Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang baru 2
:lanjutan bayangan baru sebelumnya
Jagat menjawab, suara bergetar tipis: “Aku tidak mau ada yang terluka. Kalau kalian mau barangnya, ambil jalan aman—bicaralah baik-baik atau laporkan ke pihak yang berwenang.”
Pria berjaket itu menyeringai, lalu memberi aba-aba. Anak buahnya bergerak cepat, menekan tombol kecil pada tongkat stun. Sengatan non-lethal menyambar, beberapa penjaga bergerak ingin menangkap Jagat dengan tangan kosong. Sambil menghindar dari tusukan rasa yang mematikan itu—sensasi seperti ditahan otot oleh arus—Jagat mengaktifkan augmentasi minimal: pembesaran fiber otot, gerakan lebih cepat dan refleks diperkuat. Bukan armor, hanya tubuhnya yang disokong oleh nanobot. Ia menghindari menembakkan balasan yang melukai; fokusnya memutus jalur maju mereka.
Dari kejauhan, suara radio pendek terdengar. Sebuah mobil tak bercap berhenti di jalan kecil: lampu kecil berkedip, lalu dua sosok berpakaian gelap turun cepat—mereka bukan orang asing. Itu tim proteksi pemerintah yang dipimpin Letnan Bripka Andi dan Serka Joko, dua nama yang sejak kemarin dipantau ada di sekitar komplek. Mereka bergerak sigap, memasang perimeter, menyingkirkan warga yang penasaran.
Bripka Andi mendekat, menegaskan identitas. “Berdiri di posisi Anda, kami dari satuan pelindung. Identitas? Semua pihak diam. Jagat, kalian aman sekarang—tetap tenang dan jangan bergerak.”
Pria berjaket itu menoleh, sedikit kecewa melihat kehadiran aparat. “Oh, polisi datang cepat. Sayang. Kita hanya ingin… membujuk. Jangan ganggu suasana.”
Serka Joko membalas dingin, “Dialog boleh, tapi dengan prosedur. Kami catat semua percakapan. Jika ada ancaman, kami tindak tegas.” Nada itu tak hanya menenangkan; ia juga mengubah peta permainan. Sekarang ada saksi dan catatan, dan para asing tahu mereka tak bisa bertindak impulsif.
Namun bukan berarti musuh mundur. Tangannya melambai ke kanal radio—sebuah frekuensi lain meloncat, suara keras menjawab dari area yang lain. Dalam beberapa menit, gelombang lain datang: unit bersenjata ringan yang lebih banyak muncul dari balik truk. Mereka tidak lagi bermodal stun. Suara pelatuk yang tertekan terdengar—pistol, diikuti oleh suara mesin ringan—senjata otomatis kaliber kecil. Sikap mereka berubah dari provokatif ke agresif.
Bripka Andi tak langsung membuka peluru tajam. Aturan jelas: jangan tembak di area yang berbahaya untuk warga. Mereka memulai dengan perintah tembakan peringatan, tembakan ke udara—bukan untuk membunuh, melainkan untuk mengintimidasi agar pengacau mundur. Tapi pihak lawan membalas dengan tembakan terarah, sempat meleset dan memecahkan beberapa kotak kayu di dermaga. Debu beterbangan; beberapa percikan nyala api dari kabel terpapar; suasana berubah jadi kacau.
Jagat berdiri di tengahnya, napasnya terengah. Ia menahan impuls untuk memanggil modifikasi armor—di kepalanya, satu perintah tunggal: keluarkan mark suit, hancurkan semua. Namun ia teringat wajah ibu di rumah, adiknya yang mungkin masih terjaga. Jika ia memunculkan Iron 1 di dermaga ini, radar akan menyala, kamera-kamera akan menangkap, dan peluru tak terkontrol dari pihak lawan bisa tersasar ke area pemukiman.
Ia memilih jalan lain: memaksimalkan augmentasi nanobot untuk taktik non-lethal. Gerakannya jadi seperti bayangan; ia melancarkan serangkaian teknik judo improvisasi—menangkis, menjatuhkan, memanfaatkan momentum musuh untuk melumpuhkan tanpa mematahkan. Di beberapa titik ia memukul alat stun yang terpakai, memutus sambungan, sehingga beberapa penyerang melemah karena efek balik. Ia memanfaatkan lingkungan: rantai, kotak, kabel—semua menjadi alat untuk memperlambat.
Celine, dari dalam Arka yang masih terjaga di atas, berkomunikasi lewat frekuensi pribadi. “Master, aku mendeteksi peningkatan eskalasi. Drone support siap, tapi kita harus memindahkan pertempuran jauh dari area pemukiman. Saya dapatkan rute pengepungan aman menuju lapangan kosong dua kilometer dari sini.”
Nova menimpali cepat dengan kalkulasi. “Rute aman direkomendasikan. Jika dipaksa, mode partial armor boleh dipasang setelah evakuasi keluarga selesai. Kemungkinan collateral drop 8% jika suit dipakai sekarang.”
