"Kamu selingkuh, Mas?"
"Vina, Mas bisa jelaskan! Ini bukan seperti apa yang kamu lihat."
"Bukan, terus apa? Kamu... kamu berciuman dengan perempuan itu, Mas. Terus itu apa namanya kalau bukan selingkuh?"
***
"Vina, bukannya kamu mencintai, Mas?"
"Maaf! Aku sudah mati rasa, Mas."
***
Vina, harus terpaksa pura-pura baik-baik saja setelah suaminya ketahuan selingkuh. Tapi, ia melakukan itu demi bisa lepas selamnya dari suaminya.
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, Vina tentu langsung melepaskan pria yang menjadi ayah dari anaknya.
Kejam? Tindakan Dimas yang lebih kejam karena menghianati cinta sucinya. Padahal Vina selama menjadi istri tidak pernah menuntut apa-apa, ia selalu menjadi istri yang baik dan taat. Tapi ternyata ia malah diselingkuhin dengan mantan suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iindwi_z, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Agam dan Albian.
Setelah melihat-lihat rumahnya, Vina menyuruh anaknya untuk menonton televisi. Rumah itu sudah lama dibiarkan kosong, membuat Vina harus membersihkan agar nyaman ditinggali. Vina tidak mendengar suara mobil, bahkan Vina juga tidak tahu kalau Albian sudah kembali.
Saat perempuan itu mau mengecek anaknya, Vina langsung mematung mendengar Agam berbicara dengan Albian. Vina menutup mulutnya, menggigit bibir dalam bawahnya agar tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya sedikit bergetar menahan tangisan itu. Tidak menyangka kalau anaknya ternyata terluka.
“Maafkan Bunda Sayang, Bunda janji setelah ini kita akan hidup bahagia. Bunda akan jadi, ayah sekaligus untuk kamu,” ucap Vina dalam hati.
Setelah melihat anaknya sudah terlihat baik-baik saja. Vina menghapus air mata, bibirnya membentuk senyuman agar Agam tidak sedih ketika melihat wajahnya.
“Wah, lagi ngomong in apa ini? Sepertinya seru sekali...” ujar Vina dengan mendekat.
Agam langsung bangkit, anak laki-laki itu menghambur dalam perlukan ibunya. Dalam hati, Agam berjanji akan membuat ibunya ini bahagia.
“Loh, ini kenapa?” tanya Vina, melepaskan pelukannya untuk menatap wajah putranya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu.
Agam menggeleng kecil sambil tersenyum hangat. “Aku enggak apa-apa Bunda, aku bahagia tinggal di rumah ini.”
Vina mengangguk, kembali membawa tubuh kecil itu dalam dekapannya. “Bunda juga selalu bahagia selama di situ ada Agam.”
Albian melihat itu terharu, dulu hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Sampai, Tuhan lebih sayang dan mengambilnya. Albian tidak marah, hanya saat itu dia kecewa dengan ayahnya. Kenapa ayahnya harus buru-buru menikah? Kenapa harus secepat itu melupakan ibunya? Akhirnya, Albian memilih tinggal dengan neneknya. Albian berubah jadi anak nakal, sampai ia bertemu dengan Vina. Anak kelas sepuluh yang langsung membuat hatinya bergetar.
Albian bangkit, suaranya membuat ibu dan anak yang masih berpelukan menoleh. “Mau pelukan sampai kapan? Apa kalian enggak lapar?” tanya Albian.
Vina dan Agam terkekeh, lalu kembali saling berpelukan. Tidak memedulikan tatapan Albian. Bukan marah, Albian malah tersenyum melihat itu.
“Baiklah, kalian berpelukan saja, biar aku yang masak untuk makan kita,” ujarnya sambil mengambil kantong belanjaan.
Seketika Vina melepaskan pelukannya, dan mencegah Albian melakukan itu. Bukan apa-apa, Vina baru saja membersihkan rumah, apalagi di dapur. Vina tidak mau dapurnya kembali berangkat kalau Albian yang masak.
“Kamu duduk sama Agam saja, biar aku yang masak, Kak!” cegah Vina.
“Kamu tidak percaya aku bisa masak Vin?”
“Bukan aku enggak percaya kak. Tapi, lebih baik kamu duduk saja ya, kamu pasti lelah habis pulang kerja, belum lagi tadi pulangnya belanja. Mending aku saja ya, kamu main sama Agam.”
Mendengar itu Albian tersenyum, membayangkan kalau dirinya dan Vina sudah menikah. Albian pulang kerja langsung disambut, lalu memeluk tubuh Vina dan mencium wajahnya. Ah, pipi Albian sampai memerah membayangkan itu.
“Kak, pipi kamu kok tiba-tiba merah, kamu sakit?” tanya Vina, melihat perubahan wajah Albian ia jadi cemas.
“Enggak apa-apa,” jawab Albian dengan gugup. Lalu tersenyum tipis untuk mengalihkan perhatian Vina. “Benar kamu saja yang masak, mungkin aku kelelahan.” Albian langsung menghampiri Agam, merasa bodoh dengan dirinya sendiri.
Vina mengangguk, lalu pergi membawa bahan-bahan makanan ke dapur. Membiarkan Albian membawa Agam pergi bermain.
***
Sofi langsung mendorong tubuh Dimas yang akan kembali menyerangnya, baru kali ini dia merasa kalah, padahal setiap bermain dirinya akan selalu menang dan selalu mendapatkan kenikmatan yang diinginkan. Namun sekarang, bagian bawahnya terasa perih, Dimas memasukinya dengan kasar. Bahkan pria itu, juga meremas dadanya dengan kuat, belum lagi gigitannya di tubuhnya.
