NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 13: Perasaan yang timbul

“Saya mau nama, alamat—semua. Jangan ada yang miss.” Suara Leonhard datar tapi jelas terdengar seperti perintah yang harus dilaksanakan. Matanya sibuk pada laptop, mengecek diagram penghasian dari bar dan arena.

“Mungkin akan ada keterlambatan karena wajahnya tidak terlihat dari CCTV.” Suara di seberang telepon sempat ragu. Leonhard nemperbaiki posisi duduknya dalam mobil, matanya menatap lurus ke kaca depan.

“Dia sudah berani nyentuh orang saya. Make it fast. Pokoknya dokumen itu sudah ada di meja saya hari ini—kalau tidak, anggap kontrak kita selesai.”

Tanpa menunggu balasan, Leonhard langsung menutup sambungan teleponnya. Hening kembali memenuhi kabin mobil. Leonhard bersandar di kursi, menarik nafas panjang sambil menutup laptonya.

Dua hari ini, pikirannya tidak tenang. Bayangan Selina di kasurnya masih terputar dalam kepalanya—mata memohon, suara pelan yang memanggil namanya, nafasnya yang berat, bahkan detik ketika hampir saja semuanya hancur kalau dia terlambat datang. Dia menggertakkan gigi.

Itu salah. Saya tahu itu semua salah… tapi dia sendiri yang menarik saya lebih dekat. Bahkan kalimat ‘as you please’ masih terngiang di kepala.

Hatinya memberontak. Apapun alasannya, Leonhard tetap merasa telah melampaui batas. Selina bukan tipe yang seharusnya memasuki lingkaran gelapnya.

“I should’ve controlled myself, but I lost it the moment she begged for it… Oh, God,” ujarnya pada diri sendiri. Tanpa sadar, tangannya mengepal di setir. Ada rasa asing di dadanya, antara penyesalan sekaligus kerinduan—walaupun dia benci mengakuinya.

“Am I… falling for her already? This shit better not be happening. Sadar, Leonhard. Lo itu bosnya—f*ck… dan gua juga dosennya. When the hell did this turn into such a mess?”

Tangannya melemas, menutup wajahnya dengan kedua tangannya sejenak—menepuk-nepuk wajahnya untuk sadar. Tapi semakin dia mencoba menghapus memori itu, semakin kuat gambaran Selina di kepalanya.

Satu masalah belum selesai tapi otaknya diputar pada kenyataan bahwa Selina—pada waktu yang sama—sudah membuka pintu rahasianya. Arena Vault 33 sudah ditemukan oleh Selina. Tempat yang tidak seharusnya bocor ke telinga orang luar. Arena itu bukan hanya lintaan balap ilegal, tapi jantung jaringan bawah tanah—tempat uang, taruhan, dan nyawa sama-sama dipertaruhkan.

Mungkin hanya sekedar lintasan kecil tersembunyi, tapi Leonhard sangat paham, sekali seseorang tahu soal arena Vault 33, hidup mereka tidak akan penah sama lagi. Entah mereka ikut terseret… atau hilang selamanya karena mengkhianati aturan main. Itulah kenapa dia punya backingan aparat kepolisian.

Leonhard bukan orang baik yang bermain aman. Semua permainan kotor sudah dilakukan. Baskara hanya alibi untuk menutupi jejaknya di dunia nyata. Padahal di balik nama itu, ada tangan yang sudah berlumur dosa dan darah yang tak pernah hilang dari ingatannya.

Dunianya hanya berputar pada untung atau rugi, bertahan atau hancur. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan—Selina yang menjadi boomerang untuk dirinya.

Matanya tanpa sengaja terarah keluar jendela—melirik kaca spion yang memantulkan sekumpulan mahasiswa duduk di bangku parkiran belakang mobilnya. Di sana, Selina sedang tertawa kecil bersama Megan dan Tessa, dan seorang pria asing—jelas bukan anak fakultas Sastra. Senyum Selina sangat manis… terlalu manis untuk ditampilkan pada pria lain.

Penasaran dengan percakapan mereka, Leonhard membuka sedikit jendela mobilnya.

“Lo sekarang kayak banyak rahasia ya…” ujar Tessa sambil menunjuk Selina.

Selina langsung tergelak tapi ekspresinya tetap tenang. “Gak usah lebay. Rahasia apaan sih.”

“Feeling gua juga lu kayak lagi nyembunyiin sesuatu,” Megan ikut menimpali. “Lo sekarang kalo cerita gak se-blakblakan itu weh… suka ngegantung juga kalo cerita.”

Vikram mencondongkan dirinya sedikit mendekat pada Selina. Tangannya menggeser helaian rambut dari wajah Selina yang terkena angin kencang. Selina terlihat sedikit menjauh, merasa kurang nyaman dengan kontak yang tiba-tiba. Leonhard yang melihatnya dari kaca spion, ikut mengepalkn tangannya—pandangan enggan lepas dari Selina.

“Apaan deh… gua biasa aja kok,” ujar Selina cukup tenang dan percaya diri.

“Ada masalah di tempat part time lo?” Vikram tiba-tiba berbicara. Mendengar part time, Leonhard mengangkat alisnya. Apakah Selina memberitahu mereka soal bar itu?

“Ngaco deh! Nggak kok. Kerjaan gua nyantai… gak ada masalah sedikitpun,” jawab Selina.

“Hm? Kalo gak ada masalah kenapa muka lo sering keliatan capek?” Tangan Vikram mengudap punggung Selina. Selina sedikit terkejut, dia menatap Megan dan Tessa—mereka saling bertatapan merasa aneh dengan Vikram hari ini.

“Eh, Vik. Bisa gak gak usah pegang-pegang?” timpal Selina sedikit menjauh dari Vikram.

Vikram terkekeh santai. “Sorry… sorry… gua refleks. Jangan baper gitu dong.”

Mendengar jawaban Vikram, Leonhard rasanya ingin langsung keluar dari mobil dan menghantamnya. Tapi niatnya diurungkan.

“Serius deh Vik, lo hari ini kenapa sih deket-deket Selina mulu,” ujar Tessa terus terang. Leonhard membuka jendela sedikit lebih lebar karena percakapannya semakin intense.

“Lo suka ya? Soalnya dari awal kenal lo, gua perhatiin lo apa-apa selalu Selina,” tambah Megan, tangannya dilipat di depan dada. Selina menatapnya datar, benar-benar tanpa ekspresi.

Lagi-lagi Vikram terkekeh dan ada jeda sebentar sebelum dia mulai berbicara. “Honestly… I do find her interesting,” ucap Vikram pelan tapi cukup jelas didengar oleh Leonhard dalam mobil. Suasanyanya berubah sedikit canggung. Mata Vikram melirik Selina dengan senyum samar di bibirnya, seolah ingin menguji reaksi semua oranh di sana.

Selina tetap menatapnya datar, tidak memberikan ekspresi apapun, kemudian dia tertawa cukup kencang. “Interesting? Lo pikir gua barang, hah?”

“Tau lo! Sekata-kata lu kalo ngomong,” pungkas Megan mencoba menghilangkan suasana canggung itu.

Dari balik kaca mobil, Leonhard menahan nafas. Urat pelipisnya menegang, tangannya mengepal di atas kepala.

Leonhard menggeram pelan. “This boy… sucks. Confession macam apa itu?” gumamnya kesal.

Leonhard menggeser posisinya, mencondongkan tubuh ke arah jendela agar bisa melihat Selina lebih jelas. Senyum tipis sempat muncul di wajahnya dan itu membuat Leonhard merasakan hal aneh di dadanya. Seperti… dia tidak ingin Selina memberikan senyuman itu kepada Vikram.

Dan… siapa Vikram ini? Kenapa dia dekat sekali dengan Selina?

Leonhard tidak tahan lagi menguping pembicaraan mereka dan hanya melihat cowok itu berusaha mendekati Selina. Dia menutup rapat jendela mobilnya sebelum keluar.

Suara pintu mobil yang ditutup berhasil memecah perhatian mahasiwa itu. Megan dan Tessa sudah langsung saling mencolek, sedangkan Selina terkejut tiba-tiba Baskara keluar dari mobil itu. Untungnya mereka tidak lagi menggosip tentang dosen, kalau tidak mati saja.

Leonhard—Baskara merapikan kemejanya dan kacamata yang menggantung di batang hidung, memasang wajah relax bercampur senyum tips. Pesona itu yang sudah ia kuasai di depan mahasiswa.