Bripka Andi memerintahkan taksi polisi menutup jalur. “Evakuasi keluarga sekarang! Tim Bawa Ibu Ratna dan Nadia ke mobil aman—jaga samping!” Serka Joko dan dua anggota lainnya merangsek ke rumah Jagat, sambil menyiapkan rombongan untuk membawa keluarga ke van aman yang terparkir tak jauh.
Di saat inilah tampak betapa rumitnya perang modern: bukan hanya dua kekuatan beradu; ada lapisan ketiga—warga sipil, aparat negara, jaringan internasional—semua saling tarik menarik dengan aturan yang berbeda. Jagat merasa punggungnya basah oleh keringat, bukan hanya karena fisik, tapi oleh beban moral.
Saat keluarga Jagat berhasil dievakuasi oleh tim Bripka Andi menuju van aman, suasana di dermaga semakin memanas. Musuh yang kini berhadapan dengan aparat menambah tekanan; mereka tak mau mundur begitu saja. Suara peluru makin intens, beberapa percikan menimbulkan kebakaran kecil di satu sudut kontainer.
Bripka Andi akhirnya mengeluarkan perintah lebih keras: “Tembakan terarah untuk melumpuhkan kendaraan pengacau! Jangan menembak ke arah area pemukiman!” Itu adalah garis tipis antara tindakan taktis dan bencana.
Jagat melihat kendaraan musuh mulai mundur, sebagian tertahan karena taktik balasan yang terukur dari aparat. Di dalam kepalanya Nova memproyeksikan opsi: jika situasi berubah menjadi fatal, Iron 1 menjadi pilihan terakhir—tetapi setelah keluarga aman jauh, dan lokasi pertempuran dipindahkan. Itu syarat yang Jagat tetapkan pada dirinya sendiri sejak awal: jangan mengorbankan mereka demi kekuatan.
Ketika asap mereda, tim pemerintah mengambil alih posisi. Musuh mundur dengan cepat, sebagian tertangkap, sebagian kabur ke perahu kecil yang siap melaut. Sorak meringis dari luka-luka terdengar, beberapa penjahat terkapar karena stun balik. Alarm alat komunikasi dimatikan oleh Celine: ia mengirim chaff elektronik untuk menutupi jejak Arka dan mengaburkan posisi Jagat.
Di ujung malam, polisi menyisir lokasi. Bripka Andi mendekat ke Jagat, menepuk bahunya sekali—bukan ejekan, melainkan pengakuan. “Kau melakukan hal benar, menahan diri. Banyak jiwa yang kita selamatkan. Tapi ingat, sekarang kau bukan hanya anak mahasiswa. Kau seorang entry point untuk konflik besar. Kami akan minta kau bekerjasama secara resmi dalam penyelidikan.”
Jagat mengangguk, tubuhnya lelah, kepala berat. Di dalam hatinya ada rasa lega; ibunya dan Nadia aman. Namun ia juga tahu: pelarian musuh hari ini hanya bagian kecil dari konspirasi yang lebih luas.
Nova menutup catatan malam itu dengan ringkasan:
> [STATUS]
Level: 4 → 5 (Pengalaman +)
Vitalitas: 76%
Sinkronisasi Nanobot: 92%
Skill yang dipakai: Augmentasi Otomatis (Lv.2), Teknik Non-Lethal (Lv.1)
Armor: Iron 1 (LOCKED) — Notifikasi: Pembukaan penuh hanya diizinkan jika keluarga & warga dievakuasi dan lokasi aman.
Catatan: Eksposur publik meningkat. Rekomendasi: evakuasi lokasi sebelum deployment modul berat. Fokus upgrade modul plug-on remote.
> [NOVA LOG –
“Konfrontasi di dermaga menunjukkan preferensi lawan untuk menguji batas non-lethal sebelum mengeskalasi. Taktik mereka berubah menjadi penggunaan senjata api ringan setelah melihat intervensi aparat. Pilot (Jagat) memilih restraint—pilihan moral yang optimal. Dampak: keluarga terlindungi; mitigasi collateral berhasil. Rekomendasi operasional: percepat pengembangan modul evakuasi cepat (AR/Drone) dan chaff EM untuk mengurangi jejak. Risiko: Keinginan pihak asing untuk merekrut/menaklukkan target meningkat. Tingkat ancaman: AKTIF.”
Jagat berdiri di tepian dermaga, memandangi air yang berkilau oleh cahaya lampu. Kerlap-kerlip sirene masih bergema di kejauhan. Dia belum memakai Iron 1. Itu bukan menandakan kelemahan—justru itu adalah kompas moralnya.
Malam itu berakhir dengan janji: langkah berikutnya harus dipikirkan bersama—profesor, tim pemerintah, Nova, dan Celine. Mereka harus merancang cara agar teknologi tidak jatuh ke tangan yang salah, tanpa mengorbankan orang yang dicintai.