannya juga belum terbukti hingga saat ini.
Ruang rapat direksi dipenuhi wajah-wajah serius. Pimpinan hotel, jajaran direksi, termasuk Indira yang tampak penuh kepalsuan. Dia turut menjadi wakil ayahnya mengikuti rapat.
“Ziyanada, semua pihak mengira kamu menerima suap. Banyak foto beredar. Kami mohon presdir memecat kamu. bahkan… mempolisikan kamu.” Indira menjadi orang pertama yang berkomentar pasca Pak Dimas asisten Pak Akbar membacakan perihal utama rapat direksi kali ini.
"Maaf Pak, Bu, izin saya membela diri. Saya sudah mengumpulkan bukti bahwa ini hanya kesalahfahaman, dan Insya Allah saya pun punya saksi bahwa amplof yang saya terima menurut foto-foto itu bukanlah cek atau uang, tapi hanya dokumen rundown acara dan yang lainnya." Nada berusaha menyampaikan kebenaran.
"Tapi bagaimana dengan ini?" Indira menunjuk pada layar yang memutar video Nada sedang memberi amplof pada beberapa pegawai cleaning service." Nada tersenyum, dia tidak habis pikir ternyata seniat itu orang tersebut menjatuhkan dirinya. Kini dirinya tak perlu lagi mencari siapa dalang di balik semua ini dan apa alasannya.
Saat itu Nada tengah berbagi sedekah rutinnya, pasca mendapat orderan seblak sebanyak seribu porsi.
"Iya, saya saya teman-teman menerima amplof berisi uang dari Nada, katanya adanya rezeki nomplok." suara yang tidak asing bagi nada mengakhiri video itu.
"Kamu tidak bisa lagi mengelak, kamu membagi-bagi uang pada teman-temanmu tepat sehari setelah menerima suap itu." Indira kembali melayangkan tuduhan, Nada bahkan terlihat tersudut, dia menunduk.
Suasana berubah tegang. Presdir menatap Nada dan Abyan bergantian.
Kakek Akbar, pemilik hotel berdiri. Namun tampak enggan mendengarkan argumen dari pihak Nada. Saat itu, Abyan pun berdiri, hati bergejolak.
“Pak Presdir, saya mohon, dengarkan dulu bukti kami.” Abyan berdiri dan berbicara dengan Nada tegas.
Dia mengulurkan map berisi dokumen administratif, foto CCTV, bahkan nota booking dan transfer resmi. Tampak tangannya gemetar.
Presdir meminta jeda untuk membuka map itu. Di sebuah meja samping, bukti yang disusun Abyan terlihat rapi.
Surat permintaan acara dari instansi pemerintah, kwitansi pembayaran ke hotel, jadwal dan daftar peserta acara, rekaman CCTV yang menunjukkan paket berupa dokumen, bukan uang. Semua mata dalam ruangan itu bergulir memeriksa dokumen.
Kakek Akbar membuka map dan mengecek satu per satu. Raut wajahnya berubah perlahan.
Tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Seorang pria hadir.
SANG WALIKOTA, mengenakan setelan formal. Semua tertegun, terutama Nada. Pantas saja dia merasa tidak asing dengan nama yang tertera pada setiap surat-surat yang diterimanya.
Nada teringat wajah itu, kakak kelasnya saat SMA. Dia pernah menyatakan cinta, namun ditolaknya halus. Siapa sangka kini berdiri menjadi pejabat daerah.Walaupun terkejut, Nada menatap dengan haru.
Walikota melangkah maju.
“Saya hadir sebagai saksi administratif. Semua komunikasi booking acara hotel ini saya tandatangani. Tidak pernah ada uang tunai atau suap. Dokumen paket itu berisi itinerary dan badge acara.” Sang walikota berkata dengan suara lembut namun tegas.
Semua anggota direksi menatap tak percaya. Indira sampai terhenyak. Kakek Akbar menoleh, lalu berkata pelan.
“Saya lihat. Semua ini bukan uang suap… mereka memang bekerjasama resmi.”
“Kepada Bapak Walikota, apakah ada bukti transfer resmi atau dokumen pendukung?” Walikota mengangguk, menunjuk asistennya yang membawa flashdisk dan print-out
Scan surat permintaan acara, kwitansi pembayaran via transfer, mail korespondensi protokol walikota dengan pihak hotel.
Setelah mendengarkan bukti yang disodorkan Abyan dan kesaksian walikota, presdir menggeleng.
“Baik. Kami… tidak bisa memecat Saudari Ziyanada karena tidak ada bukti pelanggaran. Bahkan tidak ada alasan menghubungi polisi.”
Indira menunduk, bibirnya bergetar. Tak ada yang berani melanjutkan tuduhan.
Kakek Akbar berdiri, menyentuh lengan Abyan.
“Abyan. Kamu benar-benar membela suara kebenaran. Maafkan kakek, yang terlalu cepat menutup telinga.” Abyan tersenyum lega.
“Terima kasih, Pak.” Nada menatap Abyan, kemudian melihat walikota.
Hatinya campur aduk bahagia, lega dan sedikit bimbang. Tetapi malam itu ia belajar benar dan bukti bisa memenangkan perang pendapat.
Keluar dari ruang rapat, Abyan, Nada, dan walikota berjalan bersama di koridor mewah hotel.
“Pak, terima kasih sudah datang…” Walikota tersenyum penuh makna.
“Mbak Nada… kita sudah lama tidak bertemu. Saya senang bisa membantu.” Abyan menatap mereka, tiba-tiba rasa cemburu kecil mengalir. Tapi ia menekankan satu kata pada hatinya,
“Percaya.”
“Aku bangga sama kamu. Kita sudah lalui ini bersama.” Nada menatap Abyan, matanya berkaca, lalu mengangguk pelan.
Abyan sengaja memotong obrolan Nada dan sang walikota, dari kalimat yang diucapkannya dia menunjukan jika dirinya begitu dekat dengan Nada.
Malam itu, Nada duduk di balkon kamar hotel, menatap lampu kota yang gemerlap. Abyan duduk di sampingnya. Tak bicara banyak, tapi jarak mereka cukup dekat.
“Aku lega… dan takut. Kalau fitnah macam ini bisa terjadi lagi…”
“Kita sudah bisa melawan sekarang. Kebenaran bisa muncul lewat orang yang tepat.” jawab Abyan lembut.
Nada menyandarkan kepala ke dinding. Abyan menoleh, andai mereka sudah halal ingin sekali dia memeluk Nada.
Hening menyergap, mereka tak tahu apa yang akan datang esok, tapi mereka tahu selama ada bukti dan kebenaran, tak ada fitnah yang akan tahan lama.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak