Bagi Dira pernikahan adalah sebuah mimpi indah. Dira tak menyangka pria yang tiba-tiba mau menikahinya di hari pernikahan, disaat calon suaminya menghilang tanpa jejak, ternyata menyimpan dendam masa lalu yang membara.
Denzo tak menikahinya karena cinta melainkan untuk balas dendam.
Namun, Dira tidak tahu apa dosanya hingga setiap hari yang ia lalui bersama suaminya hanya penuh luka, tanya dan rahasia yang perlahan terungkap.
Dan bagaimana jika dalam kebencian Denzo, perlahan tumbuh perasaan yang tidak ia duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ars Asta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Suara jam dinding terdengar jelas di ruang kerja itu, berdetak pelan mengisi suasana dingin.
Ruang kerja Denzo didesain dengan gaya elegan dan modern, dinding berwarna abu gelap dan rak buku tinggi menjulang.
Dibalik meja besar itu, Denzo menyandarkan punggungnya, dengan pandangan tajam pada Sekretarisnya.
"Data yang saya dapat, Nona menjabat sebagai Manager di perusahaan Brata Corp, perusahaan Ayahnya." Sekretaris Rei menjelaskan semua yang dia dapat.
Denzo mengerutkan alisnya. "Manager?"
"Iya Tuan, dan informasi yang saya dapat Nona juga merahasiakan identitasnya sebagai putri Pak Brata," Lanjut Sekretaris Rei
"Kenapa dia melakukan itu?" Denzo menyentuh dagunya, lalu kembali menatap sekretaris Rei.
"Saya tidak mendapatkan informasi tentang itu Tuan," jawab Sekretaris Rei. Hanya itu informasi yang dia dapat.
"Kau yakin tidak melewatkan sesuatu?" tanya Denzo matanya menyipit tajam.
Sekretaris Rei menunduk lalu menggeleng. "Tidak Tuan, hanya itu informasi yang saya dapat."
Kenapa kau tidak bertanya saja pada Nona. Ini malah mencari informasi tentangnya diam-diam.
Sekretaris Rei melirik Denzo, ia melihat ekspresi nya terlihat tidak puas. "Saya akan mencari informasi lain Tuan."
"Hmm." Denzo melipat tangannya di dada.
"Ayolah Tuan, ini sudah malam saya juga perlu istirahat," gerutu Sekretaris Rei dalam hati, ia melirik jam tangannya.
"Kau boleh pulang," ucap Denzo.
Mendengar ucapan Tuannya Sekretaris Rei menarik sudut bibirnya.
"Baik Tuan. Kalau begitu saya pamit pulang." Sekretaris Rei menunduk singkat dan baru saja berbalik.
"Tunggu... "
Suara itu membuat langkah Sekretaris Rei berhenti.
"Aish apalagi," pikirnya dalam hati. Ia berbalik dan kembali melangkah mendekat.
"Ada apa Tuan?" tanya Rei, wajahnya terlihat sedikit muram.
"Saya ingin kau mengawasinya," perintah Denzo terdengar tegas.
"Mengawasi? Tuan ingin saya menugaskan seseorang untuk mengawasi nona?" Rei terlihat terbelalak.
Denzo mengangguk. " Iya. Ada apa kau tidak mau?"
"Saya mau Tuan," jawab sekretaris Rei cepat.
"Pulanglah." Denzo menggerakkan tangannya menyuruh Rei keluar.
"Baik Tuan." Sekretaris Rei kembali menunduk singkat dan berjalan keluar ruangan itu.
Dia menutup pintu dengan pelan. "Tuan memang aneh dan posesif." Ia menggelengkan kepalanya, berjalan cepat dan menuruni tangga ingin meninggalkan rumah itu segera sebelum Denzo memanggilnya kembali.
***
Dira terduduk di ranjangnya, memeluk bantal sambil menggenggam ponsel ditangan kanannya.
Bibirnya terangkat melengkung menampilkan senyum lebarnya, suaranya terdengar ceria saat bicara ditelpon.
"Aku kangen banget sama kak Bian," ucapnya dengan suara sedikit manja.
"Kakak juga kangen sama kamu Dir." Suaranya terdengar tulus dan penuh kerinduan.
"Lama banget 2 bulan lagi, kak Bian kok betah sih disana? Jangan-jangan punya pacar ya kak disana?" Dira memanyunkan bibirnya.
Terdengar suara tawa dari seberang telepon.
"Ih kok ketawa sih kak," kesal Dira.
"Maaf. Kakak ngga punya pacar dek, dan disini kan kakak kerja buat perusahaan."
"Kirain," timpal Dira.
"Sabar ya, kakak pasti pulang. Kamu jaga kesehatan ya."
"Siap kak, kakak juga jangan terlalu capek." pinta Dira.
"Iya dek. Yaudah kakak tutup dulu teleponnya, kakak mau lanjut kerja."
"Iya kak." Dira menyimpan ponselnya diatas kasur setelah panggilan itu terputus.
Wajahnya kini kembali muram setelah perbincangan hangat dengan kakaknya yang berada di luar negeri. "Mas Denzo pasti lagi kerja."
"Apa aku bikinin dia kopi ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Ia akhirnya berdiri dari kasur dan memilih ke dapur membuatkan Denzo kopi.
Di dapur masih ada beberapa pelayan, Bi nina juga langsung menghampiri Dira yang mendekat.
"Nona butuh sesuatu?" tanyanya sopan.
"Aku mau buat kopi buat mas Denzo," jawab Dira ia memasak air di kompor.
"Biar saya saja Nona yang buatkan." Bi Nina menawarkan Diri.
Dira menatap Bi Nina, tersenyum kecil. "Ngga usah Bi, aku bisa kok." ia menolak halus.
Dira mengambil Cangkir di lemari dapur. "Mas Denzo suka yang pahit kan Bi?" tanyanya.
Bi Nina mengangguk. "Iya Non."
"Oke aku mengerti." Cangkir itu kemudian ia aduk perlahan, aroma kopi menguar di dapur itu.
"Yaudah aku bawain mas Denzo dulu Bi." ucap Dira, ia membawa secangkir kopi itu. Berjalan pelan takut kesalahan kecil membuat kopinya tumpah.
Bi Nina tersenyum mengangguk menatap Nonanya.
Dira kini sampai di depan ruang kerja Denzo. Berdiri kaku di depan pintu, tangannya ragu untuk mengetuk tapi ia kembali melihat kopi di tangannya.
Ayo Dira, kamu cuma mau bawain Mas Denzo kopi.
Ia lalu mengetuk dua kali pintu itu dengan perasaan deg-degan.
sementara di dalam Denzo mengalihkan pandangannya dari laptop ke pintu. "Siapa itu?"