NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Aku Calon Suaminya!

"Lama amat nyampe'nya, Man. Perasaan dulu nggak selama ini deh"

Armand tak bergeming.

Pikirannya yang dipenuhi dengan isi pesan yang dikirimkan oleh Lala membuat Armand sedari tadi mengabaikan keberadaan Fandy. Fokusnya hanya mengarah lurus ke depan karena tak ingin sampai terjadi apa-apa dalam perjalanan mereka hingga membuatnya tak bisa tiba tepat waktu ke rumah ibunya.

Ya, Fandy. Sahabat Armand yang mempunyai gaya yang bikin pusing itu entah mengapa malah ngotot ingin ikut setelah mendengar Armand ingin pulang.

Biasanya Fandy bukan tipe orang yang suka melakukan sesuatu secara mendadak. Tapi, begitu mendengar cerita dari Daffa, jika Armand ingin pulang kembali ke desa demi 'menyelamatkan sang putri', si menyebalkan satu itu ngotot minta diajak. Bukan hanya sekedar mengekori dari sejak Armand memasukan beberapa pakaiannya ke dalam tas bahkan Fandy juga sampai menghalangi saat Armand hendak masuk ke dalam mobil.

Armand tak memiliki pilihan lain. Dengan terpaksa ia membiarkan Fandy turut masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.

Segala ocehan Fandy sedari tadi dianggapnya hanya angin lalu. Armand malas menanggapi.

"Aku kalau nggak nelpon si Daffa tadi, mana tau kalau kau bakalan pulang secepat ini. Mana belum seminggu lagi." Fandy terus mengoceh. Tak peduli jika ocehannya belum pernah ditanggapi oleh Armand sekalipun semenjak puluhan menita yang lalu. "Mana kata si Daffa, kau pulang karena mau menyelamatkan seorang perempuan pula. Makin penasaran 'kan aku jadinya."

Kebisuan Armand tak terusik. Pria yang tak ingin konsentrasinya dalam menyetir itu buyar membiarkan saja sahabatnya itu mengoceh semaunya.

"Tapi, Man, emang benaran ya, gadis yang kau sukai itu masih bocah? Berapa umurnya sih? Soalnya si duda sama bujang karatan itu nggak mau ngasih informasi yang lebih waktu aku tanya soal gebetanmu."

Lagi-lagi Armand diam membisu. Pikirnya, jika sekali saja ia menjawab ataupun menimpali apa yang Fandy katakan, takutnya pria yang paling luang waktunya itu akan semakin mencercahnya dengan berbagai macam pertanyaan.

"Ya elah, Man, dari tadi aku berasa ngomong sama tembok." Fandy akhirnya merasa kesal sendiri. Pria yang memiliki beberapa showroom besar yang menjual mobil mewah itu mendengus seraya menghempaskan punggungnya ke sandaran jok yang ia duduki. "Bagi-bagi dikit napa, Man, soal cemceman barumu itu. Jangan cuma sama si Faris sama Daffa aja yang bisa dapat bocoran darimu. Biar ember begini, aku ini juga temanmu. Ingat waktu pas awal nenek lampir itu ketahuan selingkuh, aku duluan 'kan yang ngasih tau padamu. Aku juga selalu nyempatin waktu nemanin waktu sidang cerai kalian. Jadi, jangan kayak kacang lupa sama kulitnya do... "

"Umurnya baru 17 tahun." Armand memotong malas perkataan Fandy yang kalau dibiarkan panjangnya bisa lebih panjang dari rel kereta api. "Dia udah dianggap seperti cucu sendiri oleh ibuku." imbuhnya dengan ekspresi kesal yang tak disembunyikan.

Armand tahu jika menceritakan mengenai siapa gadis yang saat ini memenuhi hatinya, pasti Fandy akan memiliki alasan lainnya.

Pikiran Armand itu terbukti. Melalui sudut matanya, Armand melihat Fandy menaik turunkan kedua alisnya serta senyum geli juga terpatri di bibir si menyebalkan namun sangat setia kawan itu.

Fandy terkikik geli.

Belum pernah seumur hidupnya ia menemukan kisah percintaan yang menurutnya sangat unik ini.

Bayangkan, usia sahabatnya itu sudah menginjak 40 tahun, sedangkan gadis yang ditaksirnya baru menginjak usia 17 tahun. Perbedaan usia diantara kedua orang itu entah mengapa membuat Fandy merasa lucu dan ingin terus menggoda sahabatnya.

