NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua

***

Jam tiga dini hari, udara masih menggigit kulit ketika Serena menarik koper kecilnya keluar dari kamar. Rumah itu sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak. Ia berdiri sejenak di ruang tengah, memandangi sudut-sudut yang selama ini menjadi saksi luka dan tangis diam-diamnya.

Di atas meja makan, ia meletakkan selembar surat. Tulisan tangannya rapi dan tegas:

"Terima kasih atas tempat tinggal selama ini. Maaf jika kehadiranku hanya jadi beban. Aku pergi bukan karena benci, tapi karena ingin belajar bahagia. – Serena"

Ia menarik napas panjang. Matanya sempat memerah, bukan karena sedih meninggalkan, tapi karena takut akan apa yang akan datang. Tapi tekadnya sudah bulat. Semalam, ia sudah berbicara lewat telepon dengan Delina—teman SMA yang sudah seperti kakaknya sendiri. Delina membantunya mencarikan kontrakan kecil, dan ternyata ada yang kosong tepat di samping tempat tinggal Delina.

Tanpa banyak suara, Serena keluar dari rumah. Ia naik taksi online yang sudah dipesan sejak tengah malam. Hati-hati ia menoleh ke belakang sebelum masuk ke mobil, memastikan tidak ada yang terbangun. Dalam gelap, ia membisikkan doa kecil—semoga ini adalah awal yang lebih baik.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, ia sampai di kompleks kontrakan sederhana di pinggiran kota. Delina sudah menunggu di depan rumahnya dengan jaket tebal dan senyum hangat.

"Kamu beneran datang," ujar Delina pelan, lalu memeluk Serena.

Serena membalas pelukan itu. "Terima kasih, Lin... Aku nggak tahu harus ke mana kalau nggak ada kamu."

"Kontrakan sebelah kosong. Bukan besar, tapi cukup buat kamu sendiri. Nanti siang kita beresin sama-sama, ya."

Serena mengangguk. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa seperti punya rumah.

Dan hari itu, matahari terasa lebih ramah dari biasanya.

.

Pagi itu, suasana rumah Paman Reza berbeda. Bibi Nani bangun seperti biasa, dengan suara langkah yang berat dan wajah kesal karena teh di dapur belum siap. Ia berjalan ke ruang tengah dan matanya langsung menangkap secarik kertas di atas meja makan.

"Apa ini?" gumamnya, membuka lipatan surat dengan gerakan tergesa.

Wajahnya berubah saat membaca tulisan tangan Serena. Tangannya gemetar, bukan karena sedih, tapi karena campuran marah dan tak percaya.

"Mas! Bangun! Anak itu pergi!" teriaknya dari ruang tengah.

Paman Reza keluar dari kamar dengan langkah malas. "Apa maksudmu?"

Bibi Nani melemparkan surat itu ke hadapan suaminya. "Dia ninggalin rumah! Ini suratnya. Coba kau baca sendiri!"

Reza membaca pelan-pelan. Tak ada reaksi meledak darinya, hanya desahan berat dan tatapan kosong ke arah ruang kosong yang dulu ditempati Serena.

Vina, yang baru keluar dari kamar dengan piyama dan rambut acak-acakan, melirik ke arah kedua orang tuanya. "Serena ngapain sih drama segala? Pindah rumah aja pake nulis surat kayak sinetron."

"Diam, Vin! Kamu juga nggak sedikit bikin dia nggak betah di rumah ini," bentak Paman Reza, untuk pertama kalinya suaranya terdengar tegas.

Vina membelalak. "Lho, kok aku yang disalahin? Memangnya dia tuh nggak pernah salah? Dari dulu cuma bisa cari simpati. Aku ini anak kandung kalian, tapi kalian..."

"Cukup!" seru Bibi Nani, yang kini wajahnya merah padam. Tapi bukan karena sedih Serena pergi—lebih kepada ego yang tersentak karena merasa ditinggalkan.

