NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32: KABUT PERANG

Mobil sedan abu-abu itu meluncur tanpa suara di jalanan yang mati.

Mesinnya yang modern berdengung pelan, sangat kontras dengan raungan mesin truk pikap tua yang mereka tinggalkan. Santi mengemudi dengan kedua tangan mencengkeram kemudi begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia mengemudi tanpa lampu depan, hanya mengandalkan cahaya oranye sakit-sakitan yang memancar dari zona "Koreksi" di kejauhan dan instingnya sebagai pengemudi.

Reza ada di kursi belakang, meringkuk di dekat jendela, matanya memindai setiap bayangan, setiap gang, setiap atap. Dia telah menjadi pengamat yang paranoid.

Rania duduk di kursi penumpang. Diam. Efisien.

Dia adalah navigatornya.

"Kiri di sini," katanya pelan. Suaranya datar.

"Itu... itu jalan buntu," bisik Santi, melihat ke depan. "Itu mengarah ke rel kereta."

"Jalannya buntu," Rania mengkonfirmasi. "Rel keretanya tidak. Itu rute logistik kurir. Ada jalan tanah di samping rel. Itu akan membawa kita memutari pos pemeriksaan militer di jalan raya utama."

Santi tidak berdebat. Dia membelokkan mobil ke jalan yang gelap itu.

Lampu-lampu kota yang rusak semakin jarang. Mereka kini memasuki area industri di pinggir kota. Gudang-gudang kosong dan pabrik-pabrik yang gelap menjulang seperti raksasa-raksasa yang tidur di kedua sisi.

Dan di sinilah mereka benar-benar merasakannya. "Kabut Perang".

"Ra..." bisik Reza dari belakang. "Ponselku... aku baru ingat... ada di saku."

Dia mengeluarkannya. Layarnya hancur, tapi masih hidup. "Tidak ada sinyal," katanya, suaranya terdengar bodoh. "Tentu saja tidak ada sinyal."

"Bukan itu masalahnya," kata Santi, matanya tertuju ke jalan tanah yang bergelombang. "Nyalakan radionya, Ra."

Rania menatap Santi.

"Nyalakan," ulang Santi. "Frekuensi AM. Paling rendah."

Rania, dengan efisiensi yang sama seperti saat dia mematahkan engsel, menekan tombol power di dashboard mobil.

Layar digital itu menyala, lalu berkedip-kedip glitch. Jamnya menunjukkan pukul 00:00... 00:00... 00:00...

Rania menekan tombol "AM".

...SKRRRRRRREEEEEEEEEEEEECH...

Suara itu memenuhi kabin, jauh lebih buruk daripada di ponsel Santi. Itu bukan lagi statis. Itu adalah lolongan. Lolongan digital murni yang sama persis dengan yang direkam Dion. Suara "Koreksi" itu sendiri.

Reza berteriak pelan dan menutup telinganya. "Matikan! Matikan!"

Santi meringis, tapi berkata, "Tunggu!"

Dia memutar kenop tuning.

SKRR... (lolongan)... KRRSH... (lolongan)... SKRR...

Setiap frekuensi. Dari yang terendah hingga yang tertinggi. Semuanya adalah suara yang sama. Lolongan "Omega" itu telah membajak seluruh pita gelombang AM.

"Itu... itu bukan gangguan sinyal," bisik Santi ngeri. "Itu... siaran."

"Itu bahasa mereka," kata RANIA pelan. Amulet di dadanya bergetar samar, mencoba meredam frekuensi yang menyakitkan itu. "Pembersih itu. 'Sang Geometer'. Mereka sedang berbicara. Mereka mengotori frekuensi kita."

"Matikan," kata Reza, suaranya pecah. "Kumohon, Ra. Aku tidak tahan."

Rania mematikan radio.

Keheningan kembali, kini terasa lebih berat dan lebih mengancam. Mereka tahu sekarang; keheningan itu bohong. Udara di sekitar mereka sedang menjerit.

Santi menginjak rem.

Di depan, jalan tanah itu terhalang oleh pagar kawat berduri yang baru. Di baliknya, di atas rel kereta, sebuah konvoi militer—empat truk besar—berhenti. Para tentara sedang menurunkan peti-peti di bawah lampu sorot portabel.

"Mereka memblokir relnya juga," kata Santi, giginya gemeletuk. "Kita... kita terjebak."

"Mundur," kata RANIA. "Pelan-pelan."

Santi baru saja akan memasukkan gigi mundur ketika Rania berkata, "Tunggu."

Rania menyipitkan mata, menatap para tentara itu. Mereka bergerak cepat. Tapi...

"Mereka tidak memakai masker gas," kata RANIA.

Reza dan Santi menatap. Rania benar. Para tentara itu—tidak seperti patroli Sersan di kota—hanya memakai helm dan seragam tempur standar. Mereka tidak terlihat takut pada "gas beracun".

