Rika, mahasiswi sederhana, terpaksa menikahi Rayga, pewaris mafia, untuk menyelamatkan keluarganya dari utang dan biaya operasi kakeknya. Pernikahan kontrak mereka memiliki syarat: jika Rika bisa bertahan 30 hari tanpa jatuh cinta, kontrak akan batal dan keluarganya bebas. Rayga yang dingin dan misterius memberlakukan aturan ketat, tetapi kedekatan mereka memicu kejadian tak terduga. Perlahan, Rika mempertanyakan apakah cinta bisa dihindari—atau justru berkembang diam-diam di antara batas aturan mereka. Konflik batin dan ketegangan romantis pun tak terelakkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Julianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
“Kakek, bagaimana kabarnya?” tanyaku sambil melemparkan senyum terbaikku. Aku tidak berani menceritakan apa yang sedang ku alami, karena aku tahu itu hanya akan membuatnya semakin khawatir.
Aku kenal kakekku. Dia selalu tak ingin aku terlibat dalam masalah, dan sekarang pun bukan pengecualian.
“Kakek baik baik saja, Rika,” jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu perlahan memudar dari wajahnya.
“Rika, bagaimana denganmu , Nak? Bagaimana mereka memperlakukanmu? Sayang sekali aku tak bisa banyak membantumu keluar dari situasi ini. Orang tuamu pasti akan gelisah disana kalau jika seandainya kakek telah tiada dan meninggalkanmu dalam pernikahan tanpa cinta ini,” ucap kakek dengan senyum sedih sambil menatap wajahku dalam-dalam.
"Kakek, apa-apaan bicara begitu?, jangan ngomong sesuatu yang membuat Rika makin sedih, Kakek!" Ucap ku lirih.
Air mata hampir saja jatuh dari mataku saat aku menatapnya balik. Di saat itu aku ingin sekali menceritakan semuanya. Tentang kebingunganku, hidupku yang berantakan, tentang bagaimana semuanya mulai berubah sejak aku mengenal keluarga D'Amato .
Bagaimana Rayga menyentuhku dan meninggalkanku dalam kondisi penuh hasrat yang belum pernah ku alami sebelumnya, tapi aku tahu jika aku bicara, aku hanya akan membuat kesehatan kakek memburuk.
Aku tak sanggup membuatnya tambah menderita, jadi aku memilih untuk berbohong, meski bertentangan dengan perasaanku.
Aku menoleh padanya dan menampilkan senyum lebar, seolah semuanya baik-baik saja.
“Kakek itu terlalu khawatir. Rika baik-baik saja, sungguh. Mereka memperlakukanku dengan baik. Aku diantar ke kampus pakai mobil, dan bahkan ada pengawal yang selalu menemani. Aku tadi juga datang ke sini bersama mereka,” kataku sambil menoleh ke arah pintu, menunjukkan salah satu penjaga, yang berdiri di balik pintu berlapis kaca.
“Benarkah?” tanya kakek.
“Iya. Dan oh iya, aku dan Rayga tidak punya hubungan apa-apa selain pernikahan kontrak, Kek. Dia juga sudah punya pacar. Jadi tidak mungkin ada apa-apa di antara kami,” jawabku sambil berusaha terdengar santai.
Matanya melebar sedikit. “Yaudah baguslah kalau begitu, itu kabar baik. Berarti Kakek tidak perlu khawatir lagi sekarang. Rika jangan memaksa diri mencintai seseorang yang bahkan tak punya kecocokan sama sekali denganmu. Ya” Ia tersenyum cerah, dan aku ikut tersenyum.
Aku hanya tersenyum sebagai jawaban atas perintah kakek kepada ku.
Kakek tak perlu tahu kenyataan tentang aku dan Rayga. Kakek tak perlu tahu bahwa Rayga pernah mengenalkan ku sebagai calon istri ke beberapa perempuan, ya walau perempuan itu adalah anak dari collega Pak Ryandra dan Rayga, bahkan aku sendiri tidak tau bagaimana nasib si perempuan itu setelah di bawa Rayga entah kemana aku pun lupa.
