⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 13
Ketika jam sekolah usai, mereka mengempeskan ban motor Baskara di parkiran. Setelah puas, mereka pergi sambil tertawa kecil.
Beberapa menit kemudian, Baskara datang dan langsung berteriak,
“Sial! Sial! Siaaaaal!”
Robi yang lewat hanya bisa menepuk bahunya. “Gue bilang apa? Mereka gila.”
Baskara menarik napas panjang, wajahnya muram. Ia mendorong motornya ke tukang tambal ban.
“Ini harus ganti ban luarnya juga,” ucap si tukang.
“Berapa?” tanya Baskara pasrah.
“Dua ratus lima puluh ribu.”
“Damn… bekal gue abis,” gumamnya, frustrasi.
Setelah membayar, ia melajukan motornya kencang.
Sesampainya di rumah Baskara menggerutu sendiri di temani Robi yang asyik memainkan ponselnya.
“Gue harus cari cara buat ngerjain si Aluna sialan itu,” ucapnya sambil mondar-mandir di kamarnya.
“Aluna punya kelemahan nggak?” tanyanya pada Robi yang sedang rebahan.
“Nggak tau. Dari dulu dia tenang, nggak pernah emosi, sedih, atau senang,” jawab Robi santai.
“Gue harus cari kelemahannya. Gue pengen dia hancur.”
“Minta maaf aja deh, lo. Mendingan,” ucap Robi, menatapnya datar.
“Najis! Harga diri gue taruh di mana?” sahut Baskara kesal.
“Terserah lo,” ucap Robi, lalu ngakak sambil memainkan HP-nya.
***
Kantin seperti biasa ramai. Aluna duduk santai dengan jus di tangan, menatap layar ponselnya.
“Eh, nonton yuk,” goda Ray yang baru datang.
“Kapan?” tanya Aluna tanpa menatap.
“Nanti malam. Gimana?”
“Film apa?”
“Horor,” jawab Ray cepat.
“Ok. Jemput.”
“Mobil apa motor?”
“Motor.”
“Siap.” Ray tersenyum lebar.
Belum sempat mereka lanjut bicara, Baskara muncul lagi, kali ini lebih emosi.
“Lo brengsek ya! Udah ancurin mobil gue, sekarang kempesin motor gue!”
“Aww... kaget,” ucap Aluna santai tanpa ekspresi, bahkan tidak menoleh.
“Lo ada bukti nggak kita yang kempesin? Kalo ada, wajib marah,” sahut Risa sambil minum jus.
“Iya, jangan asal nuduh. Sadar diri, hey,” tambah Tari.
“Lo mau cari ribut sama kita?” ucap Davin dengan nada santai tapi menekan.
Aluna hanya mengangkat bahunya, menaikkan satu alis — senyum sinis muncul sekejap.
“Kita harus ngomong berdua,” ucap Baskara menatap Aluna.
“Mau ngomong apa?”
“Berdua.”tegas Baskara.
“Di mana?”
“Ikut gue.”
“Lo nyuruh gue?”
“Nggak. Gue ngajak lo.”
“Nggak mau. Lagi ngga mood,” ucap Aluna tetap di kursinya, tenang, tak peduli tatapan orang sekitar.
Baskara menarik napas panjang. “Oke,” ucapnya singkat, lalu pergi dengan wajah kesal.
“Gila dia lama-lama,” kata Risa geli.
“Iya,” tambah Tari sambil cengengesan.
“Kita jeda dulu, gaes. Hajar dia-nya nanti,” ucap Aluna pelan dengan suara lembut namun dingin.
***
Setelah magrib, Ray datang menjemput Aluna di kediaman keluarga Pradana.
“Mau ke mana?” tanya Axel, yang sedang duduk di ruang tamu.
“Main,” jawab Aluna manja.
“Kemana? Sama siapa?”
“Sama Ray,” jawabnya sambil tersenyum kecil.
“Oh... hati-hati, ya,” ucap Axel lembut.
“Ok, Papa. Love you.” Aluna melambai dan pergi.
“Ready?” tanya Ray.
“Ready,” ucap Aluna sambil memeluk Ray dari belakang motor.
Motor sport Ray melaju kencang di jalan malam itu, angin menerpa wajah mereka.
Saat film diputar, Aluna duduk tenang menatap layar besar bioskop.
“Lo nggak takut?” tanya Ray.
“Nggak,” jawab Aluna singkat.
“Lo tuh kalau gue ajak nonton romantis pasti mewek. Makanya gue cari film horor,” ucap Ray tertawa kecil.
“Nggak seru filmnya.”
“Seru anjir, liat orang-orang pada jerit. Lo gitu aja datar banget.”
“Biarin. Tapi gue nonton, kan,” balas Aluna datar.
“Iya juga sih,” kata Ray, tersenyum.
Usai nonton, mereka pergi ke café rooftop. Angin malam menyentuh wajah Aluna yang terlihat damai di bawah langit berbintang.
“Lo suka café ini kan?” tanya Ray.
“Hmm… katanya ibu gue dulu suka duduk di sini, liat langit,” ucap Aluna pelan, pandangannya menatap langit malam itu — kosong, tapi dalam.
“Kebun teh yuk nanti,” ajak Ray.
“Kapan?”
“Nanti... abis kita balik dari Jogja.”
“Ok,” jawab Aluna sambil menyeruput jusnya.
Ray hanya menatapnya diam-diam, kagum sekaligus bingung. Gadis ini terlalu misterius.
Setelah puas, Ray mengantarkan Aluna pulang.
“Papa kok melamun terus?” tanya Aluna begitu masuk rumah.
“Nggak kok,” jawab Axel sambil tersenyum lembut.
“Gimana nontonnya?”
“Nggak seru,” jawab Aluna cemberut.
“Kok nggak seru sih?” tanya Axel, tertawa kecil.
“Nggak rame. Cover-nya aja yang bagus,” jawab Aluna sambil tersenyum.
Axel tersenyum menatap anak gadisnya. “Tumben Papa nggak keluar, biasanya kumpul sama Om David, Om Putra, sama Om Niko,” tanya Aluna.
“Lagi males aja,” ucap Axel sambil menyesap kopinya.
“Ya sudah, Aluna mau bobo.”
Axel menatap putrinya melangkah ke kamar, lalu kembali menatap taman belakang.
Malam itu langit penuh bintang.
Ia duduk di kursi taman, menatap kolam renang yang tenang.
Suara lembutnya keluar lirih, nyaris berbisik.
“Bagaimana caranya agar kangen aku terobati, Kayla...”
Matanya berkaca, menatap bintang yang sama — bintang yang dulu sering ia pandangi bersama seseorang yang kini hanya tinggal kenangan.
Bersambung....
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