Baskara berbalik pada pelan, pura-pura terkejut saat melihat mahasiswanya. “Loh… kalian. Selesai kelas?” tanyanya basa-basi. Tatapannya menyapa mereka satu-satu, berhenti sepersekian detik lebih lama pada Selina, berharap tidak ada yang sadar.

“Pak Baskara!” seru Megan cepat, setengah terkejut tapi antusias. Baskara tersenyum membalas sapaan Megan. “Kirain tadi siapa… ternyata mobilnya bapak, ya,” lanjutnya.

Baskara terkekeh. “Kamu lupa mobil saya?”

Mata Megan membelalak, “Loh..? Eh… iya ya waktu itu kan ke klinik kampus pake mobil bapak. Ah… tapi beda deh, Pak,” celoteh Megan tidak berhenti, mendapat senggolan bahu dari Selina yang terlihat seperti ingin membekam mulutnya.

Baskara menggeleng kecil. “Kamu ngomongnya marathon ya… coba bisa begini kalau presentasi di kelas,” ujar Baskara sedikit melontarka guyonan.

“Loh? Pak… saya mah suka nyerocos. Kalimat itu lebih cocok untuk Tessa,” tambah Megan.

“Kok bawa-bawa gua sih?” tukas Tessa sedikit kesal dan mendorong kecil Megan. “Saya… emg suka gugup dikitt…” tambah Tessa sambil membuat simbol sedikit dengan telunjuk dan jempolnya.

Baskara tersenyum sambil melirik Selina lagi. Ekspresinya tidak bisa di baca, tapi yang jelas dia terlihat sedikit tidak nyaman di dekat Vikram itu.

Baskara berdehem. “Kalau begitu, saya nggak ganggu lama-lama. Cuma kebetulan… Selina, bisa ikut sebentar? Ada hal kecil yang perlu saya sampaikan untuk kelas saya nanti minggu depan.” Nada suaranya terdengar enteng, ramah, persis seperti julukannya.

“Oh… baik, Pak.” Selina langsung berdiri, menyambar tasnya. Megan dan Tessa melirik ke arahnya dengan tatapan menggoda—Megan bahkan sempat berbisik, “Cie… dipanggil khusus lagi.”

Selina memukul lengan Megan cukuo keras sambil menatapnya sinis. Sebelum Selina pergi jauh, Vikram menginterupsi mereka.

“Sel… gua temenin, ya?” ujarnya tanpa rasa malu.

Selina berbalik badan, “Eh… gak usah. Gua KM kelas beliau. Tenang aja,” jawab Selina cepat.

“It’s okay. Gua mau temenin, ya,” ulang Vikram, kali ini dengan langkah kecil mendekat, jelas tidak berniat mundur.

Selina berjalan mundur sambil melambaikan tangannya di udara. “Gak usah, Vik. Serius. Paling mau nyampein materi minggu depan. Lagian… aneh juga kalo lo ikut.”

“Tapi—”

“Vik…? Saya gak tahu nama kamu siapa, tapi urusan akademik sebaiknya hanya antara mahasiswa dan dosen yang bersangkutan. Saya pastikan Selina aman.” Suara Baskara terdengar ringan, tapi ada lapisan ketegasan yang membuat Vikram berhenti. Tatapan mata Baskara penuh wibawa, senyumnya dingin penuh kontrol.

“Saya juga mahasiswa, Pak,” lanjut Vikram ternyata belum menyerah. Selina berdecak lidah, sudah siap menyemprot Vikram, tapi keduluan Baskara.

“Mahasiswa Sastra Inggris?” tanya Baskara simpel.

Ada jeda sejenak—Vikram mengeraskan rahangnya. “Saya mahasiswa Psikologi,” jawabnya.

Baskara mengangguk. “Okay… jawabanmu tidak memberikan validasi apapun. Pernyataan saya masih tetap—tidak berubah. Ini urusan kelas saya. Kamu… technically orang luar, tidak ada keperluan penting yang mengharuskan hadir dalam obrolan ini.”

Selina tersenyum tipis mendengar ucapan dosennya itu. Orang-orang suka lupa, walaupun dia bisa berbaur dengan mahasiswa, dia tetaplah dosen yang taat aturan.

Vikram menelan ludah, mengangkat tangannya. “Okay… maaf, Pak.”

Megan dan Tessa yang memperhatikan mereka hanya bisa saling lirik dan berkomunikasi kewat mata.