Dan Kakek juga tak perlu tahu bahwa Rayga mencium ku seolah-olah kami benar-benar sepasang kekasih. Tidak, kakek tak perlu tahu semua itu. Maka aku terus tersenyum bersamanya. Agar aku terlihat baik-baik saja dan tidak mendapatkan pertanyaan yang menurut ku berat untuk dijawab.
Kami mengobrol soal kesehatannya, dan dia bercerita bahwa dokter senang karena tubuhnya bisa lebih cepat merespons pengobatan. Jika terus seperti ini, katanya, ia bisa keluar dari rumah sakit dalam waktu dekat. Aku benar-benar senang mendengarnya. Kesehatannya bisa membaik.
Tapi kemudian dia melontarkan pertanyaan yang membuatku terdiam sejenak.
“Bagaimana kabarnya Ranza, pacar mu itu, Rika?” tanya kakek.
“Oh! Dia? Dia baik, Kek, Tapi Rika belum bertemu secara langsung beberapa hari ini” jawabku sambil tersenyum kaku.
“Bagaimana dia menerima semua ini?” lanjutnya. Aku tak tahu harus jawab apa. Aku harus memikirkan sesuatu secepatnya.
“Sepertinya dia orang yang paham situasi, Kek, dia pasti mengerti kok. Dia bilang dia akan menungguku hingga kontrak ini selesai” jawabku dengan senyum yang dipaksakan.
“Dia, Anak yang baik, Rika. Bukti nya ia bisa menerima dan menunggu mu tanpa menuduh hal apapun padamu” ujar kakek sambil tersenyum tipis.
“Iya benar kakek. Rika juga minta dia untuk tidak menghubungi Rika dulu, supaya keluarga D'Amato tidak tahu tentang hubungan kami,” kataku.
“Itu keputusan yang bagus. Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan kalau tahu,” jawab kakek dengan nada setuju. Aku tersenyum padanya, meski di dalam hatiku terasa sakit.
Sebenarnya aku sudah bilang semuanya dengan Ranza, tentang apa yang terjadi. Aku memutuskannya lewat pesan singkat beberapa hari lalu. Dan aku bilang, agar dia sabar menunggu ku dan tidak mengirimkan pesan kepada ku selama akhir bulan ini.
Aku bahkan sudah mengarsipkan sementara kontaknya supaya dia tidak bisa menghubungiku. Aku berpikir bahwa aku harus menyelesaikan masalah ku dengan keluarga D'Amato lebih dulu, baru setelah itu aku akan pikirkan semuanya lagi.
Saat aku menatap wajah kakek yang tenang dalam tidurnya, aku tahu, mengatakan yang sebenarnya bukan pilihan. Kami berbincang ringan sebelum akhirnya ia tertidur. Aku menatapnya beberapa saat, lalu berbisik dalam hati, aku akan melakukan apa pun agar dia tetap tenang dan bahagia.
Aku mengecup pipinya dan keluar dari kamar. Aku memberi isyarat pada pengawal bahwa aku siap pulang, dan ia mempersilahkan ku berjalan lebih dulu.
Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan semua kebohongan yang baru saja ku ucapkan pada kakek. Rasanya menyakitkan. Aku tak pernah berbohong padanya sebelumnya. Selalu aku ceritakan segala hal padanya, karena dia satu-satunya orang yang aku punya, dan aku ingin menjaga kepercayaan itu. Tapi kini aku harus menjadi pembohong.
Aku mencoba menghibur diriku sendiri, meyakinkan bahwa semua itu demi kebaikannya. Bahwa jika kakek tahu yang sebenarnya, ia akan terpukul. Tapi tetap saja… aku berbohong. Aku bertanya-tanya, berapa banyak lagi kebohongan yang harus ku ceritakan saat aku menjenguknya nanti?
Perlahan, aku tertidur di dalam mobil, karena semalam aku sulit tidur akibat kekacauan yang ditinggalkan Rayga dalam diriku. Beberapa menit kemudian, samar-samar aku melihat gedung utama mansion dari kejauhan. Aku mengumpulkan barang-barangku yang sempat ku bawa saat menjenguk dan masuk ke rumah sementara ku dengan hati yang masih berat.
