“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28. Gini aja, udah bahagia
Lampu kamar temaram, tirai sudah tertutup rapat. Di atas ranjang, Arman dan Widya berbaring dengan bersisian. Keduanya tidak langsung terlelap, hanya sama-sama menatap langit-langit yang redup oleh cahaya lampu.
“Capek?” suara Arman pelan, nyaris seperti bisikan.
“Nggak, biasa aja.” jawab Widya sambil menghela napas panjang.
Hening sebentar. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Arman melirik sekilas ke samping, memperhatikan wajah istrinya yang setengah menghadap ke arah lain.
“Aku kepikiran,” ucap Arman tiba-tiba.
Widya mengernyit. “Kepikiran apa?”
“Kita ini, menikah karena dijodohkan. Apa kamu pernah nyesel, Wid?” nada suara Arman terdengar tenang, tapi Widya yakin itu bukan hanya sekedar iseng.
Widya menoleh, menatap wajah Arman yang jaraknya hanya sejengkal. Ia terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Aku nggak pernah menyesal. Ya mungkin memang jalannya harus kayak gitu. Terdengar klise ya? Ya tapi memang seperti itu.” jawab Widya jujur.
Senyum kecil muncul di bibir Arman. Ia mendekat sedikit, cukup untuk meraih jemari Widya. Dan mereka langsung saling menggenggam.
“Aku juga, Wid. Meskipun pertamanya aku ngomong kayak orang mabuk, tapi setelah tinggal bersamamu, ternyata tidak buruk.” ujar Arman.
Arman lalu mengusap lembut rambut istrinya, setelahnya menunduk singkat untuk memberi kecupan di kening.
Widya menutup mata sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat.
Setelahnya ranjang bergetar halus saat Arman bergeser lebih mendekat.
Arman sudah melingkarkan tangan ke pinggang Widya. “Aku bolehkan, tidur sambil meluk kamu?” tanya Arman pelan sambil menatap lekat wajah Widya.
Widya diam. Degup jantungnya sendiri semakin keras.
“Kamu diam, berarti boleh.” Arman tersenyum kecil, lalu memeluk lebih erat. Bibirnya menyentuh rambut Widya, memberi kecupan singkat yang membuat gadis itu meremang.
“Mas, ih…” bisik Widya, wajahnya panas.
Arman terkekeh pelan. “Kita suami istri, Wid. Kakek udah minta cicit, masa kita cuma ngobrol doang?”
Widya menggeliat sedikit, mencoba lepas dari godaan suaminya, tapi Arman malah menahan dengan lembut.
“Kalau kamu terus kayak gini, aku bisa beneran nggak kuat, lho,” gumam Arman, setengah bercanda, setengah serius. Nafasnya terasa hangat menyapu kulit wajah Widya.
Widya menelan ludah. Tubuhnya kaku karena gugup. “Mas… jangan aneh-aneh…”
“Aneh gimana?” Arman memutar tubuhnya pelan, sampai mereka berhadapan. Pandangannya dalam, jemarinya mengusap pipi Widya yang merona. “Aku cuma pengen lebih dekat sama istriku.”
Widya menunduk, tidak sanggup menatap lama.
Arman tersenyum, lalu mencondongkan diri, mengecup pipi kanan Widya, singkat. Muah. Widya membeku.
Belum sempat Widya protes, Arman mencium pipi kirinya juga. Muah.
“Mas Arman…” suara Widya gemetar.
Arman menyeringai tipis, tapi matanya hangat. “Aku janji nggak macem-macem. Tapi kalau baru kayak gini aja kamu udah kaget, gimana nanti?”
Widya akhirnya refleks mendorong dada Arman, tapi dorongan itu lemah. Wajahnya makin merah. “Aku… malu.”
Arman tertawa pelan, lalu memeluk lagi, kali ini dari depan. “Nggak usah malu. Aku nggak akan buru-buru. Aku bisa sabar. Tapi jangan larang aku sayang sama kamu begini, ya.”
Widya akhirnya menyerah, diam tapi tidak menolak. Tangannya tanpa sadar ikut melingkar di punggung Arman, pelan sekali. Arman langsung terdiam, hatinya seperti tersengat.
“Wid…” bisik Arman nyaris tak terdengar.
Widya diam saja, karena dia malu, tapi membenamkan juha wajahnya di dada Arman.