Baskara memberikan anggukan singkat, lalu menoleh ke Selina dengan tatapan yang memintanya segera pergi. “Ayo.”

Selina langsung melangkah cepat mengikuti dosennya menuju bangku kosong di seberang—Baskara sadar kalau dia membawanya masuk mobil bisa menjadi salah pagam mahasiswa yang berlalu-lalang.

Baskara duduk terlebih dahulu, gerakannya tenang seperti biasa. Dia bisa melihat Vikram memperhatikan mereka di sebrang sana. Ia menepuk sisi bangku, memberi isyarat agar Selina ikut duduk.

“Maaf, Pak.” Selina akhirnya bersuara, sambil duduk di sampingnya. “Tadi… malah jadi ribut.”

Baskara menoleh sekilas, menahan senyum tipis yang sulit dibaca maksudnya. “It’s fine. Bukan salahmu. Justru saya yang harus minta maaf karena mengganggu kalian.”

“Iya nih… ganggu sekali bapak,” canda Selina sambil melipatkan kedua tangan di dada. Baskara terkekeh kecil.

“Saya gak suka dia maksa kamu,” gumama Baskara pelan.

“Hah? Kenapa pak?”

“Oh… ngga. Dia…” Baskara menunjuk Vikram yang masih memperhatikan mereka menggunakan dagunya. “…pacar kamu?” Pertanyaan yang sangat diluar dugaan Selina.

Selina terkesiap, menoleh ke arah dosennya itu secepat kilat. Ekspresinya sangat tersinggung.

“Oh, hell no! Bapak… jangan bikin teori sendiri dong—mentang-mentang dosen,” ujarnya tersinggung.

Baskara tertawa kecil, suaranya dalam—menusuk gendang telinga Selina. Seperti tidak asing. Tapi, Selina cepat-cepat menghiraukan perasaan itu.

“Anyway,” Baskara mengalihkan. “Minggu depan saya ada urusan ke luar, jadi tidak bisa masuk kelas. Kamu pastikan presensi tetap jalan ya—di portal kampus saja. Tidak perlu masuk kelas, kumpulkan saja video presentasi di gdrive. Oke?”

Selina menatapnya. Paras wajahnya kalau dilihat dari jarak dekat seperti ini… entah kenapa mirip seseorang. Garis rahangnya yang tajam dan bahkan ketika alisnya menukik ketika serius—seakan deja vu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, takut tatapannya terlalu lama.

“Mirip siapa ya…?” batin Selina. Tapi pikirannya berusaha menolak, karena orang yang terlintas di kepalanya mustahil ada di hadapannya sekarang… atau bisa jadi?

Baskara menyadari tatapan Selina. Bibirnya melengkung samar. “Ada yang salah sama muka saya?” tanyanya ringan, matanya menyelusuri ekspresi Selina seolah ingin membaca isi kepalanya.

Selina tersentak tapi mencoba untuk tenang. “Kayaknya… bapak mirip seseorang, deh,” ceplosnya, diam-diam memperhatikan reaksi dari Baskara.

“Saya? Muka limited edition begini kamu bilang mirip seseorang?” canda Baskara sambil menunjuk ke mukanya sendiri.

Selina menutup mulutnya dengan tangannya—tidak percaya dengan jawaban dosen di depannya. Oke. Jelas… bukan orang yang ada di pikirannya. Orang itu tidak mungkin melontarkan lelucon seperti tadi.

Selina tertawa kecil. “Oh wow… I never expected you have really… such a bad humor. A bad dad joke, Pak. Maaf aja nih,” celetuk Selina ikut bercanda karena merasa aman dengan situasinya.

Baskara tersenyum tipis, menatapnya beberapa detik. “At least you’re laughing.”

“Tatapan itu lagi…” batin Selina. Tatapannya penuh arti tapi dia tidak bisa pin poin maksudnya.

Baskara mengangkat sedikit lengan kemejanya, mungkin karena gerah. Ada garis hitam samar yang seolah bagian dari pola.

Tato?

Selina berkedip, berusaha memastikan, tapi dosen itu buru-buru merapikan lengan kemejanya saat melihat Selina menatap lengannya. Sekejap, atmosfer diantara mereka beruba.

Dia menahan nafas.

Pola itu… mirip sesuatu yang pernah dia lihat sebelumnya.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!