Saat aku masuk ke dapur, kulihat Bibi Ranti sudah menyiapkan makan siang untukku. Aku duduk dan hendak menyuap makanan, tapi pandanganku tertuju pada kotak makan yang berada dipinggir tempat cuci piring dan beberapa penyimpanan bumbu, yang kemarin aku persiapkan untuk Rayga—masih utuh, dan belum tersentuh sama sekali.
Dan yang membuat ku bingung, bukannya kotak makanan itu aku taruh di lemari hiasan didepan kamar Rayga, kenapa bisa ada disini.
"Bibi, kenapa kotak makan itu ada didapur?!" Tanya ku agak sedikit lirih.
"Ouh kotak makanan ini..." Kata Bibi Ranti yang tertahan. Segera aku mendesak agar ia melanjutkan ucapannya.
"Maaf sebelumnya, tadi Tuan Muda menyuruh bibi untuk membuang kotak makanan ini atau mengembalikan kotak ini kepada pemilik nya. Dia bilang benda ini tidak cocok untuk dijadikan hiasan yang dipajang di lemari. Jadi bawa saja ke dapur kotak makanan nya." Ucap Bibi Ranti dengan nada sedikit lirih, seolah ia merasa bersalah akan hal ini.
"Huhhh, yaudah tidak apa-apa bibi. Kotak makanan nya tolong bawa kesini ya bi!" Ucap ku sambil menahan rasa aneh yang membuat hati terasa teriris tipis.
Sebenarnya aku tau maksud Rayga, dia sebenarnya menolak mentah-mentah makanan yang dibuat oleh ku. Makanya dia bilang kalo kotak makanan ini tidak cocok untuk dipajang di lemari hiasan' pikir ku saat ini.
Sakit rasanya. Aku membuatkan makanan untuk seseorang, tapi dia bahkan tak berusaha mencicipinya dan malah menyamakan makanan yang ku buat hanya sebagai pajangan walau tak aku tau maksud sebenarnya tapi ia juga bilang seperti itu.
Aku berdiri, mengangkat kotak makanan dari tangan bibi Ranti dan menatapnya sebentar ke arah bibi Ranti. Dia mengalihkan pandangannya, seolah tak ingin melihat perasaanku yang terluka.
“Nona, tolong maafkan kembali Tuan Muda karena tidak menghargai makanan buatan Nona" ucap Bibi Ranti yang getir sambil menatap ke arah kotak makanan yang ku pegang.
“Sudahlah bibi , bibi tidak perlu meminta maaf karena kelakuan Rayga, bibi tidak melakukan kesalahan apapun” jawabku sambil tersenyum kecil. Sakit, tapi aku tak ingin menunjukkannya.
'Aku sedikit kesal karena Rayga seharusnya yang meminta maaf tapi malah Bibi Ranti yang melakukan nya atas kemauan dirinya, tidak habis pikir aku melihat kelakuan Rayga. Tapi anehnya dia yang bersikap seperti itu malah membuat nya banyak digemari wanita. Apa ia hanya melakukan hal seperti itu hanya padaku' gumamku dalam hati yang memikirkan hal mengenai Rayga.
"Nona, bibi permisi dulu, karena ada yang ingin bibi kerjakan di area ballroom. Non" ucap Bibi Ranti yang menghancurkan lamunan ku.
"Ouh ii-ya , bi silahkan. Nanti makanan yang di piring akan saya habiskan lalu dicuci. Bibi tidak perlu khawatir akan piring kotor nanti " ucap ku sambil tersenyum tipis.
Bibi Ranti mengangguk dan segera pergi. Aku menghela nafas lalu melangkah ke tong sampah dapur, membuang makanan yang ada dikotak makanan berlapis plastik bening. Tidak lupa mencuci dan menghabiskan makanan yang ada di piring lalu meninggalkan dapur dan menuju kamarku.