Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26 Membuatmu Menjerit
“Jangan lupa lima ratus jutanya,” ucap James sambil tersenyum lebar, lalu dengan cepat berlari keluar apartemen sebelum Nicholas sempat bereaksi.
James tak mau menghadapi amukan Nicholas lagi.
Bertepatan dengan keluarnya James, ponsel Nicholas bergetar. Ia melihat nama yang tertera di layar. Kakeknya.
Nicholas menghela napas, hari ini benar-benar penuh kejutan.
“Ya, ada apa Kek?”
“Tak lama lagi kakek akan mengunjungi kalian jadi persiapkan diri baik-baik.” suara Noah terdengar berat dan tegas dari seberang telepon.
Dan setelah mengatakan itu, Noah langsung memutuskan sambungan sepihak.
“Sial! Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Nicholas, mematung di tengah ruang tamu.
Xander jatuh cinta dan Kakek akan datang. Dua masalah besar yang harus ia hadapi. Hari-hari tenang di apartemennya akan segera berakhir.
"Ini alasan kenapa aku memilih tidak berpacaran sampai sekarang! Karena wanita itu merepotkan!" gumamnya.
****
Keesokan harinya, pagi yang cerah menyapa.
Naomi membuka matanya perlahan, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia menoleh ke samping dan melihat Xander masih terlelap pulas di atas ranjang empuknya.
Selimut menutupi setengah tubuhnya, memperlihatkan bahu dan lengan kekar pria itu.
“Kalau sedang tidur seperti ini, dia terlihat tampan juga,” gumam Naomi, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Ia mengamati wajah tenang Xander, yang jauh berbeda dengan ekspresi menuntutnya semalam.
Tersadar akan pikirannya, Naomi langsung memukul bibirnya sendiri dengan pelan.
“Tidak, Naomi! Dia itu pemaksa, semalam dia bahkan sudah hampir merebut kepe-rawananmu!” ia mengingatkan dirinya sendiri, berusaha mengenyahkan pikiran aneh tentang ketampanan Xander.
Ya, semalam mereka tidak sampai melakukannya. Xander hanya menggesekkan miliknya di antara sela paha Naomi, menggoda dan menyiksanya dengan sentuhan yang membuat Naomi merasa terombang-ambing antara penolakan dan gai-rah yang aneh.
Xander memang tidak menembus batas, tapi itu sudah cukup membuat Naomi merasa hampir gila, sekaligus bingung dengan perasaannya sendiri.
Sensasi semalam masih membekas jelas di ingatannya, campuran antara ketakutan dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bisa gadis itu jelaskan.
Naomi memutuskan untuk beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.
Kakinya terasa sedikit pegal, mungkin karena kejadian semalam.
Namun, baru saja ia melangkah masuk ke dalam kamar mandi, kakinya terpeleset lantai yang sedikit basah.
“Argh!” jeritnya, tubuhnya limbung dan ia jatuh terduduk dengan keras.
Mendengar suara jeritan Naomi, mata Xander yang terpejam langsung terbuka lebar. Ia bangkit dari ranjang dengan cepat, melangkah menuju kamar mandi.
Pemandangan Naomi yang terduduk di lantai dengan wajah meringis membuatnya mendengus kesal.
“Bodoh! Kenapa kamu bisa jatuh, hah?!” Xander melipat tangan di dada.
Naomi mendongak, matanya berkaca-kaca menatap Xander. “Huwaa, pinggang saya sakit dan Anda malah marah-marah?!” ucap Naomi menunduk sambil mengusap punggungnya yang nyeri.
“Makanya hati-hati! Dasar ceroboh!” Xander berjongkok hendak membantu Naomi berdiri.
Saat ia berjongkok, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Naomi mendongak, matanya membelalak sempurna, rasa sakit di pinggangnya seketika menghilang entah ke mana.
Pandangannya terpaku pada pentungan Xander yang kembali berdiri tegak, membesar, seolah menyapa di depannya.
“T-tuan... pentungan Anda berdiri lagi?” Naomi langsung memalingkan wajah, pipinya memerah padam.
Xander terkekeh pelan, tanpa dosa. Ia tahu Naomi melihatnya. “Apa ada masalah? Semalam kamu sudah memegang dan merasakannya, bukan?” godanya.
“Berhenti bicara seperti itu!” Naomi menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan rasa malunya. “Masalahnya yang ini lebih besar dari semalam! Jangan-jangan sudah berubah tongkat baseball lagi!”
Mendengar ucapan Naomi, Xander terdiam sejenak, lalu seringai geli terukir di bibirnya.
“Apa katamu? Jangan memancingku, gadis barbar! Sudah payah aku menahannya dan kamu malah bicara begitu?”
Xander tak menunggu reaksi Naomi lebih lanjut. Tanpa peringatan, ia memapah tubuh gadis itu, membuat Naomi berdiri dengan posisi membelakanginya, memojokkannya ke dinding kamar mandi yang dingin.
Lalu, dengan cepat, ia menurunkan paksa celana da lam Naomi.
“Bersiaplah, kita akan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menjerit nikmat,” bisik Xander, menahan pinggang Naomi dan mengarahkan adik kecilnya.
“Tidak, saya tidak mau, aaaaaa!” Naomi menjerit, kaget dan takut.
Situasi ini, di pagi hari, di kamar mandi, dengan Xander yang sepenuhnya siaga, benar-benar di luar perkiraannya.