NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Dewa Asura

Reinkarnasi Dewa Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Raja Tentara/Dewa Perang / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Mumun arch

Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.

Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.

Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.

“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”

“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”

Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bara Yang Menipis

“Kalau dunia ini memberiku kesempatan kedua... aku akan memastikan api ini digunakan untuk melindungi, bukan menghancurkan.”

Kakek Ran tersenyum lebar mendengar kata-kata itu.

"Hahaha! Anak sekecil kamu bicara seperti seorang bijak. Dunia memang butuh orang seperti kamu, Nak.”

Anak itu ikut tersenyum tipis.

“Aku tidak tahu kenapa aku merasa... seperti sudah pernah berjanji hal yang sama sebelumnya.”

Kakek Ran menatapnya lama. Ada sesuatu di balik mata anak itu sesuatu yang bukan milik anak kecil biasa. Tapi ia memilih diam.

"Namamu... apa yang ingin kau pakai?”

Anak itu terdiam sebentar, lalu berkata pelan,

"Wang Lin. Aku rasa... itu nama yang pernah aku dengar di dalam mimpiku.”

Ran tertawa kecil. “Wang Lin, ya? Nama yang bagus. Mulai hari ini, kau adalah muridku. Aku akan ajarkan cara hidup di dunia yang tak selalu adil ini.”

Wang Lin menatapnya heran. “Muridmu? Kau seorang guru?”

“Heh, dulunya,” jawab Ran sambil menggaruk kepala.

“Sekarang cuma kakek tua yang tahu cara menghindar dari hutang dan memancing ikan tanpa ditangkap penjaga hutan.”

Wang Lin terkekeh pelan. “Kedengarannya… seperti kekuatan yang cukup berguna.”

Kakek Ran menatapnya bangga. “Nah, akhirnya kau tahu hal terpenting di dunia manusia: bertahan hidup dengan cerdik.”

Mereka berdua tertawa, dan untuk pertama kalinya sejak reinkarnasinya, Wang Lin benar-benar merasa hidup.

 

Hari demi hari berlalu.

Wang Lin belajar banyak hal dari Kakek Ran menebang kayu, memancing, dan mengatur napas untuk menjaga tubuhnya tetap stabil. Namun setiap malam, saat semua sunyi, bara di dadanya selalu berdenyut pelan, seolah memanggil sesuatu jauh di dalam jiwanya.

Suatu malam, Wang Lin tak bisa tidur. Ia duduk di depan api unggun, menatap nyala kecil yang menari lembut.

“Kenapa aku merasa api ini bukan milikku… tapi juga bukan sesuatu yang asing?”

Angin malam berhembus, membuat api bergoyang. Dalam kilatan cahaya, ia melihat bayangan samar sosok dirinya yang dulu, berambut panjang, bermata merah menyala, berdiri di tengah lautan api.

“Aku... Dewa Asura?” bisiknya lirih.

Gambar itu lenyap secepat datangnya.

Wang Lin menatap tangannya yang bergetar. “Tidak... aku bukan dia lagi. Aku bukan makhluk pembawa kehancuran.”

Suara Kakek Ran tiba-tiba terdengar dari belakang, lembut namun tegas.

“Kau tidak bisa menghapus masa lalumu, Nak. Tapi kau bisa memilih bagaimana menggunakannya.”

Wang Lin menoleh, terkejut. “Kakek... kau mendengarnya?”

“Aku sudah lama tahu bara di tubuhmu bukan api biasa. Tapi aku juga tahu, bukan api yang menentukan siapa dirimu melainkan hatimu.”

Wang Lin terdiam.

Kata-kata itu, sederhana tapi terasa menembus dadanya lebih dalam dari apapun.

“Hatiku...” gumamnya pelan.

“Kalau begitu, mulai sekarang aku akan melatihnya. Bukan untuk bertarung... tapi untuk menjaga.”

Kakek Ran tersenyum puas.

“Nah, baru terdengar seperti manusia sejati.”

Malam itu, api unggun menari lebih terang dari biasanya. Dan tanpa disadari, di langit jauh di atas sana, sebuah cahaya merah kecil berkelap-kelip di antara bintang seolah Langit sendiri tengah memperhatikan perjalanan Asura yang lahir kembali sebagai manusia.

Keesokan paginya, sinar matahari menembus celah pepohonan di hutan kecil tempat mereka tinggal. Wang Lin sudah terjaga sejak fajar, tubuhnya masih terasa hangat seperti ada api yang menari di dalamnya.

Kakek Ran datang membawa seikat kayu bakar.