'Bedanya 23 tahun'

"WOWW... " Fandy berseru. Ia bahkan mengubah posisi duduknya menjadi menyamping ke arah Armand dan menatap sang sahabat yang tampak sangat gelisah memandangi jalanan di depan mereka. "Beda umur kalian 23 tahun, Man. Yakin itu benaran cinta? Atau kau hanya terpesona sesaat aja. Atau bisa aja itu karena reaksi dari 'burungmu' yang cuma pengen masuk 'kandang' sebentar doang. Kasian loh, Man, gadis polos begitu kalau hanya dijadikan sebagai pelampiasan. Kalau udah emang nggak bisa nahan, mending aku kenalin aja sama beberapa perempuan kenalanku. Aku jamin deh, kau bisa ngosongin isi 'senjatamu' itu sepuasnya. Pakai berapa kali juga nggak masalah. Yang penting 'adekmu' yang segede gaban itu nggak berkarat dan bisa licin meluncur masuk ke dalam 'lembah' yang ditutupi oleh semak belu... "

"Kampret bener mulutmu itu, Fan." Armand menyergah marah tanpa menatap lawan bicaranya yang menyebalkan. Jika terus dibiarkan mengoceh, Fandy akan terus mengeluarkan kata-kata sampah dari mulutnya.

Sialnya, Armand malah membayangkan hal itu tanpa ia kehendaki.

Namun, dalam bayangan yang kini berusaha Armand tepis, hanyalah terbayang seraut wajah mungil yang berkeringat, rambut acak-acakan dan tergerai di atas ranjang yang kusut, tubuh halus tanpa tertutup sehelai benang terhimpit di bawah tubuhnya sambil mengerang menyebutkan namanya.

Anissa Rahmah...

Ya, satu nama cantik milik si mungil yang selalu memenuhi pikirannya itu kini terbayang sedang tersenyum begitu menggoda.

SIALLL...

Armand menggenggam kemudi erat-erat. Giginya bergemeletuk saat mencoba menahan gejolak yang serasa menyesakkan dan membuatnya hampir kesulitan menahan diri. Pikiran Armand menjadi liar hanya karena bayangan tak senonoh yang berkelebat di pelupuk mata.

Rupanya, perubahan gestur tubuh serta ekspresi Armand itu bisa dilihat Fandy dengan jelas hingga pria usil itu kembali terkikik dan dengan santai bertanya, "Pengen ya, Man? Siapa tuh yang lagi dibayangin?"

"Bisa diam nggak, Fan?" Armand menimpali kesal. Susah payah mengendalikan diri, si mulut tanpa rem itu malah tak berhenti menggodanya. "Kalau kau pengen celaka, aku bisa langsung nabrakin ini mobil ke truk yang ada di depan kita."

"Eitss, jangan dong." cepat Fandy menimpali. Cepat ia angkat kedua tangannya sebagai isyarat menyerah seraya kembali berucap, "Aku masih belum puas menjajah banyak 'apem' tembem nan menggemaskan, Man. Bahkan aku juga belum sempat pedekate sama dedek Lala yang sekarang pasti udah gede. Aku tuh pengen banget ngerasain ngemut bibir si judes itu sampe bengkak sambil ngeremas manja bongkahan gunung kemb... "

"Kau beneran pengen langsung ke alam baka kayaknya ya, Fan." Armand mendesis geram. Otak Fandy yang membayangkan hal-hal mesum mengenai adik angkatnya membuat Armand ingin sekali menempeleng kepala sahabatnya itu hingga lepas.

"Hehehehe... " Fandy nyengir tanpa rasa bersalah. Ia kembali bersandar di jok sembari menatap Armand. Kali ini tak ada ekspresi main-main di sorot matanya saat menanyakan, "Jadi, benaran cinta dan bukannya hanya sekedar nafsu doang, Man?"

"Aku ini bukan anak kemarin sore, yang nggak bisa ngebedain antara cinta dan nafsu, Fan."

Sudah, hanya dengan jawaban itu saja bisa menjelaskan secara lugas mengenai apa yang Armand rasakan. Sehingga Fandy pun akhirnya mengangguk dan tak banyak lagi bicara.

*****

Jika situasi yang dihadapi Armand membutuhkan pengendalian diri serta kesabaran, maka situasi yang dialami Nissa bisa dibilang sedikit mencekam.

Halaman rumah sang malaikat penolong yang biasanya sepi dan tenang, kini dipenuhi oleh penduduk yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu membawanya pergi atau lebih tepatnya memaksa ia keluar dari rumah yang sudah bersedia menampungnya.