*
*
Cahaya matahari menerobos tirai kamar, membuat suasana hangat. Setelah sarapan, Widya berdiri di dapur, tangannya sibuk mencuci piring di bawah aliran air.
Arman mendekat dengan langkah pelan. Matanya mengamati punggung istrinya yang masih terlihat canggung setelah semalaman saling berpelukan. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
Tanpa suara, Arman mendekat. Tiba-tiba kedua lengannya melingkar dari belakang, membuat Widya tersentak kecil.
“Mas… astaga!” Widya spontan melirik ke kanan-kiri, seakan takut akan ada yang bisa melihat mereka.
“Kenapa? Kan cuma ada aku sama kamu di rumah ini, Wid.” bisik Arman tepat di telinga Widya. Nafasnya hangat, membuat Widya menggigit bibir bawahnya sendiri.
“Mas, jangan ganggu. Aku lagi cuci piring.” Widya berusaha mengelak, tapi tangannya malah terlihat gemetar.
“Biarin. Piring nggak akan kabur. Kamu yang harus aku jaga biar nggak kabur.” Arman mengeratkan pelukannya sedikit, sambil mencium pipi Widya. Muah. Widya sampai merinding.
“Mas Arman jadi manja sekarang ini.”
“Nggak apa-apa, kan manja sama istri sendiri.” Arman menunduk, lalu meletakkan dagunya di bahu Widya.
Widya berhenti menggosok piring, wajahnya memerah hebat. “Mas…”
Arman masih tetap menempelkan dagunya di bahu Widya, menutup mata sejenak, menikmati kehangatan pagi itu. “Cuma gini aja, rasanya bahagia, Wid.”
“Iya, tapi nanti Mas Arman telat sampai ke kantor. Mau dimarahi sama bos? Udah sana berangkat
Arman mendesah, ia melepaskan pelukannya dengan tak rela. Tapi masih sempat juga ia kembali mencium pipi Widya sekilas. Muah.
Widya hanya bisa menggigit bibir bawahnya, lalu cepat-cepat menunduk menutupi wajahnya dengan bahu. Arman sudah kabur ke kamar sambil tertawa pelan, meninggalkan Widya yang memegang spons cuci piring tapi wajahnya semakin panas.
Lima belas menit kemudian Arman sudah rapi dengan kemeja kerjanya. Sepatunya mengkilap, rambutnya disisir rapi. Ia menenteng helm di tangan, berdiri sebentar di depan pintu.
Widya keluar dari dapur, mengelap tangannya dengan lap kecil. “Mas, hati-hati ya dijalan, jangan ngebut. Satu jam lagi aku baru berangkat. Asdos tadi udah kirim pesan di grup, dosen ke rumah sakit sebentar baru ke kelas.” ucap Widya lembut. Wajahnya masih terlihat merona.
Arman tidak langsung menjawab. Ia menaruh helm di kursi, lalu melangkah mendekat. Tatapannya penuh arti, membuat Widya langsung gugup.
“Kenapa liatin aku kayak gitu?” tanya Widya lirih.
“Karena aku masih nggak percaya… akhirnya rumah tangga mita seperti ini.” Arman tersenyum tipis, lalu tiba-tiba menarik Widya ke pelukannya, kali ini dari depan.
Widya terkejut, kedua tangannya otomatis menahan dada Arman, tapi tidak benar-benar mendorong.
“Mas…” bisiknya pelan.
Arman menunduk sedikit. Hanya sekilas, bibirnya menyentuh bibir Widya. Muah.
Widya langsung menutup mata, jantungnya berdegup kencang. Begitu Arman mundur, ia buru-buru menunduk sambil menggigit bibirnya sendiri, wajahnya merah padam.
“Bekal aku untuk hari ini.” ucap Arman sambil tersenyum. Setelahnya Arman tertawa kecil melihat reaksi istrinya. “Jangan kaku gitu, nanti aku makin gemes.”
“Mas Arman!” Widya mencubit pelan lengan suaminya, tapi matanya sama sekali tidak berani menatap.
Arman meraih helmnya, lalu berbisik pelan sebelum keluar, “Nanti sore aku pulang cepat. Tunggu aku ya, pacar.” pamit dengan senyum lebar, sementara Widya hanya berdiri di ambang pintu, memegangi dadanya yang masih berdebar tak karuan.
Setelah Arman pergi dengan motornya, Widya menyentuh bibirnya. Ia merasa, bibir Arman seperti tertinggal disana.
---