NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bantuin Move On

Rencana mengunjungi air terjun, gagal total. Dari dini hari hingga saat ini, hujan masih turun dengan derasnya. Selain itu jalanan menuju tempat itu, pastinya akan sangat licin dan berbahaya.

Alhasil, usai subuh Sandi memilih bergelung di bawah selimut tebal. Dia bermain permainan pada ponselnya, yang sudah seminggu ini tak sempat dimainkan.

Sementara Ari sedang berkutat di balik kompor listrik. Lelaki itu sedang membuat sarapan.

Sesekali Ari melirik ke arah ruang tamu, dan tersenyum kecil melihat tingkah partner liburannya yang membungkus diri ala kepompong. "Ngaku orang Malang, tapi cuaca begini aja. Udah nyerah." Cibirnya.

"Aku udah lima tahun menetap di Surabaya Mas, jadi udah biasa panas-panasan." Sandi berkilah. "Pulang kalau akhir pekan abis gajian sama lebaran doang." Sambungnya sambil menggerutu.

"Halah ... Ngeles aja kamu."

Sandi mengomel pelan di balik selimut, mendadak dia kesal pada sosok lelaki yang kini sedang berjalan kearahnya.

"Sarapan dulu sini, mumpung masih hangat." Dua mangkuk dengan asap masih mengepul tersaji di meja dekat posisi Sandi berbaring.

Di ruang tamu, hanya ada karpet tebal dan meja kayu kecil. Tak ada sofa atau kursi. Rumah bambu ini tak banyak perabot, tapi cukup lengkap. Karena ada pemanas ruangan di dua kamar.

Sandi bangkit lalu duduk bersila tanpa melepas selimut, dia hanya menurunkannya hingga pinggang.

"Waktu di Bromo, Mas Ari nginep berdua sama Mbak Mia ya?" Tanya Sandi di sela-sela menikmati hidangan berkuah buatan Ari.

Ari menggeleng, "Nggak, ada adiknya Gita yang datang dari Jogja."

"Masa?"

Ari meletakan mangkuk pada nampan, dia bangkit dan melangkah menuju dapur. Guna mengambil tisu dan kembali lagi ke tempat semula. "Kamu kalau makan kayak anak kecil, belepotan." Dia menyodorkan tisu padanya.

Sontak wajah Sandi memerah, dia malu. Walau apa yang diucapkan Ari memang benar adanya, tapi hanya untuk makanan tertentu. Misal berkuah.

Ari melanjutkan makannya, "Aku kalau pergi jalan sama Mia. Nggak hanya berdua, biasanya ada Angga atau Dita."

"Siapa lagi Dita?" Tanya Sandi penasaran.

"Emmm ... Dita itu temen deketnya Gita dan Mia, tapi beda kerjaan. Kalau nggak salah suaminya itu teman dekat suaminya Gita dan Mia. Kalau nggak salah namanya Niko."

Sandi mengernyit bingung. "Nggak tau aku mas, siapa lagi itu Niko?"

"Ya anggap aja kamu tau lah. Yang jelas aku jarang jalan berdua aja sama Mia."

"Waktu di taman kota itu."

"Kecuali itu."

"Sama aja itu mas, aku pikir kamu yang jadi pacarnya mbak Mia. Tapi tiba-tiba Pak Jaka ngundang kami buat ke acara nikahannya." Sandi ingat saat sekertaris CEO tempatnya bekerja, mengatakan akan mengundang seluruh staf keuangan pabrik. Ketika menikah dengan Mia.

"Yah ... Mereka bertiga memusuhi aku, karena menganggap aku akan merebut pasangan mereka. Padahal aku hanya menganggap sebagai adik perempuan ku saja, nggak lebih."

"Padahal pasangan kamu yang direbut, ya Mas? Sadis emang orang-orang." Sandi tertawa. "Masih sakit hati nggak, mas?"

Ari menaikan bahunya. "Entahlah, aku sedang berusaha berdamai dan menerima keadaan."

"Kalau misalnya Mas Ari ketemu sama mantan dan pasangan baru, apa yang akan mas Ari lakukan?" Tanya Sandi penasaran.

"Menurut kamu, aku harus apa?" Tanya Ari balik, sambil menaruh mangkuknya. "Kamu mengalami hal yang sama kayak aku, kan?"

"Karena aku masih baru, aku rasanya ingin menampar pipi mantanku dan mengata-ngatai pasangannya sekarang. Tapi nyatanya aku malah memilih kabur kesini." Katanya. "Kok jadi aku, kamu lah mas. Kamu udah mengalami duluan."

"Kamu lucu banget sih, gemes aku." Andai tak ingat batasan, mungkin Ari sudah mencubit pipi gadis dengan sebelah pipi menggembung karena berisi makanan.

"Aku bukan boneka," Sandi membantah. "Ayo jawab, aku penasaran." Desaknya.

