NovelToon NovelToon
AKU SEHARUSNYA MATI DI BAB INI

AKU SEHARUSNYA MATI DI BAB INI

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Isekai / Menjadi NPC / Masuk ke dalam novel / Kaya Raya
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

ongoing

Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.

Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#7

Wei Li selalu percaya bahwa bahaya datang dengan suara keras seperti teriakan, tembakan, atau setidaknya ancaman yang jelas. Ternyata ia salah. Bahaya datang dengan sunyi.

Malam itu hujan turun tanpa niat berhenti. Gerimis tipis menyelimuti kota seperti lapisan debu basah. Lampu jalan memantul di aspal hitam, membuat semuanya tampak berkilau dan licin. Wei Li duduk di kursi belakang mobil, memandangi tetesan air yang berlomba jatuh di kaca jendela. Kepalanya sedikit berat, bukan karena lelah fisik, tapi karena pikirannya tidak mau diam.

Pertemuan dengan Kun A Tai siang tadi terus berputar di kepalanya. Tatapan itu. Nada suaranya. Kata-kata yang terdengar seperti peringatan tapi terasa seperti janji. “Biasanya orang sepertimu tidak bertahan lama.” ucapan A Tai yang terngiang-ngiang di kepalanya, sialan.

“Kalau Nyonya terus melamun,” suara Jae Hyun memecah keheningan, “saya akan mulai khawatir. Dan saya jarang khawatir tanpa bayaran.” Wei Li meliriknya lewat kaca spion. “Kamu pernah khawatir tanpa bayaran?”

“Sekali,” jawab Jae Hyun. “Waktu mesin kopi kantor rusak.” Wei Li terkekeh kecil. Tawa singkat, cepat mati. Mobil melaju pelan memasuki area perumahan elite tempat mansion mereka berada. Jalanan sepi. Terlalu sepi. Wei Li menyadari keanehan itu hampir bersamaan dengan Jae Hyun. Lampu taman mati. “Berhenti,” kata Wei Li pelan.

Supir menginjak rem. Mobil berhenti di tengah jalan masuk. Jae Hyun sudah membuka pintu dan turun, matanya menyapu sekitar. “Aneh,” gumamnya. “Biasanya penjagaan aktif.” Wei Li merasakan bulu kuduknya meremang. Naluri—naluri yang ia asah bertahun-tahun di dunia nyata, membaca pola, membaca bahaya yang menjerit. “Jae Hyun,” katanya rendah. “Kita balik.” Terlambat.

BRAK!

Suara benturan keras datang dari sisi kiri mobil. Kaca belakang retak, serpihannya berhamburan ke dalam. Wei Li refleks menunduk, jantungnya menghantam dada. “Keluar! Sekarang!” teriak Jae Hyun. Suara langkah kaki berlari terdengar. Cepat. Terlatih. Ini bukan perampokan. Ini pesan.

Wei Li membuka pintu dan hampir terjatuh saat kakinya menginjak aspal basah. Hujan membasahi rambut dan wajahnya dalam sekejap. Bau mesiu samar tercium di udara. Tembakan kedua menghantam kap mobil. Wei Li berlari. Ia tidak berteriak. Tidak panik membabi buta. Ia hanya berlari—mengikuti Jae Hyun yang menarik tangannya dengan kasar, menyeretnya ke balik dinding rendah di sisi jalan. “Diam!” bisik Jae Hyun tajam.

Wei Li menahan napas, tubuhnya menempel ke dinding dingin. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia takut suara itu terdengar. Langkah kaki mendekat. Dua orang. Mungkin tiga. Suara mereka rendah. Singkat. Profesional. Wei Li menutup mata sejenak. Ini dia, pikirnya. Peringatan pertama. Bukan dari Shen Yu An. Bukan juga dari Kun A Tai secara langsung.

Tapi dari dunia yang mengelilinginya yaitu dunia yang tidak peduli siapa ia sebenarnya. Satu tembakan lagi terdengar. Lebih dekat. Jae Hyun mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Bukan senjata api. Pisau lipat kecil. “Kalau saya bilang lari,” bisiknya, “lari tanpa lihat belakang.” Wei Li menelan ludah. “Kalau kamu—”

“Jangan dramatis,” potong Jae Hyun cepat. “Saya terlalu tampan buat mati malam ini.” Situasi ini tidak lucu. Tapi Wei Li hampir tertawa. Langkah kaki itu berhenti. Suara seorang pria terdengar. “Pastikan pesan sampai.”

Pesan. Bukan pembunuhan. Itu membuatnya lebih mengerikan. Sebuah benda kecil dilemparkan ke arah mobil. Klik. Ledakan kecil. Tidak besar. Tapi cukup untuk membakar bagian depan mobil dan memecah keheningan malam. Asap tipis naik. “Kita pergi,” bisik Jae Hyun.