Satu rumah sunyi. Tidak ada suara langkah kecil Serena di pagi hari, tidak ada aroma teh yang biasa ia siapkan untuk pamannya. Dan tak ada lagi sosok yang diam-diam selalu membersihkan kekacauan rumah setelah semua tidur.

Paman Reza duduk di sofa, memijat pelipisnya. Ia merasa gagal. Bukan sebagai paman, tapi sebagai manusia yang membiarkan seorang anak tumbuh dalam ketidakbahagiaan di bawah atapnya.

Bibi Nani masuk ke dapur dengan langkah kasar. "Biarin aja dia pergi. Dia pikir bisa hidup enak di luar sana? Nanti juga balik sendiri."

Namun, diam-diam, hatinya tak setenang itu. Serena memang tak pernah membalas kata-kata kasarnya. Tapi kepergiannya yang tenang itu terasa seperti tamparan—bahwa Serena sudah cukup menderita, dan akhirnya memilih pergi, bukan melawan.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, rumah itu benar-benar sepi. Sepi dari suara, sepi dari kehidupan, dan sepi dari hati.

.

Serena berdiri di tengah ruangan kontrakan barunya. Ukurannya memang kecil—hanya satu kamar, dapur mungil, dan kamar mandi di belakang—tapi bagi Serena, tempat ini seperti pase setelah bertahun-tahun hidup di padang gersang. Ia duduk di atas lantai beralaskan tikar pinjaman dari Delina, memandangi koper dan kardus kecil yang membawa seluruh hidupnya.

Delina masuk membawa dua cangkir kopi hangat. "Maaf ya, belum bisa suguhin teh susu kesukaan kamu. Di rumahku juga lagi habis stok."

Serena tersenyum. "Kopi ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih banyak, Lin. Aku masih nggak percaya aku beneran di sini."

"Kamu pantas dapat tempat yang tenang, Ren. Udah terlalu lama kamu sabar di rumah itu. Sekarang waktunya kamu hidup untuk dirimu sendiri."

Hari itu dihabiskan dengan membersihkan dan menata ruangan. Delina membantunya menyapu, mengepel, bahkan menempelkan beberapa stiker lucu di dinding untuk membuat suasana sedikit lebih hangat. 

Saat sore menjelang, mereka duduk di ambang pintu kontrakan, menikmati semilir angin yang membawa aroma hujan dari kejauhan.

Hari ini Serena sengaja izin tidak masuk kerja, agar bisa beres-beres tempat tinggal baru nya.

"Kamu masih kerja di tempat lama, kan?" tanya Delina sambil menyeruput kopinya yang kedua.

"Iya. Aku nggak mau tiba-tiba resign. Tapi entah kenapa, sekarang aku punya semangat baru. Mungkin karena aku udah nggak harus pulang ke tempat yang selalu bikin sesak."

Delina menepuk pelan punggung Serena. "Kamu kuat banget, Ren. Tapi kamu nggak perlu terus-terusan jadi kuat sendirian. Kalau capek, bilang. Kalau butuh teman, panggil. Aku di sebelah kamar aja."

Serena menahan air mata haru yang tiba-tiba menggenang. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri. Bukan sekadar bertahan hidup—ia mulai belajar hidup

*

Malam tiba. Serena tidur di atas kasur tipis yang baru saja dibentangkan. Tanpa suara bising, tanpa ketakutan akan bentakan atau cibiran. Di luar, langit mendung menggantung, tapi bagi Serena, hatinya baru saja menemukan seberkas terang.

Dan esok hari, ia akan kembali ke kantor. Kali ini dengan langkah yang berbeda. Karena kini, Serena punya tempat untuk pulang—dan alasan untuk terus melangkah.

Serena mendapatkan beberapa pesan masuk dari Hafiz, karena takut Hafiz datang ke rumah Bibi nya, Serena memberitahu Hafiz kalau ia sekarang sudah pindah ke kontrakan jarak nya tidak begitu jauh dengan tempat kerjanya. 

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!