Bima, seorang mahasiswa semester akhir yang stres kerena skripsi nya, lalu meninggal dunia secara tiba-tiba di kostannya. Bima kemudian terbangun di tubuh Devano, Bima kaget karena bunyi bip... bip... di telinganya. dan berfikiran dia sedang mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Namun, ternyata dia memasuki tubuh Devano, remaja berusia 16 tahun yeng memiliki sakit jantung dan tidak di perdulikan orang tuanya. Tetapi, yang Bima tau Devano anak orang kaya.
Bima yang selama ini dalam kemiskinan, dan ingin selalu memenuhi ekspektasi ibunya yang berharap anak menjadi sarjana dan sukses dalam pekerjaan. Tidak pernah menikmati kehidupan dulu sebagai remaja yang penuh kebebasan.
"Kalau begitu aku akan menikmati hidup ku sedikit, toh tubuh ini sakit, dan mungkin aku akan meninggal lagi," gumam Bima.
Bagaimana kehidupan Bima setelah memasuki tubuh Devano?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere Lumiere, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[13] Masuk IGD
"Gue nggak butuh, kalian buat gue tambah sengsara, tau nggak lo," gerutu Atlas mengerutkan hidungnya dalam sembari menatap tajam pada Devano dan Theo.
Devano nampak menyeringai, kerena tidak di hargai usaha nya untuk menolong Atlas, "Lo bisa lawan mereka sekarang,"
"Lawan apa? lo kira gue punya kekuatan, mereka yang banyak itu emang bisa gue lawan," ujar Atlas mengepalkan tinjunya, jujur saja selama ini dia dendam dan ingin membalas mereka.
'Seandainya gue punya kekuatan atau punya banyak temen kayak mereka,' itu yang selalu Atlas fikiran selama ini.
"Lo bisa, Tlas, sekarang," kata Devano ingin menepuk bahunya, namun laki-laki itu menghindar membuat Devano sedikit terdorong kedepan.
Dia tak tau mengapa tubuh terasa begitu lemah, Devano meremas dadanya mungkin kali ini jantung berulah lagi, padahal baru saja dia melakukan aksi yang mendebarkan tadi.
"Sial!"
Kepalanya mulai pusing, dia mencoba beberapa kali memfokuskan padangan, namun nihil kepalanya begitu pening untuk menangkap sekitar nya.
Theo yang melihat wajah pucat Devano langsung memegang bahu temannya itu, "Lo kenapa pucat gitu, No? …kita kerumah sakit,"
"Nggak…" tolak Devano mengibaskan tangannya.
Atlas yang melihat pemandangan itu, langsung merasa iba. Karena Devano yang sedang sakit malah repot-repot menolongnya dan mengorbankan diri demi seonggok manusia seperti Atlas. Yang mungkin laki-laki di hadapan nya mendapatkan masalah lagi karena dirinya.
"Kalau lo sakit nggak usah repot-repot sok jagoan,"
"Udah se-- sekarat masih kena omel, hehehe…" ujar Devano mencengkram seragam yang mengarah ke jantung, yang kini berdebar-debar.
"Lo masih aja ketawa," geram Atlas dengan wajah bengisnya.
"Haha… nikmati, T-- Theo am-- ambil obat gue di dalam tas," Devano terbata-bata dan tersenyum pada Atlas.
Dengan cepat Theo merogoh tas Devano demi mencari obat yang di maksudkan Devano, Theo kemudian melihat tiga botol obat milik temannya itu.
"Yang mana No?"ujar Theo melihat sahabat itu sudah di sanggah di bagian punggung oleh Atlas.
Theo menyipitkan matanya laki-laki bengis itu ingin membantu Devano, padahal dari tadi Atlas terus memarahi mereka.
"Mana obatnya cepat!" bentak Atlas melihat Devano sudah lemah dan mencoba meraih oksigen lebih banyak.
"Tapi gue nggak tau obatnya yang mana," ujar Theo melihat ketiga obat itu bergantian.
Devano menujuk dengan lemah salah satu obat, "As…“ Atlas kemudian menoleh Devano kemudian menujuk Aspirin, "Ya Itu,"
Setelah mengetahui Theo menganggukkan kepalanya, lalu dengan cepat memberikan obat beserta botol air minum Devano pada Atlas.
"Nih, minum, jangan nyusahin," ujar Atlas memasukkan obat itu kedalam mulut Devano dan memberikan air minum pada laki-laki itu.
"Lo udah liat dia sekarat, masih aja mulut lo kasar kayak chihuahua," ledek Theo.
Atlas langsung emosi dan menyerahkan Devano yang sudah lemas itu pada Theo, "Ambil nih temen lo, gue hubungi ambulans dulu,"
Theo nampak menyipitkan matanya dan mendengus dengan kasar, kemudian membantu menyangga punggung Devano. Sedangkan Atlas nampak sedikit menyingkirkan dan mengambil ponselnya yang berada di kantong celana seragamnya.