"Tidak ada yang akan aku lakukan, aku hanya akan diam atau kalau bisa tetap menyapa. Meskipun rasanya masih sakit sekali, tapi ya sudahlah. Itu sudah berlalu."

"Wah ... Legowo sekali kamu, mas! Hebat!!" Sandi meletakkan mangkuknya dan bertepuk tangan.

Ari menghabiskan makanan di mangkuknya, dan mengakhiri dengan meminum air dari dalam gelas yang tinggal tersisa setengah.

"Tapi aku salut sama kamu, bisa dengan gampang membenci mantan. Sementara aku, malah susah buat benci. Aku kayak pecundang." Ari mengakui.

"Itu karena aku nggak sepenuh hati suka sama mantan, karena dia ngejar duluan. Ya udah aku terima, dari pada malam Minggu cuma bengong di rumah."

"Kamu serius nggak suka sama dia? Tapi kenapa mau sampai tunangan?" Sandi telah menceritakan kisahnya, saat dalam perjalanan menuju ke sini.

"Kan aku bilang, aku cuma nggak mau bengong kayak orang bodoh kalau hari libur."

"Lalu siapa laki-laki yang kamu sukai?"

"Ka ..." Begitu tersadar, Sandi langsung bungkam. Dia mempercepat menghabiskan makanannya, jangan sampai Ari mengetahui isi hatinya.

"KA itu siapa?" Ari menatap ke arahnya, tatapan penasaran.

Sandi menaruh mangkuk kosong di nampan, dia melepas selimut yang melilit pinggang. "Biar aku yang bawa ke dapur." Dia bangkit lalu melangkah menuju dapur.

"Jawab dulu, malah kabur." Seru Ari.

Sandi tak menjawab, dia bungkam. Mungkin untuk saat ini, biarlah seperti sekarang saja. Ari nyaman padanya sebagai teman berbincang, sambil berharap cintanya terbalas. Suatu saat nanti.

"Aku yang cuci piring aja, air di wastafel nggak pakai air hangat. Pasti dingin banget loh!"

Terlambat, Sandi sudah terlanjur menyalakan kran air pada kitchen sink. Dia terkejut dengan air yang dinginnya seperti es.

Ari tertawa kencang, dari tempatnya duduk hingga dapur. Dia bisa melihat ekspresi terkejut dari gadis yang menggunakan sweater-nya, sejak semalam.

"Nggak usah ketawa, nggak ada yang lucu." Sandi memanyunkan bibirnya, dia kesal diledek.

Ari bangkit menghampirinya, dia berdiri tepat di sebelahnya. "Makanya jangan kabur, kualat sama yang lebih tua." Ujarnya. "Udah sana selimutan lagi, entar kalau kamu hipotermia. Aku yang repot." Usirnya.

"Kamu itu umuran Mbak Mia, kan?" Sandi tidak kembali ke tempatnya, dia memilih bersandar pada dinding dekat lemari pendingin.

"Hmm ... Cuma aku lahir awal tahun."

Ari hanya mengenakan kaus tanpa lengan, yang memperlihatkan lengannya yang berotot. Sandi baru menyadarinya, "Kamu nggak tua-tua amat berarti."

"Emang aku keliatan tua, ya?" Tanya Ari, dia telah selesai mencuci piring dan sendok.

"Ya nggak sih, masih ganteng kok! Cuman sayang aja ..." Sandi melangkah ke arah ruang tamu.

"Sayang apanya?" Ari mengikuti.

Sandi kembali membungkus tubuhnya dengan selimut, namun kali ini tidak berbaring. Dia duduk bersandar di dinding bambu. "Sayangnya ditinggal nikah." Dia sedikit melirik ke arah lelaki itu, takut-takut kalau tersinggung.

"Kayak kamu nggak aja, kita itu senasib. Bedanya kamu pemberani karena bisa langsung benci, sementara aku malah jadi pecundang." Ari tersenyum kecut.

Hening hingga beberapa saat, keduanya sibuk dengan isi pikirannya masing-masing.

"Bingung ya, mau ngapain? Tumbenan hujan nggak berhenti-henti." Ari duduk di sebelahnya, jarak mereka mungkin sekitar setengah meter.

"Aku malah suka suasana kayak gini, mas! Cocok buat leyeh-leyeh." Sandi mengeratkan selimutnya. "Kalau kamu kedinginan, mau aku balikin sweater kamu?" Tanyanya. Dia melihat pria di sampingnya mengusap lengan yang tak tertutup apapun.

"Nggak usah, buat kamu aja. Kamu lebih butuh." Ari menolak.

"Atau mau selimutan aja." Sandi membuka selimutnya dan menyerahkan ujungnya pada Ari. Tapi tunggu sepertinya ada yang salah. Dia mendelik begitu lelaki itu menerimanya.

"Kamu itu ceroboh, bisa-bisanya aku ditawari satu selimut bareng kamu."

Sandi tak mungkin menarik kata-katanya. "Kamu juga sering begini sama mbak Mia, kan?" Walau grogi, Dia berusaha berkilah.

