NovelToon NovelToon
Belenggu Madu Pilihan Istri Ku

Belenggu Madu Pilihan Istri Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Nikah Kontrak / Penyesalan Suami / Dokter / Menikah Karena Anak
Popularitas:16.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nuna Nellys

"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.

_______

Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.

Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.

Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Ber-sembunyi balik kata khilaf

...0o0__0o0...

...Malam ini jadwal, giliran Langit tidur di kamar Jingga. Seharusnya....

...Jingga bahkan sudah menata kamar rapi sejak magrib, menyiapkan teh hangat kesukaan Langit, dan mengenakan gamis lembut warna krem yang selalu Langit bilang menenangkan....

...Namun, waktu terus berjalan....

...Jarum jam sudah melewati pukul sepuluh malam — dan langkah kaki yang di tunggu-tunggu itu belum juga terdengar....

...Jingga duduk di tepi ranjang, menunduk, berusaha menepis cemas yang tumbuh di dadanya....

..."Mungkin Kak Langit sedang bicara dengan Umi dulu... atau membantu pekerjaan Aba," gumamnya pelan, mencoba menghibur diri sendiri....

...Tapi, di sisi lain kamar, suasana berbeda jauh....

...Langit baru saja ingin beranjak ke kamar Jingga, namun tangan Nesya menahan lengan-nya....

...“Jangan pergi dulu, Abi” ucap Nesya lirih, tapi matanya menatap dalam, penuh permohonan yang sulit di abaikan....

...Langit terdiam sejenak. “Nesya, malam ini—”...

...“Aku tahu,” potong Nesya cepat, “malam ini jadwal Abi bersama Jingga. Tapi... bisakah untuk kali ini saja, kamu tetap di sini ?” Nada suaranya bergetar, antara rindu dan takut kehilangan....

...Langit menghela napas. Ia tahu sejak Jingga datang, hati Nesya sering berperang antara marah dan cemburu....

...Dan malam itu, wajah Nesya terlihat begitu rapuh hingga sulit bagi Langit untuk menolak....

...“Baiklah,” katanya pelan....

...Senyum kecil muncul di wajah Nesya — senyum yang samar, tapi penuh lega....

...Malam pun berjalan dalam keheningan yang hanya diisi percakapan lembut, kenangan masa lalu, dan gelora panas yang tak terbendung. ...

...Mereka berdua sibuk memadu kasih dan berbagi peluh kehangatan, bahkan sampai lupa waktu....

...Langit tak menyadari waktu berjalan begitu cepat — dan keputusannya malam itu akan melukai hati istrinya yang lain....

...0o0__0o0...

...Pagi menjelang....

...Jingga bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Langit. Meskipun semalam suami'nya tidak datang. Senyum manis masih menghiasi wajahnya....

...Tapi perlahan senyum itu luntur. Di gantikan oleh raut wajah kecewa.. langkah Langit tak pernah datang ke arahnya....

...Hatinya tercekat....

...Dengan langkah perlahan, Jingga berjalan menuju kamar Nesya....

...Pintu itu sedikit terbuka — cukup bagi Jingga melihat sekilas bayangan dua orang di dalam. Langit tertidur di sisi Nesya. Wajah keduanya terlihat damai....

...Seketika, dunia Jingga runtuh tanpa suara....

...Tangannya menutup mulutnya sendiri, menahan isak yang nyaris pecah. Air mata jatuh, meski ia berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara....

...Jingga berbalik, meninggalkan tempat itu dengan langkah gemetar. Dalam hatinya, satu kalimat berputar terus-menerus....

..."Ternyata, aku memang hanya menumpang di hati yang sudah penuh..."...

...0o0__0o0...

...Langit membuka matanya perlahan....

...Fajar belum menyingsing, tapi sinar lampu kamar redup menerangi wajah Nesya yang tertidur di pelukannya....

...Langit menatapnya lama — ada kehangatan di sana, tapi juga rasa bersalah yang menyesakkan dada....

..."Astaghfirullah..." bisiknya pelan, menunduk dalam penyesalan. Ia sadar, tadi malam ia kalah oleh perasaan iba dan hasrat....

...Langit tahu itu bukan sekadar hak seorang istri pertama, tapi juga ujian bagi dirinya — apakah ia mampu berlaku adil seperti yang di ajarkan ayahnya, atau justru tergelincir oleh kenikmatan sesaat....

...Dengan hati-hati, Langit bangkit dari tempat tidur, menatap Nesya yang kini terlelap tenang. Ia menyelimuti bahu istrinya yang terekspos, kemudian beranjak pelan menuju kamar sebelah, setelah memakai pakaiannya dengan rapi....

...Langkahnya berat....

...Setiap derap terasa seperti mengetuk hatinya sendiri yang berdebar dengan rasa bersalah....

...Sesampainya di depan pintu kamar Jingga, Langit ragu. Ia tahu pintu itu tak sekadar kayu, tapi juga jarak batin yang ia buat sendiri malam tadi....

...Perlahan Langit ketuk....

...Tok..! Tok..!...

...Tak ada jawaban....

...TOK..! TOK..!...