Dunia damai dan tenang Nissa pagi ini terusik. Kedatangan kedua pria yang berkoar-koar mengaku sebagai pamannya serta para penduduk, yang hampir keseluruhan didominasi oleh para wanita yang mengekor di belakang kedua pria itu membuat tubuh Nissa mengkeret, mencoba bersembunyi di belakang wanita paruh baya yang sudah begitu baik mau menampung anak yatim yang tak jelas siapa ayahnya seperti dirinya.

Memang terdapat beberapa pria yang turut serta, tetapi mereka hanya datang untuk melihat ada kejadian apa dan tak turut serta meminta agar Nissa ikut bersama kedua pria asing itu.

Nissa merasa sangat takut. Tubuhnya bergetar, wajahnya pucat pasi karena ngeri membayangkan jika sampai kedua pria itu berhasil memaksanya keluar dari rumah malaikat pelindungnya ini.

"Biarkan kami membawanya, Bu Nur. Biar bagaimana pun, kami ini pamannya. Sudah jelas kami lah yang harus bertanggung jawab untuk mengurusnya sampai dia menikah nanti." Herman kembali mengucapkan apa yang pernah diucapkannya beberapa saat yang lalu.

"Benar, Bu." Heri ikut menimpali. Demi memuluskan rencana, pria berbadan gempal itu bahkan membuat ekspresinya tampak sedih saat berkata, "Kami bersalah karena dulu sempat mengabaikan keberadaannya. Kami juga terus dihantui rasa bersalah karena secara tidak langsung sudah menyebabkan kakak kami meninggal dunia. Bahkan rasa bersalah itu terus menghantui karena kami tidak datang ke pemakamannya kak Ningsih. Tapi sumpah, Bu, kami benar-benar menyesal. Jadi, tolong berikan kami kesempatan untuk menebus semua kesalahan kami itu dengan merawat anak dari kakak kami itu. Setidaknya sampai kami menikahkan dia dengan lelaki yang te... "

"Apakah si Bowo itu adalah lelaki yang tepat menurut kalian?" ibu Nur berucap tenang. Meski geram menghadapi manusia-manusia licik di hadapannya itu, ia masih bisa bersikap tenang untuk menghadapi manusia-manusia yang tidak tahu berterima kasih itu.

Dari teras dimana ibu Nur berdiri dengan Lala berada di sisi kanannya serta Nissa bersembunyi di belakang tubuhnya, ibu Nur memperhatikan setiap wajah milik penduduk yang memenuhi halaman rumahnya.

Dahi wanita paruh baya itu mengernyit. Para penduduk yang berkumpul yang mana kebanyakan merupakan wanita itu membuatnya tahu alasan dibalik kehadiran para wanita itu di halaman rumahnya yang luas.

Dasar tukang iri.

Hati mereka hanya dipenuhi rasa iri juga dengki.

Ibu Nur menggeleng-geleng miris. Dipandanginya lagi kedua pria yang tiba-tiba terdiam, membisu tak bisa berkata apa-apa berdiri di hadapannya seraya bertanya, "Herman, Heri, apakah kalian sebegitu bencinya dengan keponakan kalian sendiri, sampai-sampai kalian ingin menikahkan dia dengan lelaki seperti itu. Jika sampai itu yang kalian lakukan, kalian ini bukannya membahagiakan dia tapi justru menghancurkan masa depannya."

"Halah... masa depan seperti apa sih yang bisa didapat oleh anak pelac*r itu, Bu Nur? Udah, biarin aja dia dibawa sama keluarga kandungnya." Ika yang berdiri paling belakang tak mau ketinggalan untuk meramaikan suasana. Jika gadis yang dianggapnya sok kecantikan itu berhasil dibawa oleh kedua pamannya, maka Ika akan mendapat bayaran untuk itu.

Ya, hari ini Ika mempunyai satu misi. Misi dari ibu Lurah tentu saja.

Misi dimana Ika diminta untuk membantu Herman dan Heri agar bisa membawa Nissa keluar dari rumah ibunya sang juragan tanah.

Ika tentu saja langsung menyanggupi misi tersebut. Bayaran 500 ribu yang didapatkannya dalam misi ini membuat mata Ika langsung berubah menjadi hijau.

Mudah saja bagi Ika untuk mengumpulkan para pendemo di sini. Ika tinggal memanasi para wanita yang takut suaminya kecantol sama si gadis sok kecantikan, yang mana bujukan Ika tak membutuhkan waktu lama untuk disambut oleh para wanita pencemburu itu.