"Dan... lihat," kata Santi, menunjuk. "Yang memberi perintah. Dia tidak berseragam."

Seorang pria berjas hitam rapi, dikelilingi oleh dua penjaga berpakaian taktis hitam (bukan loreng militer), sedang memberi instruksi kepada seorang perwira militer.

"Itu bukan militer," bisik RANIA. "Itu... korporat. Tentara bayaran."

"Aeterna," Reza menyelesaikan kalimat itu.

Jantung Rania berdebar kencang. Ini bukan pos pemeriksaan karantina. Ini adalah operasi Bima.

"Mereka tidak memblokir jalan keluar," gumam Rania, puzzle itu terbentuk di benaknya yang dingin. "Mereka sedang membangun sesuatu. Atau... menggali. Ini... ini pasti salah satu 'jangkar' sekunder yang ada di skripsiku."

"Ra, kita harus pergi!" desis Santi, saat salah satu penjaga berjas hitam itu menoleh ke arah kegelapan tempat mereka bersembunyi.

"Ya," kata RANIA. "Mundur. Pelan. Matikan semua lampu interior."

Santi, dengan tangan gemetar, memundurkan mobilnya perlahan-lahan kembali ke jalan utama yang gelap.

Mereka berkendara dalam keheningan yang menakutkan selama lima menit.

"Dia... dia di mana-mana," bisik Reza. "Bima... dia sudah bergerak. Kita... kita tidak akan pernah bisa menghentikannya."

"Dia punya sumber daya," kata RANIA datar. "Dia punya korporasi. Dia punya tentara bayaran. Dia mungkin... bekerja sama dengan Pembersih. Dan kita... kita punya satu mobil curian, dua pipa rebar, dan sebungkus biskuit basi."

Dia menatap hard drive di pangkuannya.

"Dan kita punya blueprint-nya," tambahnya.

Mereka harus mengambil rute yang jauh memutar. Sebuah rute pedesaan yang Rania benci karena jalannya buruk dan memakan waktu lama. Tapi itu adalah satu-satunya rute yang dia tahu yang tidak memiliki kepentingan strategis, baik bagi militer maupun... bagi Bima.

Fajar mulai menyingsing saat mereka akhirnya meninggalkan batas kota.

Langit tidak membiru. Langit berubah dari hitam menjadi abu-abu kotor, lalu menjadi warna kuning pucat yang sakit-sakitan. Cahaya oranye dari "Koreksi" di Blok M kini memudar, tetapi baunya—bau ozon dan debu kuno—menempel di udara pagi yang lembap.

Reza tertidur di kursi belakang, tidur yang gelisah dan penuh mimpi buruk. Santi, yang kelelahan, tetap fokus mengemudi, rahangnya terkatup.

Rania menatap ke luar jendela.

Mereka melewati sawah-sawah yang terhampar. Pemandangan yang seharusnya menenangkan itu kini terasa mengancam.

Dia tidak lagi melihat "Ikan Gema". Amulet itu bekerja.

Tapi dia melihat sesuatu yang lain.

Di tengah sawah yang tergenang air, seorang petani tua berdiri diam. Dia tidak bekerja. Dia hanya berdiri, menatap ke arah Jakarta yang jauh. Ke arah cahaya oranye.

Lebih jauh lagi, di sebuah desa kecil, mereka melewati sekelompok orang yang berkumpul di sekitar radio tua. Mereka tidak mendengar berita. Mereka pasti mendengar lolongan statis itu. Wajah mereka pucat dan bingung.

"Kabut Perang" ini tidak hanya digital.

Itu adalah kabut psikologis. "Koreksi" itu telah merusak sesuatu dalam kewarasan kolektif.

"Kita hampir sampai," kata RANIA, suaranya membangunkan Santi dari lamunannya. "Lima kilometer lagi, ada gerbang besar di sebelah kiri. Sudah runtuh."

Lima menit kemudian, Santi menginjak rem.

Itu dia. Seperti yang Rania katakan.

Sebuah gerbang batu raksasa yang megah, atau setidaknya dulu megah. Gerbang itu dibangun untuk meniru sesuatu yang kuno dan Romawi. Tapi plesterannya telah rontok, memperlihatkan rangka bata di bawahnya. Patung-patung kuda yang patah tergeletak miring di rumput yang tinggi.

Dan sebuah spanduk yang sudah membusuk, nyaris tak terbaca, tergantung di antara dua pilar:

PERUMAHAN CENDANA PUSPITA

"Membangun Tatanan Hidup Masa Depan Anda"

"Tatanan..." gumam Santi ngeri.

"Ironi," kata RANIA datar.

Santi membelokkan mobil, melindas pagar rantai yang sudah roboh. Ban mobil berderak di atas jalan aspal yang retak-retak.

Mereka telah memasuki "Kota Hantu".

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!