...Langit ketuk lagi, sedikit lebih keras....

...Beberapa detik kemudian, pintu terbuka....

...Ceklek..!...

...Jingga berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, matanya sembab, dan bibirnya bergetar menahan emosi....

...“Sudah puas, kak ?” Suaranya pelan tapi dingin, menusuk seperti sembilu....

...Langit terdiam....

...“Jingga, aku bisa jelaskan—”...

...“Tidak perlu,” potong Jingga cepat. “Aku sudah cukup melihat.”...

...Langit menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dengarkan aku dulu. Nesya tadi malam sedang rapuh. Aku hanya berusaha menenangkannya, dan—”...

...“Dan akhirnya kamu menemaninya sampai pagi ?” Nada Jingga meninggi, matanya berair....

...“Kak Langit, aku bukan anak kecil. Aku tahu kamu punya kewajiban untuk adil. Tapi malam tadi... aku menunggu. Sampai lampu kamar ini padam. Aku bahkan takut tertidur karena berharap kamu datang.”...

...Langit menunduk, rasa bersalahnya menekan dada. “Aku khilaf,” ucapnya lirih. “Aku tahu, seharusnya aku tidak menunda giliran ku dengan mu tanpa izinmu. Itu zalim, Jingga. Dan aku menyesal.”...

...“Menyesal ?” Jingga tersenyum getir. “Kamu selalu bilang paham agama, Kak. Tapi kenapa selalu aku yang harus mengalah dengan alasan khilaf ?”...

...Langit mengangkat wajahnya, menatap Jingga dalam diam....

...Ada luka yang dalam di mata gadis itu — luka yang tidak disebabkan oleh pertengkaran, tapi oleh ketidakadilan yang ia rasakan....

...“Aku akan minta maaf dengan cara yang benar,” ucap Langit mantap. “Karena aku tahu, dalam agama, menenangkan satu hati dengan melukai hati lain bukanlah keadilan, tapi dosa yang harus ku tebus.”...

...Air mata Jingga menetes tanpa suara....

...“Kalau begitu, jangan bicara dulu tentang menenangkan hati siapa pun, Kak. Tenangkan hatimu sendiri dulu. Karena yang aku lihat... kamu sedang kehilangan arah.”...

...Langit terdiam. ...

...Ia masih berdiri di depan pintu, wajahnya tertunduk, suaranya berat oleh rasa bersalah....

...“Aku khilaf, Jingga. Aku tahu aku salah. Tapi demi Allah, aku tidak berniat menyakiti mu.”...

...Kata itu lagi....

...Khilaf....

...Satu kata yang selama ini seolah jadi tameng bagi setiap luka yang Langit buat....

...Jingga menatapnya lama, matanya merah tapi tatapannya tajam — bukan karena amarah semata, tapi karena kecewa yang menumpuk terlalu lama....

...“Khilaf ?” suaranya bergetar, namun nada bicaranya tegas. “Kata itu selalu keluar dari mulut mu setiap kali kamu menyakiti aku, Kak. Selalu.”...

...Langit membuka mulut, tapi Jingga tak memberi ruang untuk menjawab. Ia melangkah mendekat, hingga jarak di antara mereka hanya sejengkal....

...“Kamu bilang paham agama, kamu sering menasihatiku tentang sabar, tentang ikhlas, tentang ridha...”...

...Jingga tertawa getir, air matanya menetes di sela tawanya....

...“Tapi kamu lupa, Kak. Istri juga punya batas sabar. Aku bukan malaikat. Aku perempuan yang kau minta untuk mencintai mu, tapi kau biarkan menunggu di kamar sendirian... sementara kamu sibuk menenangkan kak Nesya di peluk mu.”...

...Langit mengangkat wajahnya, menatap Jingga dengan mata yang mulai basah....

...“Jingga, aku sungguh menyesal...”...

...“Cukup!” potong Jingga lantang. Suaranya memecah kesunyian. “Berhenti bilang menyesal! Berhenti bersembunyi di balik kata khilaf!”...

...Jingga memukul dadanya sendiri pelan, menahan sesak....

...“Kamu tahu rasanya seperti apa, Kak ? Setiap malam aku berdoa supaya hatiku kuat. Supaya aku bisa menerima hidup ini tanpa iri, tanpa benci. Tapi ternyata yang paling sulit bukan bersabar terhadap kak Nesya... tapi terhadap diri mu. Suamiku sendiri.”...

...Langit terdiam, wajahnya kaku menahan rasa bersalah yang menyesakkan....

...Jingga melangkah mundur, menatapnya dengan mata yang masih bergetar....

...“Aku sudah muak, Kak... muak melihat kamu selalu menutupi keinginan mu dengan kata kasihan, menutupi nafsumu dengan kata rapuh, dan menutupi kesalahmu dengan kata khilaf.”...

...Langit terpejam, menunduk dalam-dalam....

...“Kalau malam itu kamu memilih menenangkan kak Nesya, sekarang biarkan aku menenangkan diriku sendiri,” ucap Jingga lirih, tapi tegas....

...Ia memutar kenop pintu, dan menatap Langit untuk terakhir kalinya....