"Iya betul, biarin aja dia dibawa keluarganya."

"Lagian dia juga nggak punya hubungan apa-apa sama Bu Nur, jadi buat apa dipertahanin sampai sebegitunya."

"Betul, Bu Nur. Tolong biarin dia pergi. Kami nggak ingin lagi was-was, takut suami kami digoda sama keturunan perempuan bina* itu."

"Biarin dia dibawa, Bu Nur."

Keadaan yang mulai ricuh akibat beberapa wanita yang bersuara saling bersahut-sahutan membuat baik Herman dan Heri yang tadinya terdiam karena kehabisan kata-kata kini kembali bersemangat.

Kedua pria itu saling menatap. Herman menganggukkan kepala sedikit seraya mengedikkan dagu sebagai isyarat kepada adiknya.

Heri tentu saja mengerti isyarat tersebut. Begitu melihat kakaknya melangkah semakin ke depan demi untuk mengalihkan perhatian sang tuan rumah, maka secara diam-diam Heri melangkah ke pinggir agar bisa menggapai gadis yang bersembunyi di balik punggung wanita paruh baya yang masih tampak segar bugar itu. Lalu...

Hap...

Dengan mudah Heri menggapai tangan gadis yang sudah membuatnya susah itu dan menggeram marah, "Perempuan pembawa sial. Jangan berteriak kalau tidak ingin tanganmu aku patahkan."

Ancaman tersebut berhasil membuat suara teriakkan Nissa tertahan di tenggorokan.

Tubuh Nissa yang semakin menggigil, tak berdaya menahan sentakan tarikkan yang begitu kuat di lengan kirinya. Air matanya semakin membasah di pipi. Saat langkahnya dipaksa untuk mengikuti pria bertubuh gempal itu, Nissa beberapa kali menoleh ke belakang demi mencari pertolongan kepada sang malaikat penolong.

Namun apa daya, kumpulan para wanita itu seakan sengaja berkumpul mengerubungi ibu Nur. Suara-suara mereka terdengar saling bersahutan, membuat ibu Nur dan Lala tampak kewalahan.

Nissa menjadi pasrah. Tarikkan kuat di tangannya itu dengan cepat menimbulkan rasa sakit di area tersebut.

Seiring langkah yang perlahan keluar dari pagar, tak terhitung lagi sudah berapa banyak permohonan yang terus Nissa ucapkan dalam hatinya.

Dan di penghujung harapan yang mulai menghilang, Nissa yang hampir merasa putus asa akhirnya membelalakkan mata begitu melihat tubuh gempal itu tersungkur ke tanah dalam posisi terduduk.

Sebelum Nissa sempat mencerna apa yang terjadi, punggung lebar nan kokoh telah menutupi pandangannya hingga Nissa tak bisa melihat apa yang terjadi di depan sana.

"Sialan kau, Man!" Heri meraung marah setelah menyadari siapa yang sudah menarik bahunya dari belakang dan menghempaskannya ke tanah. Pria bertubuh gempal yang tingginya tak lebih dari telinga Armand itu berdiri dan mendongak demi menatap pria yang lebih tinggi darinya itu. "Menyingkir dari hadapanku. Kau tidak punya hak untuk ikut campur dalam masalah keluarga kami. Aku pamannya, jadi aku berhak untuk membawanya pergi dari sini."

Armand mendengus. Senyum meremehkan tersungging di bibirnya saat memandang dari atas ke bawah pria yang ada di hadapannya itu. "Hak apa yang kau bicarakan, Her? Memangnya kau pernah memberikan sebutir saja nasi untuk dia makan?"

"Diam!" Heri menyalak tak terima. "Sudah aku bilang jangan ikut campur dalam urusan keluarga kami. Memangnya kau siapa, hah, sampai pasang badan untuk melindunginya seperti ini?"

"AKU CALON SUAMINYA!"

Jawaban lantang yang terdengar tegas namun tak menggelegar itu nyatanya sanggup membuat suara para wanita di dalam sana menghilang begitu saja. Mereka bahkan kompak membalikkan badan demi menatap siapakah yang sudah berkata seperti itu.

Sedangkan Nissa dan ibu Nur terpaku. Mereka menatap sang juragan yang menatap terpaku pria yang baru saja mendeklarasikan diri sebagai calon suami dari si gadis mungil yang tiba-tiba mematung, tak bergerak dan hanya bisa terus mengerjapkan kedua matanya

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!