“Kau bangun terlalu pagi untuk anak seumurmu. Apa api di dadamu membuatmu susah tidur lagi?”

Wang Lin tersenyum samar.

“Bukan begitu. Aku hanya ingin belajar... bagaimana cara mengendalikannya.”

Ran menatapnya lama, lalu meletakkan kayu bakar di tanah.

“Kalau begitu, hari ini aku akan mengajarkanmu satu hal penting cara mendengar napas dunia.”

Wang Lin mengerutkan kening. “Mendengar... napas dunia?”

Kakek Ran duduk di atas batu, menepuk tanah di sebelahnya.

“Dunia ini hidup, Nak. Setiap angin yang bertiup, setiap daun yang jatuh, bahkan api yang menyala, semuanya punya napasnya sendiri. Jika kau ingin mengendalikan kekuatanmu, kau harus mulai dari memahami mereka.”

Wang Lin menutup matanya, mengikuti instruksi Kakek Ran. Ia menarik napas pelan... dan perlahan, dunia di sekitarnya terasa berubah.

Suara dedaunan terdengar lebih jelas. Detak jantungnya berirama dengan gemerisik angin. Api di dalam dadanya ikut bergetar lembut seolah sedang bernyanyi dalam bahasa yang belum pernah ia dengar.

 “Aku bisa... merasakannya,” bisik Wang Lin pelan.

Kakek Ran tersenyum bangga.

“Bagus. Itulah langkah pertama. Kekuatan sejati bukan soal seberapa besar apimu membakar, tapi seberapa dalam kau memahami panasnya.”

Wang Lin membuka mata, namun seketika nyala merah muncul di pupilnya. Dalam sekejap, udara di sekelilingnya bergetar panas. Rumput kering di dekatnya mulai terbakar kecil.

“Wang Lin! Kendalikan napasmu!” seru Ran cepat.

Wang Lin menggigit bibir, menahan gemuruh di dalam tubuhnya. Ia menutup mata, menekan bara itu dengan niat kuat. Perlahan, api yang muncul padam dengan sendirinya.

Ia terengah, keringat membasahi dahinya.

“Aku… hampir kehilangan kendali.”

Ran menepuk pundaknya lembut.

“Kau belum terbiasa. Tapi ingat, tidak apa-apa jatuh asal kau tahu bagaimana bangkit tanpa membakar seisi dunia.”

Wang Lin tersenyum kecil, matanya menatap api unggun yang kini padam sempurna.

 “Terima kasih, Kakek. Aku rasa... aku mulai mengerti apa artinya hidup sebagai manusia.”

Ran menghela napas lega, tapi sebelum ia sempat bicara, tanah di bawah mereka tiba-tiba bergetar.

Burung-burung beterbangan dari pepohonan, dan hawa panas terasa datang dari arah timur.

Wang Lin menatap ke arah sumbernya.

“Itu... api juga.”

Namun bukan api biasa warna merahnya terlalu pekat, nyaris kehitaman, seperti berasal dari dunia yang berbeda.

Ran menatap ke arah yang sama, wajahnya menegang.

“Bukan cuma api, Wang Lin... itu tanda.”

“Tanda?”

* “Tanda bahwa sesuatu dari masa lalumu... mulai bangkit lagi.”*

Wang Lin menggenggam tangan kirinya erat. Bara di dalam dadanya kembali berdenyut, kali ini lebih kuat, seolah merespons panggilan yang datang dari jauh.

 “Kalau begitu…” suaranya lirih, namun tegas.

“Mungkin sudah waktunya aku menghadapi apa yang tersisa dariku di kehidupan sebelumnya.”

Ran menatapnya dalam diam.

“Hati-hati, Nak. Bara yang ingin melindungi... kadang juga bisa membakar kalau tak dijaga dengan hati.”

Wang Lin mengangguk, lalu menatap langit yang mulai memerah di ufuk timur. Api itu bukan sekadar ancaman itu adalah bagian dari dirinya yang belum selesai.

Dan kali ini, ia tidak akan lari.

Malam perlahan menelan langit, meninggalkan garis merah senja yang seolah masih menyimpan bara dari pertempuran masa lalu. Wang Lin berdiri di tepi tebing, rambutnya berayun tertiup angin malam.

Matanya menatap jauh ke arah cahaya merah di timur arah di mana tanda itu muncul. Api itu masih membara di kejauhan, seperti panggilan yang tak bisa ia abaikan.

“Aku tahu kau memanggilku…” bisiknya lirih.

