Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 13
“Itu Nara udah dateng, Nar, benaran lo nikah sama Zean?”
“Gila…anak toko bisa dapet owner ZAP Group?”
“Lo pacaran diem-diem ya selama ini?”
“Astaga! Apa jangan-jangan kalian nikah karena udah hamidun?”
Serbuan pertanyaan berturut-turut dari rekan-rekan kerjanya yang sudah berkumpul di ruang ganti membuat Nara pusing. Mereka mengerubungi Nara seperti tengah menonton sebuah pertunjukan.
Nara nyaris mundur selangkah, ia tidak tahu harus menjawab apa. Mulutnya terbuka tapi tak ada jawaban yang keluar sepatah kata pun. Tanggannya mencengkram erat tali tas, seperti butuh pegangan agar tidak tumbang di tengah semua tatapan penasaran itu.
“Eh eh, kalian semua jangan asal nuduh!” Suara lantang puput memotong keributan mereka semua. “Mau dia nikah sama siapapun itu udah jodoh dia, gak harus semua hal dia klarifikasi ke siapapun!”
Puput berdiri diambang pintu masuk, dengan rambut yang dikuncir dan tatapan yang dingin. Dia melangkah masuk dan langsung menarik pergelangan tangan Nara.
“Ayo, kita keruang depan biarin aja mereka semua.”
Puput membawa Nara keluar dari ruangan itu, meninggalkan suara-suara penasaran yang masih berbisik di belakang.
Di dekat meja kasir, Puput melepas tangan Nara dan menatap lama Nara. Nara yang ditatap begitu intens oleh sahabatnya hanya bisa terdiam dan salah tingkah.
“Kita parlu bicara!” Ucap Puput pelan, tapi begitu dalam hingga membuat Nara meneguk air liurnya sendiri.
Puput menyilangkan tangan di dada, dengan tatapan yang masih setia memandangi Nara yang terlihat gugup. “Gue gak marah Nar, tapi gue kecewa… kenapa selama ini lo gak cerita?”
Dengan cepat Nara meraih tangan Puput, menggenggamnya erat. “Put, ak-aku bukan gak mau cerita. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku juga tidak sepenuhnya ngerti dengan keadaan ini.”
“Cepat? Secepat itu kah? Sampai lo nggak sempet kabarin sama sahabat lo sendiri?”
Nara menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai basah. “Aku… aku gak tau harus cerita bagaimana.”
Puput mendegus. “Tapi gue itu sahabat lo Nar, gua cuma pengen jadi orang pertama yang tahu. Bukan dari undangan yang tiba-tiba viral.”
Keduanya terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Puput mendesah pelan.
“Ya udah, gue gak maksa lo buat cerita sekarang. Tapi gue tetap nunggu sampe lo udah siap mau cerita.”
Nara menunduk, lalu memeluk sahabatnya itu.
“Maaf…”
Puput membalas pelukan Nara, sebagai sahabat terbaik, Puput yakin di balik semua ini ada hal yang memang membuat Nara sakit, karena itu dia tidak ingin memaksanya, namun menunggu sampai momen tepat di mana Nara sendiri lah yang akan menceritakannya.
“Emm gue terima maafnya, tapi gue tetap nunggu kapan lo siapnya.”
Nara mengangguk pelan, sembari menyeka sisa air mata yang menempel dibawah pelupuk matanya.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Cahaya matahari siang kini menerobos lembut dari jendela kamar Dela yang lebar. Kamar besar itu terlihat rapi, bergaya minimalis dengan nuansa putih dan krem.
Di atas ranjang yang empuk, terlihat tubuh Lusi yang tertidur membelakangi cahaya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut ke atas kepalanya saat rasa nyeri begitu kuat menghantam dikepalanya itu kembali berdenyut.
“Udah bangun, lu?”
Suara Dela terdengar dari arah kamar mandi, di ikuti dengan suara hairdryer yang masih menyala. Lusi menggeliat pelan, matanya masih setengah terbuka.
“Emmm…kepala gue sakit banged,”rintih lusi sambil menutupi wajahnya dengan bantal.
“Ya wajar lah sakit, lo minum sampe lupa daratan semalam, emang lu pikir vodka itu teh anget?”
Lusi meringis. Dela melangkah keluar dari kamar mandi sambil mengaitkan kancing baju kemeja kerjanya, wajahnya sudah segar, rambut setengah kering, dan riasan tipis yang membuatnya terlihat begitu manis.
“Lu mau kemana?” Tanya lusi, baru sadar sahabatnya itu sudah siap keluar.
“Ya jelas kerjalah. Masa gue mau pergi kondangan? Bangun lo sana, orang jam segini udah keliling sabang sampe merauke, lu baru bangun.”
Dela melempar handuk kecil bekas pakai kearah wajah lusi, kena. Tapi bukannya marah, Lusi malah tertawa pelan.
“Gue ikut, ya.” Lusi segera bangkit dari kasur empuk itu, berjalan pelan ke arah kamar mandi.
Beberapa waktu kemudian, Dela dan Lusi turun ke lantai bawah, menuju meja makan yang diatasnya sudah tertata rapi dengan masakan yang enak. Tak lupa dengan segelas wedang jahe yang menyambut keduanya.
“Siang, Ma.” Sapa Dela sambil mencium pipi Misna dengan penuh cinta dan kasih.
“Siang, tante.” Lusi menyusul.
“Siang juga, sayang.” Jawab misna hangat. “Lusi, ini di minum dulu wedang jahenya, biar gak sempoyongan lagi.”
Lusi tersenyum kikuk. “Makasih banyak ya, tante, maaf ngerepotin terus.”
“Sudah, ini kan juga rumah sendiri, ayo makan dulu, biar kuat.”ucap misna sembari menyodorkan piring berisi makanan kehadapan kedua wanita itu.
Suasana makan siang terasa tenang. Meskipun di dalam hati Lusi masih ada gelombang yang tak bisa di redam. Semakin ia coba mengabaikannya, semakin kuat pula bayangan wajah itu muncul.
Setelah selesai makan siang, Lusi dan Dela pun berangkat ke Mall. Sesampainya di mall, Dela langsung menuju ruang tenant. Sementara Lusi, ia memilih menunggu Dela di sebuah cafe di lantai dua. Lusi memilih posisi duduk disamping kaca mengilap yang menghadap ke arah taman dalam mall yang ramai tapi tetap terasa tenang.
Musik akustik mengalun pelan, aroma kopi bercampur kayu manis mengisi udara. Lusi duduk menunduk, matanya kosong menatap gelas yang belum ia sentuh. kepalanya terasa berat. Emosi, amarah, semua ribut menjadi satu yang memenuhi isi pikirannya.
Bahkan dirinya sendiri tidak tahu lagi harus marah kepada siapa. Pada Zean, pada dirinya, atau pun pada seorang gadis yang kini menyandang nama pria yang pernah mencintainya itu.
Lusi menarik nafas, matanya melihat kesekeliling mall, sampai pandangannya menajam.
Dari arah eskalator, dua perempuan turun perlahan. Salah satunya sedikit tinggi berambut kuncir. Yang satu lagi…
Lusi membeku. Itu dia.