“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13. Telur dadar sedikit gosong
Pintu rumah berderit pelan saat Arman masuk. Jaketnya sudah dilepas, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya jelas kusut. Hari ini terasa panjang: pekerjaan menumpuk, ditambah Priya yang nekat datang ke kantor.
Di ruang tengah, Widya duduk di sofa dengan laptop terbuka, wajah serius tapi jelas ia tahu suaminya baru pulang.
Arman menaruh tas kerja di meja. “Aku pulang…” ucapnya pelan, mencoba menyapa.
Widya hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus ke layar. “Oh.”
Satu kata pendek itu lebih dingin dari AC di ruangan.
Arman menggaruk tengkuknya, canggung. Ia duduk di sofa sebelah Widya, berusaha mendekat. “Lagi ngerjain apa?”
“Tugas.” jawab Widya datar tanpa menoleh.
Arman mencoba tersenyum, meski agak kikuk. “Butuh bantuan? Aku lumayan jago Excel, lho.”
Widya menutup laptopnya dengan tenang, lalu berdiri. “Nggak usah. Aku bisa sendiri.”
Arman refleks bangkit juga, menahan pergelangan tangan Widya ringan. “Wid…”
Widya menoleh, tatapannya tenang tapi menusuk. “Apa?”
Arman membuka mulut, tapi seolah kehabisan kalimat. Yang keluar hanya, “Hari ini… berat banget.”
Widya menatapnya beberapa detik, lalu perlahan menarik tangannya. “Kalau berat, istirahatlah. Jangan malah ganggu orang lain.”
Arman tercekat. Ia tahu Widya sengaja menjaga jarak, dan itu membuat dadanya sesak. Tapi alih-alih marah, ia malah tertawa kecil, pahit. “Kamu bener-bener bisa bikin aku serasa orang asing di rumah sendiri.”
Widya sudah melangkah menuju dapur. “Kan kita memang orang asing,” jawabnya ringan, tapi justru membuat Arman ingin menyusul.
Arman berdiri termenung di ruang tengah, menatap punggung istrinya. “Tapi… aku nggak mau selamanya gini.” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Arman akhirnya melangkah mengikuti, sekarang ia berdiri di ambang pintu dapur. Dari balik meja, Widya sedang memotong sayuran dengan tenang. Wajahnya tak banyak ekspresi. Arman sempat membuka mulut, ingin bertanya apa yang dimasak, tapi langsung urung.
Ia menunduk, pura-pura sibuk membuka lemari atas tempat biasanya Widya menyimpan makanan yang sudah diolah. Kosong. Tak ada lauk, tak ada nasi. Hanya bumbu dapur seadanya.
“Wid…” panggil Arman dengan bersuara pelan. “Kamu belum masak nasi?”
Widya melirik sekilas, lalu kembali ke talenan. “Belum. Lagian kamu biasanya nggak peduli aku masak atau nggak.”
Arman terdiam, bibirnya terkatup rapat. Ia melangkah ke rak beras, mengeluarkan panci magic com, dan mulai menakar beras.
Widya sempat berhenti, menatapnya heran. “Heh, kamu ngapain?”
“Mau masak.” jawab Arman singkat.
Widya menaikkan satu alis. “Masak nasi aja nggak bisa. Jangan bikin dapur berantakan, Mas.”
Arman mengerling sambil menyalakan air. “Aku belajar. Sekalian bantu kamu. Masa aku diem aja terus kayak patung?”
Widya menyilangkan tangan di dada, memperhatikan setiap gerakannya. Ia menahan senyum waktu Arman salah pencet tombol magic com, lalu panik sendiri. “Astaga… ini kok malah mode kukus. Gimana sih?”
“Makanya jangan sok-sokan,” komentar Widya datar, tapi matanya jelas menyimpan geli.
Arman pura-pura cuek, lalu menyalakan ulang. Setelah itu, ia membuka kulkas, mengeluarkan telur dan sisa sayuran. “Ya udah, aku bikin telur dadar. Itu gampang.”
Widya sengaja mengetes. “Beneran bisa? Jangan-jangan nanti gosong, terus kamu salahin teflonnya.”
Arman memutar mata. “Hei, minimal aku usaha. Nggak kayak kamu, cuma bisa nge-judge.”
Widya terkekeh kecil, tapi langsung menutup mulutnya biar tidak terlihat. Ia kembali memotong sayuran, membiarkan Arman sibuk dengan wajan.
Beberapa menit kemudian, dapur dipenuhi aroma telur dadar yang agak gosong di pinggir. Arman bangga setengah mati. “Tuh! Jadi kan. Liat, Wid. Bagus kan?”
Widya melirik sekilas, menahan tawa. “Bagus dari mananya? Pinggirnya item semua.”
Arman cemberut, menaruh telur ke piring. “Hei, yang penting bisa dimakan. Rasanya nanti jaminan enak. Kamu juga pernah buat telur yang pinggirnya hitam, tapi tengahnya masih cair.” Arman tidak mau kalah.
Widya terdiam, lalu mengambil piring dan menaruh di meja makan. “Ya udah, nanti kita cobain. Kalau nggak enak, kamu makan sendiri.”
Arman tersenyum kecil, merasa berhasil membuka sedikit celah dingin di antara mereka. Meski malu-malu, ia duduk di meja, menunggu reaksi Widya saat mencicipi hasil masakannya.