Mereka berlari ke arah berlawanan, menembus hujan, masuk ke gang sempit yang jarang dilewati. Wei Li hampir terpeleset, tapi Jae Hyun menahannya. Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Lalu sunyi. Tidak ada langkah kaki. Tidak ada tembakan. Hanya hujan.

Mereka berhenti di bawah atap bangunan kosong. Wei Li bersandar ke dinding, napasnya terengah. Tangannya gemetar. Bukan karena dingin. Karena ia masih hidup. “Ini… siapa?” tanyanya pelan. Jae Hyun mengusap wajahnya yang basah. “Bisa banyak kemungkinan. Tapi yang pasti—ini bukan serangan acak.”

Wei Li menatapnya. “Karena aku?” Jae Hyun tidak menjawab langsung. Ia menatap mata Wei Li dengan serius yang jarang ia tunjukkan. “Karena Nyonya terlalu menonjol.” Wei Li menghela napas panjang, lalu tertawa pendek tapi tajam, pahit. “Sial,” gumamnya. “Aku cuma mau hidup tenang dan kaya.”

“Sayangnya,” kata Jae Hyun pelan, “hidup tenang jarang datang bersama uang dan kekuasaan.” Beberapa menit kemudian, bantuan datang. Bukan polisi. Orang-orang Kun A Tai. Mereka bergerak cepat. Terlalu cepat. Wei Li duduk di dalam mobil pengganti, dibungkus selimut tipis. Tangannya masih gemetar, tapi wajahnya kembali datar. Telepon Jae Hyun bergetar. Ia mengangkatnya, mendengarkan sebentar, lalu menutup. “Tuan Kun tahu,” katanya. Wei Li menatap ke depan. “Tentu saja.”

Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan mansion. Lampu sudah menyala. Penjagaan berlapis. Wei Li turun dengan langkah pelan. Kakinya masih terasa lemah, tapi ia menolak terlihat rapuh.

Di ruang tamu, Kun A Tai berdiri menunggunya. Tidak duduk. Tidak santai. Marah. “Masuk,” katanya dingin. Jae Hyun ingin ikut, tapi Kun A Tai mengangkat tangan. “Bukan kau.” Pintu tertutup. Mereka berdiri saling berhadapan. Wei Li masih basah oleh hujan. Rambutnya menempel di wajah. Gaunnya kotor.

“Ini bukan kebetulan,” kata Kun A Tai. Wei Li mengangkat bahu pelan. “Biasanya tidak.” Tatapan Kun A Tai mengeras. “Aku sudah memperingatkanmu.”

Wei Li tertawa kecil. “Itu peringatan?”

“Ini,” Kun A Tai mendekat, suaranya rendah dan berbahaya, “peringatan.” Wei Li menatap balik. Ada ketakutan di dadanya, iya. Tapi juga kemarahan. “Kalau kau mau aku menjauh,” katanya pelan, “kau bisa bilang. Tidak perlu kirim anjing bersenjata.” Untuk sepersekian detik, ekspresi Kun A Tai berubah. Bukan marah tapi seperti tertarik.

“Aku tidak mengirim siapa pun,” katanya. Keheningan jatuh. Wei Li merasakan dingin merambat di tulang punggungnya. “Artinya,” lanjut Kun A Tai, “ada orang lain yang ingin kau menghilang.” Nama Shen Yu An terlintas di kepala Wei Li. Tapi ia tidak mengatakannya.

Kun A Tai menatapnya lama. “Mulai sekarang, kau berada di wilayahku.” Wei Li mengangkat alis. “Ancaman atau perlindungan?”

“Pernyataan,” jawab Kun A Tai. Wei Li menghela napas. “Sial.” Kun A Tai mendekat lagi. Kali ini lebih dekat. Tangannya terangkat—bukan untuk menyakiti, tapi untuk menyentuh pipi Wei Li yang dingin oleh hujan. Sentuhan itu singkat. Mengejutkan. “Kau masih hidup,” katanya pelan. “Jangan sia-siakan.” Wei Li menatap matanya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu di sana bukan hanya kekuasaan dan kekejaman. Kekhawatiran. Dan itu jauh lebih berbahaya.

1
Queen AL
nama sudah ke china-chinaan, eh malah keluar bahasa gue. tiba down baca novelnya
@fjr_nfs
/Determined/
@fjr_nfs
/Kiss/
X_AiQ_Softmilky
uhuyy Mangat slalu🤓💪
@fjr_nfs: /Determined/
total 1 replies
Jhulie
semangat kak
@fjr_nfs
jangan lupa tinggalkan like dan komennya yaa ☺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!