*
*
Beberapa saat kemudian, suara sirine ambulans mendekat kearah mereka. Dan Devano terlihat sudah sedikit tenang, wajah nya pun terlihat tidak terlalu pucat. Dia kini memejamkan matanya.
"No, lo nggak boleh tidur," ujar Theo menggoyang kan tubuh Devano.
"Ya, nggak usah goyang-goyang gue, gue pusing," ketus Devano, seketika membuat Theo terdiam.
Setelah ambulans itu sampai di hadapan mereka, terlihat dua tenaga medis membawa tandu untuk membawa Devano.
"Adik, apa yang terjadi?" tanya petugas itu.
"Dia punya peyakit jantung, tadi kami memberikan obat ini," jawab Theo menujukkan obat di tangannya.
"Bagus adik, penangan yang cepat, kalau tidak pasien akan dalam masalah besar," kata petugas itu bangga pada Theo dan Atlas.
Atlas tersentak dan menoleh pada Theo, "Apa jadi dia sakit jantung, beneran? umurnya masih enam belas, sumpah!"sahut Atlas tidak percaya.
Sedangkan tiga orang yang mendengar perkataan Atlas nampak mengerutkan keningnya merasa Atlas tidak sopan menanyakan hal seperti sekarang.
Tenaga medis itu menggelengkan kepalanya kemudian mengangkat tubuh Devano untuk di naikkan ke tandu. Kemudian beranjak dari sana untuk memasukkan Devano ke ambulans.
Begitupun dengan Theo yang menoleh singkat pada Atlas yang melamun kemudian meninggalkan nya menyusul Devano yang telah masuk di dalam mobil ambulans.
Atlas nampak menimang-nimang, sebelum ambulans di tutup, Atlas menghentikan nya, "Saya ikut!" teriak Atlas.
"Ngapain lo kesini, thanks lo udah bantu Devano, tapi lo nggak suka kan sama Devano kan, mending lo pergi," ujar Theo menghalangi Atlas.
Tenaga medis itu menggelengkan kepalanya ketika mendengar perkataan kasar dari Thoe.
"Dek disini udah penuh, mending kamu kedepan aja ya," ucap petugas medis itu, yang awalnya membuat Theo tersenyum namun di detik berikut membuat Theo tak percaya petugas medis itu mengizinkan Atlas ikut dengan mereka.
"Pak!"
"Udah dek, mungkin teman kamu mau lihat keadaan temannya," ujar petugas medis itu menenangkan Theo.
"Dia bukan teman kami," gerutu Theo.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit, setelah sampai disana. Mereka dengan cepat bekerja, terlihat para perawat sudah standby di tempatnya karena mendengar dari telpon Atlas.
Kedua petugas medis itu menurunkan Devano kearah brankar yang sudah di sediakan oleh perawat. Setelah sampai di atas brankar itu perawat mendorongnya hingga masuk kedalam IGD.
Sedangkan Theo dan Atlas saling melirik karena pertengkaran kecil tadi, kemudian menyusul ke ruang IGD.
Nampak dokter sedangkan memeriksa Devano dengan stetoskop nya serta membuka mata Devano dan menyenteri mata laki-laki itu dengan senter kecilnya.
"Aman, tapi dia membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit," ujar dokter itu memasukkan kembali senter itu di kantong jubah dokter nya.
Dia kemudian menoleh pada Theo dan Atlas, "Adik-adik bisa kah kami mendapatkan nomor orang tuanya atau kalian bisa membantu kami menghubungi orang tuanya,"
Theo dan Atlas berpandangan singkat, lalu mengatakan, "Kami tidak tau nomor orang tuanya atau keluarga nya dok,"
"Lalu, bagaimana jika tidak ada yang bisa di hubungi, karena kami butuh penaganan cepat," gerutu dokter itu.
"Mau bagaimana lagi dok, kita hanya bisa menunggu adik ini bangun dan menanyakan nomor orang tuanya," sahut perawat di sebelahnya.
"Benar Sus, … baik adik-adik kita tung…" ucap dokter itu tiba-tiba di selah seseorang.
"Devano!" panggil seseorang dari kejauhan membuat semua atensi menoleh pada sumber suara.
"Dokter Galih," ucap Dokter yang menjaga IGD itu tidak percaya, dokter penyakit dalam itu berlari tunggang langgang masuk kedalam IGD.
Pria itu terlihat langsung menghampiri Devano tanpa aba-aba kemudian mengelus surai Devano dengan lembut ketika mata Devano masih terpejam. Dia amat khawatir dan ingin memastikan keadaan keponakan nya sendiri.