Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mempersiapkan Diri
Malam itu, Lestari berdiri diam di serambi pondok, menatap sosok yang berdiri di antara bayang-bayang pepohonan. Perempuan berjubah merah darah itu tidak bergerak, hanya menatap dengan mata kosong dan senyum aneh yang membuat udara di sekitar mendadak membeku.
Melati.
"Ya Allah…" Lestari menahan napasnya. Tak ada suara dari luar, bahkan jangkrik pun diam.
Ia memutar tubuh perlahan, masuk ke dalam pondok dan menutup pintu bambu perlahan. Anak-anak masih tertidur, tak menyadari apa yang sedang mengintai.
Lestari duduk bersimpuh, menggenggam tasbih tua warisan ibunya, dan mulai melantunkan ayat-ayat perlindungan. Mulutnya bergetar, namun hatinya mantap. Ia tahu, ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang lebih terang.
"Lindungilah anak-anakku… Ya Rabbi," bisiknya.
Suara angin mendesir di luar pondok, seperti ada sesuatu yang menggesek dedaunan dengan kasar. Tapi Lestari terus melafalkan doa-doa, hingga akhirnya, suara itu perlahan mereda. Tak ada teriakan, tak ada kemunculan tiba-tiba. Hanya keheningan panjang yang menyelinap masuk, meninggalkan hawa dingin di balik kulitnya.
Lestari menangis pelan. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, ini baru permulaan. Dan kapan ini akan berakhir, dia sudah lelah dengan kelakuan istri muda Arman. Jika dia minta baik-baik, maka dia akan menyerahkan Arman padanya. Tidak perlu melakukan hal ini, apalagi menargetkan anak-anak untuk dijadikan tumbal Ilmu Hitam nya.
Ini sungguh tidak adil, anaknya tidak tau apa-apa dan tidak bersalah. Kenapa harus mereka yang menjadi sasarannya.
Di rumahnya, Arman duduk di ruang tamu yang kini gelap dan sunyi. Lampu tidak mau menyala entah kenapa, suasana temaram yang menghiasi rumah minimalis dua lantai itu. Suasan yang sangat berbeda saat Lestari yang ada disini.
Melati telah masuk ke kamarnya sejak sore tadi dan tak keluar lagi. Pintu kamarnya tertutup rapat, namun dari dalam terdengar suara-suara aneh. Desisan. Rintihan. Kadang tawa kecil yang berubah menjadi tangisan. Sungguh Arman benar-benar tidak mengrti apa yang terjadi di kamar Melati. Dia juga tidak ingin mencari tau, karen takut hal buruk terjadi padanya.
Arman ingin pergi dari rumah itu. Tapi kakinya seolah berat. Hatinya menolak—ia tak ingin tinggal, tapi pikirannya masih terperangkap dalam pesona yang samar.
Ia membuka ponselnya. Tidak ada sinyal. Ia mengetik pesan untuk Lestari, walau tahu tak akan terkirim. Tapi tak ada salahnya jika dia terus mencoba.
"Maafkan aku. Kau benar tentang semuanya. Aku akan menyusulmu setelah ini selesai. Dan aku sangat berharap pintu maaf itu masih terbuka untukku. "
Tiba-tiba, pintu kamar Melati terbuka perlahan. Suara engsel yang berderit panjang membuat Arman menoleh ke lantai atas dengan jantung berdebar.
Melati melangkah keluar.
Tapi... itu bukan Melati yang ia kenal. Rambutnya kini panjang menjuntai seperti terendam air. Matanya tidak berkedip. Dan kulitnya—pucat, penuh garis hitam mengular.
"Arman…" suaranya serak. "Kau harus tetap di sini, ya. Jangan pergi kemana-mana, "
Arman bangkit. "Kau kenapa, Mel?"
Perempuan itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang mulai menguning. "Aku baik-baik saja. Aku hanya… menyesuaikan diri. Setelah semua yang kuberikan dan kulakukan padamu… kau akan tetap di sisiku, kan?"
Arman menelan ludah. Ia mundur selangkah, dua langkah dan ingin lari, tapi kakinya terasa sangat berat.