“Tapi kali ini, aku akan datang bukan sebagai Asura… melainkan sebagai Wang Lin.”

Ia menutup mata, merasakan napas dunia seperti yang diajarkan Kakek Ran. Angin berhembus lembut melewati wajahnya, membawa suara pepohonan, aroma tanah, dan dengungan kehidupan yang tenang. Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang lain getaran halus, seperti gema dari masa lampau yang tak pernah benar-benar padam.

 “Api Asura…” Wang Lin membuka matanya, pupilnya berkilat merah samar. “Kau masih hidup di dalamku.”

Ia mengepalkan tangan, dan di telapak tangannya muncul semburat api kecil berwarna merah tua.

Tapi api itu berbeda dari sebelumnya tidak liar, tidak membakar. Hanya hangat. Menemani, bukan menguasai.

“Kau tidak perlu memakan dunia lagi,” katanya pelan, sambil tersenyum.

“Cukup bantu aku menjaganya.”

Namun senyum itu memudar ketika tiba-tiba sebuah suara berat bergema dari balik pepohonan.

“Menjaganya? Kau sudah lupa siapa dirimu sebenarnya, Dewa Asura.”

Wang Lin menoleh cepat. Dari balik kabut, muncul sosok tinggi berjubah hitam, dengan mata menyala seperti bara dingin. Suara itu mengandung nada ejekan, tapi juga... kesedihan yang samar.

“Kau... siapa?”

Sosok itu melangkah keluar, setiap langkahnya membuat udara bergetar panas.

“Nama hanyalah topeng, tapi kau mengenalku, Dewa Asura. Aku adalah bagian darimu yang kau buang.”

Wang Lin terdiam. Untuk sesaat, angin berhenti berhembus. Api di dadanya bergetar liar.

 “Tidak mungkin…”

“Oh, itu mungkin,” kata sosok itu sambil tersenyum dingin.

“Kau menolak kekuatanmu, tapi kekuatan itu tidak menolakmu.”

Tanah di bawah mereka bergetar, api hitam muncul dari langkah-langkah sosok misterius itu.

Wang Lin menggertakkan gigi.

“Kalau kau memang bagian dariku… maka aku akan menaklukkanmu, bukan menyingkirkanmu.”

Sosok itu tertawa pelan.

“Menaklukkan api dengan api? Lucu. Mari kita lihat seberapa manusiawi kau sekarang, Asura.”

Dalam sekejap, api hitam melesat ke arah Wang Lin seperti ombak neraka. Wang Lin mengangkat tangan, membentuk perisai api merah terang. Dua kekuatan bertabrakan, menciptakan kilatan cahaya yang membelah langit malam.

Hawa panas melingkupi hutan, membuat daun-daun terbakar sebelum menyentuh tanah.

Tapi di balik amukan itu, Wang Lin tersenyum tipis.

“Kalau memang kau bayangan dari masa laluku... maka kau juga akan belajar, bahwa api bukan hanya untuk menghancurkan.”

Suara ledakan bergema keras, menelan malam. Api merah dan hitam beradu, menciptakan badai cahaya yang menerangi seluruh lembah.

Namun di tengah kobaran itu Wang Lin berdiri tegak.

Api di tubuhnya menyatu dengan angin, mengalir seperti napas dunia.

Tidak lagi liar, tidak lagi haus darah.

Hanya... hidup.

1
Nanik S
Ceritanya kurang Hidup
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Asura terkenal sebagai penghancur
Nanik S
Kata... oky dan kata Dong.. jangan dipakai
Nanik S
Lanhua apakah juga seorang oengikut Asura dimasa lalu
Nanik S
NEXT
Nanik S
Inginya Wang Lin hidup tenang tapi sebagi mantan Dewa perusak tentu saja diburu
Nanik S
Apakah Mei Lin akan berjalan bersama Asura
Nanik S
Lanjutkan 👍👍
Nanik S
Wang Kin apakah akan ke Lembah Neraka
Nanik S
Mantap jika bisa tentukan takdirnya sendiri
Nanik S
Bakar saja para dewa yang sok suci
Nanik S
Sudah berusaha jadi manusia malah masih diburu... Dewa Sialan
Nanik S
Tidak akan perang tapi kalau mereka datang harus dihadapi
Nanik S
Laaanjut
Nanik S
Wang Lin
Nanik S
Dendam yang tetap membuatnya masih hidup
Nanik S
Bakar saja pengikut Royan
Nanik S
Dewa pun bisa lapar 🤣🤣🤣 awal yang bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!