Kini lengan mereka menempel, hanya dihalangi sweater biru tua milik Ari. "Aku nggak pernah berdua di tempat sepi dengan Mia." Ari membantah. "Ini pertama kalinya aku sedekat ini sama perempuan selain mantanku."

Apa yang terjadi pada jantung Sandi saat ini?

Tentu saja detakan nya tak normal. Tak ingin Ari mendengarnya, Sandi memilih bangkit. "Aku ke kamar aja deh."

Ari menahan tangannya. "Sini aja, kamu nggak usah khawatir. Aku nggak akan kurang ajar."

Sandi kembali duduk dan kini tangan Ari bertengger di pundaknya. Dengan kata lain, dirinya sedang dirangkul. "Kamu nggak ada keinginan buat bantu aku move on, gitu? Begitu juga kamu, apa kamu tidak ingin melupakan mantan kamu juga?"

Sandi melebarkan matanya, dia menoleh cepat. Namun dia justru mendapati Ari sudah menyandarkan kepala di pundaknya. "Maaf, aku bukannya ingin memanfaatkan kamu. Tapi karena kita senasib, kenapa tidak mencoba saling menyembuhkan?"

"Mas ..."

"Hmmmmm ..."

"Kamu lagi bercanda, ya?" Tanya Sandi. "Luka ku belum sembuh, bisa-bisanya malah ditawari luka lagi."

Ari yang semula bersandar, kini menegakkan kepalanya. "Siapa yang menawari luka? Aku cuma minta kita saling menyembuhkan."

"Kenapa mesti aku? Kenapa dulu nggak sama Mbak Gita atau Mbak Dita ataupun Mbak Mia?"

"Aku anggap mereka adik perempuan ku, nggak lebih."

"Apa alasan spesifiknya?"

"Kamu lucu, gemesin dan semua ekspresi kamu bikin aku bisa tertawa lepas. Jujur kamu jauh berbeda dengan mantan ku, dan perempuan yang pernah dekat denganku. Mungkin saja dengan kamu aku bisa move on."

"Jadi aku semacam kelinci percobaan, begitu?" Sandi menatap Ari, kecewa.

Ari menggeleng kencang, "Mana ada aku kayak gitu. Aku nggak niat buat menyakiti kamu, aku hanya ingin meminta bantuan. Toh kamu juga diuntungkan, bukan? Kamu bisa melupakan mantan dengan menjalin hubungan yang baru."

"Tapi aku bisa aja beneran suka kamu, tapi ternyata kamu nggak membalas perasaan ku. Aku bisa patah hati lagi, aku nggak mau." Tolaknya mentah-mentah.

Ari terdiam, dia menundukkan kepalanya. Mungkin merasa bersalah, sepertinya Ari baru menyadari dirinya egois di sini. "Ya udah deh, nggak usah." Gumamnya pelan.

"Mas Ari marah, ya?" Sandi mendadak cemas, sejujurnya dari kemarin. Dia merasa bahagia akan kebersamaan mereka.

Ari menoleh, menatap gadis yang baru dia sadari memiliki tahi lalat kecil di bawah mata kiri. "Kamu lucu, aku suka." Katanya dengan suara beratnya.

"Padahal nggak pernah ada yang ngatain aku lucu, mungkin waktu masih bayi iya. Tapi mantanku malah bilang kalau aku kaku dan ngebosenin." Sandi tersenyum miris, kata-kata mantannya terngiang-ngiang dalam benaknya.

"Kaku gimana? Luwes gini, ngomong juga nyambung." Ari menyangga sebelah tangan dengan telapak tangannya. Posisi duduknya bersila sehingga sikunya dipijak pada pahanya.

"Karena aku kolot, pegangan tangan aja nggak mau. Tapi aku tau itu hanya alasan. Dia berpacaran dengan ku, karena ingin mendekati adikku. Jahat kan? Udah gitu, semua orang menyalahkan aku. Termasuk kedua orang tuaku."

Ari menegakkan punggungnya, kini posisi duduknya menghadap gadis yang men-cepol rambut tinggi-tinggi. "Kok bisa malah disalahin, kan di sini kamu korban."

Sandi menaikan bahunya, "Ga ngerti aku. Aku aja masih bingung. Dan dua Minggu lagi mereka akan menikah, karena adikku sudah hamil."

Ari tercengang mendengar pengakuan itu, ternyata ada yang lebih miris kisah cintanya. "Mau peluk, nggak? Atau kamu mau nangis juga boleh." Dia merentangkan tangannya.

Sandi menggeleng, "nggak mau. Entar aku baper, kamu mau tanggung jawab?"

Tanpa menunggu persetujuan, Ari merengkuh tubuh Sandi. Lalu setelahnya hanya terdengar suara hujan, katak, serangga dan tangisan Sandi.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
nabila anjani: Ka up lagi dong
Mareeta: tapi yang subscribe cuma 5 orang 😔
jelek kali ya cerita ini?
total 2 replies
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!