"Kau butuh pertolongan. Kau harus…"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Melati mengangkat tangannya. Sekejap saja, tubuh Arman membeku di tempat. Ia tidak bisa bergerak, seolah darahnya membatu.
"Kau tidak akan pergi sebelum aku izinkan," bisik Melati sambil berjalan mendekatinya. "Tapi jangan takut… aku hanya ingin kita bahagia bersama. Bukankah kau mencintaiku? "
Arman terdiam dan tidak menjawab satupun ucapan Melati, karena dia tau yang di hadapannya ini bukanlah Melati yang sebenarnya, tapi Melati yang sedang dikuasi oleh sesuatu. Jadi dia tidak boleh sembarangan melakukan sesuatu jika tidak ingin merasakan sesuatu yang berbahaya.
*******
Sementara itu, di pondok sederhana, Lestari datang ke tempat Bu Nurul yang ada di di bagian lain pondok. Sebelum matahari benar-benar terbit. Ia tahu malam itu adalah sebuah peringatan. Dan dia butuh bimbingan.
Bu Nurul sedang menumbuk bunga dan akar ketika Lestari tiba. Entah bunga atau akar apa itu.
"Kau melihatnya, ya semalam? " tanya Bu Nurul tanpa menoleh.
Lestari mengangguk. "Dia berdiri di tepi kebun. Tapi tak berani masuk."
Bu Sarti berhenti menumbuk. "Itu artinya doa-doamu sudah mulai menanam pagar. Tapi pagar saja tidak cukup. Kau harus membersihkan sisa-sisa yang tertinggal."
"Sisa?" Lestari bingung.
"Kemarahan. Dendam. Rasa takut. Semuanya jadi celah. Makhluk itu tidak hanya menempel lewat guna-guna, tapi lewat luka batinmu."
Lestari menunduk. "Aku masih belum bisa memaafkan mas Arman, bu."
"Itu urusan waktu. Tapi jangan biarkan itu jadi pintu masuknya dia dan menerobos pagarmu. "
Bu Sarti menyodorkan botol kecil berisi air wangi.
"Ini campuran doa dan bunga tujuh rupa. Taburkan di setiap sudut rumah dengan garam laut ini. Tapi sebelum itu, kau harus membuat satu keputusan penting."
"Apa?"
"Kamu siap menyerahkan semuanya pada-Nya, bahkan jika hasil akhirnya tidak sesuai keinginanmu? Kamu harus pasrah, karena kekuatanNya diatas segalanya. "
Lestari diam lama. Wajah anak-anaknya melintas dalam pikirannya. Satu ketakutannya adalah jika anaknya ikut menjadi korban Melati. Mereka tidak bersalah dan tidak sepantasnya mendapatkan imbas dari perbuatan ayah mereka.
" Baiklah Aku siap. Aku ingin melindungi anak-anak dari niat jahat Melati yang ingin menyingkirkan kami."
******
Senja mulai turun ketika angin berhembus kencang, membawa bau amis yang menyelinap dari arah hutan. Pondok Lestari terasa sedikit goyah. Anak-anak mulai rewel padahal biasanya mereka dijam seperti ini sedang asik bersiap untuk ikut mengaji bersama teman pondok lainnya. Lestari mengambil botol air wangi dan mulai menaburkan ke tiap sudut sambil membaca doa.
Langkah demi langkah, ia menyentuh setiap kayu pondok, membisikkan ayat suci. Bau harum bunga melati tercampur garam laut menguar perlahan, menutupi bau amis yang datang.
Tiba-tiba, Dimas berteriak dari dalam.
"Bunda! Ada yang panggil namaku dari jendela!" Dimas menunjuk jendela yang terkena angin kencang dari luar.
Lestari berlari masuk. Jendela sudah terbuka setengah, kain tirai bergoyang pelan. Dia melihat Tidak ada siapa pun di luar. Tapi di kaca jendela, ada bekas telapak tangan kecil… hitam dan dingin.
Lestari mendekat dan menutup jendela, lalu memeluk Dimas erat.
"Tidak apa, Sayang. Dia tidak akan bisa masuk ke sini. Bunda akan selalu melindungi kalian.
Tapi dalam hatinya, Lestari tahu... malam ini belum usai. Dan makhluk itu mulai menarget anak-anaknya.