“Kamu mau bunuh aku?” bentak Sofi, menatap Dimas dengan marah.
Dimas memejamkan matanya, ia semakin hari semakin tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia bahkan sampai tidak mengenal dirinya sendiri. Dimas benar-benar sudah berubah, sudah bukan Dimas yang dulu.
Nafas Dimas tersengal-sengal, menatap Sofi dengan rasa bersalah. Dimas membuang nafas dengan kasar, lalu membuka suaranya pelan. “Maaf, maafkan aku Sofi!” sesalnya.
Sofi masih menatap Dimas lekat-lekat, mengambil baju yang tergeletak di lantai. “Aku menerima kamu kalau kamu menginginkan kenikmatan Dimas. Tapi, kalau seperti ini, aku tidak akan membuka pintu untuk kamu lagi.”
Dimas mengangguk karena ia salah. “Maaf, sekali lagi maafkan aku Sofi, aku janji tidak akan seperti ini lagi.”
Sofi tidak menjawab, perempuan itu membaringkan tubuhnya. Sofi merasa tubuhnya sangat lelah dan sakit semua. “Pergilah aku mau istirahat,” usir Sofi, setelah mengatakan itu langsung memejamkan matanya, tidak memedulikan Dimas, mau pulang ke rumah istrinya atau ke tempat Lara.
Dimas tidak banyak bicara, ia bangkit, mengambil pakaiannya yang tergeletak. Setelah memakainya, langsung pergi meninggalkan rumah Sofi. Dimas tidak pergi ke rumah Lara, pria itu takut juga akan kembali hilang kendali.
***
Karena tidak ada permainan di rumah itu, jadi Agam dan Albian membuat permainan sendiri. Agam begitu antusias saat Albian mengajaknya menyebut nama binatang, nama buah-buahan, apalagi yang kalah akan dicoret.
Wajah kedua orang beda usia itu sudah penuh dengan spidol berwarna hitam yang mereka temukan di rumah itu. Albian membuat wajah Agam terlihat seperti sapi. Sedang Agam, membuat wajah Albian penuh dengan warna hitam.
“A B C D lima dasar...” kembali Agam menghitung jarinya dan jari Albian. Sampai, Agam berhati saat mendengar namanya dipanggil.
“Agam, segera cuci tangan Nak, terus makan,” panggil Vina yang sudah menyelesaikan masakannya.
Agam dan Albian saling tatap, lalu keduanya tersenyum dan berdiri untuk mendekat. Namun, mereka langsung berhenti saat Vina berteriak.
“Kenapa wajah kalian seperti ini?” teriak Vina, kaget tapi juga lucu, apalagi Agam yang pipinya seperti sapi. Namun Albian, malah sangat menyeramkan.
Agam dan Albian saling tatap, lalu tertawa bersama. Agam lebih dulu bersuara. “Tadi kami habis main Bunda, yang kalah dicoret.”
“Benar, dan Agam yang salahnya paling banyak, jadi ini wajahnya,” sahut Albian.
Mendengar itu Vina terkekeh, mungkin Albian belum melihat wajahnya saja. Memang sih, di wajahnya tidak dibentuk seperti sapi. Tapi, hampir semua wajah Albian hitam. Seketika Vina tertawa kecil melihat itu.
“Kenapa kamu tertawa?” tanya Albian penasaran, karena tawa Vina ini berbeda, seperti ada yang aneh.
Vina menggeleng kecil, lalu meminta untuk segera cuci wajah dan tangan mereka “Sana cuci wajah dan tantang kalian, terus makan!”
Albian dan Agam mengangguk, dengan tangan bergandengan menuju kamar mandi. Albian membatu Agam untuk membersihkan wajahnya, namun setelah digosok-gosokkan spidol itu tidak hilang.
“Agam merem ya, Om gosok pakai sabun biar hilang,” pintan Albian, karena takut kena mata Agam.
Agam mengangguk, membiarkan pria dewasa itu membersihkan wajahnya. Namun, meskipun sudah digosok dengan sabun, spidol itu masih belum hilang di wajah Agam.
“Gam...”panggil Albian pelan.
“Kenapa Om?”
“Gimana ini?” ucapannya dengan khawatir.
“Gimana apanya?” jawab Agam penasaran.
“Spidolnya enggak bisa hilang di wajah kamu.”
“Enggak bisa hilang?” ulang Agam.
“Iya Agam, dan wajah kamu seperti sapi.”
“Terus, wajah om seperti genderuwo.”
“Gendruwo?”
“Hm, wajah om hitam semua.”
Mendengar itu Albian langsung berlari mencari cermin, saat ia menemukan cermin seketika ia berteriak.
“Agam... kenapa kamu buat wajah tampan om jadi seperti ini?”
Bukan merasa bersalah, Agam malah tertawa. Ia sampai melupakan rasa sedih yang tadi dirasakan.
***
busettt pindah lobang sana sini moga moga tuh burung cepat pensiun dini biar nyaho
bahaya loh kalau kena tetangga ku dah mati dia pipis darah ma nanah terus melendung gede kasihan lihatnya tapi kalau ingat kelakuan nya ga jadi kasihan
aihhh suami mu vin lempar ke Amazon
semoga ntar karmanya persis seperti nama pelakornya "LARA", yang hidupnya penuh penderitaan apalagi dia punya anak perempuan
orang udah mati sekarang