...“Kali ini, jangan ketuk pintuku lagi sampai kamu benar-benar tahu apa artinya adil. Bukan karena kamu ingin menenangkan hati orang lain, tapi karena kamu sudah bisa berlaku jujur dengan hatimu sendiri.” ...

...Brak..!...

...Pintu tertutup perlahan....

...Langit berdiri di luar, menatap pintu itu seperti menatap cermin kesalahan-nya sendiri....

...Sementara di balik pintu, Jingga menekuk lutut, menutup wajahnya dengan kedua tangan....

...Tangisnya pecah — bukan lagi tangis karena cinta, tapi karena muak mencintai seseorang yang terus menyakiti dengan alasan suci....

...0o0__0o0...

...Pintu kamar Jingga tertutup rapat, tapi gema suara Jingga masih berputar di kepala Langit. Kata “muak” itu menancap lebih dalam daripada pisau mana pun....

...Langit berdiri mematung....

...Udara pagi yang seharusnya menenangkan terasa dingin dan menyesakkan. Tangannya mengepal, matanya menunduk dalam, dan napasnya tersengal oleh penyesalan....

...“Ya Allah...” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar....

...“Aku telah menzalimi perempuan yang ku serahkan amanahnya di hadapan-Mu.”...

...Setiap hembusan napasnya terasa seperti penebus yang sia-sia....

...Dalam benaknya, kalimat nasehat ayahnya menggema. “Nak, keadilan bukan hanya soal membagi giliran. Tapi menjaga agar tak ada satu hati pun yang terluka karena pilihan mu.”...

...Langit menegakkan tubuhnya, mengusap wajahnya dengan tangan bergetar. “Dan aku gagal, Aba...” bisiknya parau. “Aku gagal menjaga hati Jingga, dan aku gagal menahan diri dari rasa kasihan dan hawa nafsu .”...

...Hening lama menyelimuti ruangan itu. Hanya terdengar desahan napas, lirih dan berat....

...Namun, di balik dinding samping, ada seseorang yang menyaksikan segalanya dengan mata yang berbeda....

...Nesya berdiri di balik pintu kamarnya, tubuhnya bersandar ringan pada kusen kayu. ...

...Ia telah mendengar semuanya — suara Jingga yang bergetar, kata-kata pedih yang keluar dengan penuh luka, dan suara Langit yang tertunduk pasrah....

...Sudut bibirnya terangkat sedikit. Bukan tawa, bukan senyum lebar... hanya seulas lengkungan kecil — antara lega dan kepuasan tersembunyi....

...Nesya berbisik pelan pada dirinya sendiri. “Begitulah, Jingga... kamu pikir semudah itu merebut hati seorang suami yang bertahun-tahun hidup bersama ku ?”...

...Nesya menatap arah suami'nya, tempat Langit kini masih berdiri terpaku di depan pintu kamar Jingga. Ada sinar aneh di matanya — campuran antara cinta, rasa menang, dan keangkuhan yang selama ini ia sembunyikan di balik air mata pura-pura....

...“Aku sudah bilang, Abi... hatimu itu milikku,” gumamnya lirih. “Dan aku tahu, setiap kali kamu merasa bersalah padaku, kamu akan kembali padaku.”...

...Nesya menutup pintu kamar perlahan, seolah tak ingin ada yang tahu bahwa diam-diam ia bahagia di atas luka orang lain. Luka yang sengaja ia ciptakan....

...Namun, jauh di dalam dirinya sendiri, bahkan Nesya tahu — kebahagiaan yang lahir dari air mata orang lain tak akan bertahan lama. ...

...Dan hari itu, tanpa sadar, Nesya baru menanam benih kehancuran baru di dalam rumah yang mereka sebut rumah tangga syar’i....

...0o0__0o0...

1
Meimei Meongst
akhirnya cerai juga 🤭🤭🤭🤭
Meimei Meongst
lanjutkan💪
Meimei Meongst
jingga spek bidadari dibandingkan dengan Nesya spek lampir. 🤣🤣🤣
Meimei Meongst
sabar jingga💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪
jigong Majong
nyahok lo nesya. lagian udah dapat suami bonus mertua baik...masih aja bertingkah lo. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Sunaryati
Itu akibat sikap keras kepala kamu yang memaksa Langit beristri lagi padahal sudah menolak. Setelah Langit dan Jingga melaksanakan kewajiban sebagai suami istri kamu jadi sakit hati dan bertindak anarkhis, pada Jingga Sebenarnya disayangkan kamu tersingkir. Mungkin jodohmu dengan Langit hanya sampai segitu Nesy.
Lana Ngaceng
pada akhirnya Nesya yang terdepak dari rumah tangganya sendiri dan Sekarang hidup jingga aman damai sentosa 😄😄😄😄
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
nyimak🤭🤭🤭🤭
Meimei Meongst
lanjutkan thor💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
lanjutkan💪💪💪
Meimei Meongst
💪💪💪💪
Meimei Meongst
lanjutkan💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
lanjutkan💪💪💪
Meimei Meongst
,lanjutkan💪💪💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!