Widya menaruh sepiring nasi dan sayur sederhana di hadapannya. Arman dengan penuh percaya diri mendorong piring berisi telur dadar gosong tipis ke tengah meja.
“Silakan, madam. Signature dish ala chef Arman.” ucapnya dengan gaya sok bangga.
Widya mengangkat alis, mengambil sendok perlahan. “Kalo rasanya kayak namanya, berarti harus siap kecewa.”
Arman pura-pura tersinggung. “Hei, jangan nge-judge dulu. Coba dulu, baru komentar.”
Dengan malas tapi penasaran, Widya memotong sedikit bagian telur, memasukkan ke mulut. Begitu mengunyah, ekspresinya berubah aneh—antara mau tertawa dan mau protes.
“Gimana?” tanya Arman, mencondongkan badan penuh harap.
Widya meletakkan sendok, meneguk air putih. “Hmm… unik.”
“Unik tuh biasanya kode enak.” Arman langsung sumringah.
Widya melipat tangan di dada, menatapnya lekat. “Unik tuh biasanya kode aneh.”
Arman langsung cemberut. “Kamu nih… padahal aku udah masak pake hati.”
Widya terkekeh, kali ini tak bisa menahan tawa. “Hati siapa? Hati ayam? Nggak ada buktinya di telur dadar gosong ini.”
Arman geleng-geleng kepala, tapi bibirnya juga ikut tersenyum. “Yaudah, coba kamu bikin, aku pengen tau bedanya apa.”
Widya menghela napas, lalu iseng menyendok sedikit telur lagi, menaruh di piring Arman. “Kamu aja habisin. Kan kamu yang bangga.”
Arman menerima piring itu, lalu dengan sengaja menyendok agak besar, mengunyah sambil pura-pura menikmati. “Hmm… sumpah, enak banget. Level restoran bintang lima.”
Widya menepuk jidat, geli sendiri. “Dasar maksa.”
Arman hanya terkekeh, menatapnya sambil melanjutkan makan dengan puas, entah karena telurnya atau karena akhirnya bisa duduk makan bersama dengan suasana sedikit lebih hangat daripada biasanya.
*
*
Kamar – Malam Hari
Hening. Widya sudah rebahan lebih dulu, memeluk bantal guling sambil menatap layar ponselnya. Lampu kamar redup, meninggalkan cahaya temaram yang membuat suasana agak tenang tapi canggung.
Arman masuk sambil mengusap rambutnya yang masih agak basah habis mandi. Kaos oblong putih dan celana pendek dipakainya, sederhana, tapi entah kenapa justru membuat Widya buru-buru mengalihkan pandangan.
“Udah tidur?” tanya Arman, suaranya pelan.
Widya pura-pura fokus ke ponsel. “Belum.”
Arman mengangguk, lalu naik ke ranjang. Awalnya ia ingin rebah di sisi pinggir, tapi melihat Widya yang sudah memeluk guling seperti membangun benteng, ia memilih diam di tepi ranjang dengan kikuk.
Beberapa detik hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Arman akhirnya membuka suara. “Tadi… makasih ya, udah mau makan masakanku.”
Widya bergumam tanpa menoleh. “Kan aku nggak punya pilihan lain. Daripada kamu tersinggung.”
Arman menoleh, menatap punggung istrinya. “Ya tapi… aku seneng aja. Rasanya beda, makan bareng kamu. Walaupun telurnya gosong.”
Widya menahan senyum, tapi cepat menutupinya dengan mendengus. “Makanya jangan sok jadi chef. Kamu tuh cocoknya makan aja, bukan masak.”
Arman pura-pura menghela napas panjang, berbaring telentang. “Ya udah… berarti aku harus rajin makan masakanmu. Biar kamu terus masakin aku.”
Widya spontan menoleh, menatapnya dengan tatapan sulit dibaca. Ada kehangatan singkat di matanya, tapi ia buru-buru menutupi dengan komentar dingin. “Ngimpi. Siapa juga yang mau repot-repot masakin kamu tiap hari.”
Arman tersenyum kecil, menatap langit-langit. “Ya kan kita tinggal serumah. Cepat atau lambat, kamu juga bakal terbiasa.”
Widya membalik badan, membelakangi Arman lagi. “Jangan GR. Kita cuma sekadar… ya, kamu tau sendiri kan.”
Kalimat itu menancap di dada Arman. Tapi alih-alih membalas, ia bergumam lirih, nyaris tak terdengar. “Iya, aku tau. Tapi aku nggak mau selamanya gini…”
Widya tidak merespons, pura-pura sudah terlelap. Padahal matanya masih terbuka, dadanya berdebar tanpa alasan. Kata-kata Arman tadi terus terngiang di kepalanya.
Beberapa menit kemudian, Arman pelan-pelan mematikan lampu meja, lalu ikut menarik selimut. Ia menjaga jarak, tapi sesekali tanpa sadar tubuhnya miring ke arah Widya.
Widya, masih pura-pura tidur, bisa merasakan hangat tubuh Arman di belakangnya. Pipinya memanas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis yang ia sembunyikan rapat-rapat dalam gelap.
Malam itu mereka tertidur dengan jarak yang tak terlalu jauh, ditemani keheningan yang anehnya… terasa lebih akrab daripada sebelumnya.
------