NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:798
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Titik Balik di Ruang Keluarga

Di dalam mobil, Diandra mengirimkan lokasi kafe kepada Tiara dan Bram melalui pesan.

Di rumahnya, Tiara melihat pesan itu. Ia dan Ken segera bersiap-siap. Sebelum berangkat, Tiara berpesan kepada pembantunya, "Jika ada apa-apa dengan Risa, segera hubungi kami, ya."

Pembantu itu mengangguk. Tiara dan Ken pun berangkat, hati mereka dipenuhi kekhawatiran.

Sementara itu, Bram tiba di rumahnya. Ia meminta sopirnya untuk menurunkan koper-koper Fara. Selesai dengan koper, Bram menatap Fara yang masih duduk di dalam mobil.

"Turun, Fara," kata Bram.

Namun, Fara tidak bergeming. Ia tidak mendengarkan.

"Fara, jangan buat Papa tambah marah. Turun sekarang," kata Bram, suaranya lebih tegas.

Fara menatap papanya, lalu turun dari mobil. Ia menutup pintu dengan kencang, suaranya memekakkan telinga.

Bram kemudian berkata kepada sopirnya, "Kopernya sudah dikeluarkan semua?"

"Sudah, Pak," jawab sang sopir.

"Kalau nanti Ibu nanya, bilang saya keluar sebentar," kata Bram.

"Iya, Tuan," jawab sopirnya.

Setelah mengatakan itu, Bram melihat pesan dari Diandra yang berisi lokasi kafe. Ia memasukkan alamat itu ke dalam GPS mobilnya, lalu segera melaju meninggalkan rumah.

Di saat yang sama , di rumah Valeria, bel pintu berbunyi. Tante Kiara berjalan ke pintu dan membukanya. Dari tangga, Valeria yang sudah rapi menuruni anak tangga, lalu berkata, "Itu pasti Bu Jasmine."

Kiara mengangguk, tersenyum. "Masuk, Bu," sapanya kepada seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah.

"Terima kasih, Kiara," balas Ibu Jasmine. Ia kemudian melirik ke arah Valeria. "Sudah siap, Valeria?"

"Sudah, Bu," jawab Valeria.

Tante Kiara, Ibu Jasmine, dan Valeria duduk di sofa ruang tamu. Valeria terlihat santai, berbeda dengan ketegangan yang ia rasakan beberapa waktu lalu.

"Bu, mengenai saran yang Ibu berikan kemarin," kata Valeria memulai percakapan. "Saya sudah melakukannya. Saya sudah mulai berteman dengan Aluna dan mengajaknya mengobrol. Saya juga mengajaknya ke kantin bersama dan duduk dengan teman-teman saya lainnya."

"Itu bagus, Valeria," kata Ibu Jasmine, tersenyum bangga.

Tante Kiara, yang tidak mengerti, menoleh ke arah Valeria. "Tunggu, sebenarnya ada apa ini? Valeria, kamu enggak cerita sama Tante. Ada apa sih?"

"Begini, Tante," kata Valeria, sambil ia mulai menceritakan semua.

Kilasan Balik: Konsultasi dengan Ibu Jasmine

Air mata yang sudah ditahan Valeria akhirnya jatuh. Ia menunduk dan mulai bercerita, suaranya bergetar. Ia menceritakan segalanya, dari awal mula gosip dan fitnah yang disebarkan, perbuatan Fara dan Risa, hingga kejadian memalukan di depan seluruh murid dan hukuman yang diberikan. Ia menceritakan bagaimana kepala sekolah memintanya untuk membantu Fara dan Aluna mengembalikan nama baik mereka.

"Aku tidak mengerti, Bu," kata Valeria, suaranya terisak. "Kenapa aku yang harus membantu mereka? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi kenapa rasanya aku juga dihukum?"

Ibu Jasmine mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menyela, hanya membiarkan Valeria mengeluarkan semua unek-eknya. Ketika Valeria selesai, Ibu Jasmine menggeser duduknya, mendekat. Ia mengusap punggung Valeria dengan lembut.

"Valeria," katanya dengan suara tenang. "Apa yang kamu rasakan itu wajar. Rasanya tidak adil, dan itu menyakitkan. Tapi coba kamu pikirkan ini: Bapak Kepala Sekolah tidak meminta kamu untuk menghukum mereka. Beliau meminta kamu untuk membantu mereka."

Valeria menatapnya, bingung.

"Ini bukan hukuman untuk kamu, Valeria. Ini adalah sebuah kepercayaan," lanjut Ibu Jasmine. "Bapak Kepala Sekolah melihat sesuatu di dalam diri kamu. Beliau melihat kamu sebagai orang yang kuat, yang bisa memimpin. Beliau tahu kamu tidak hanya bisa menyelesaikan masalah untuk diri sendiri, tapi juga bisa membantu orang lain keluar dari masalah. Ini adalah kesempatan kamu untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa kebaikan itu lebih kuat daripada kejahatan."

Valeria mendengarkan, dan perlahan-lahan, air matanya berhenti. Ia memikirkan kata-kata Ibu Jasmine. Perasaan tidak adil yang ia rasakan perlahan mulai berganti.

Kembali ke Masa Kini

Diskusi di Ruang Tamu

Valeria menghela napas, mengakhiri ceritanya. "Begitu, Tante."

Tante Kiara terdiam, mencerna semua informasi itu. Ia menatap Valeria, lalu mengalihkan pandangannya ke Ibu Jasmine, yang hanya tersenyum dengan lembut.

"Valeria, Tante tidak tahu harus berkata apa," kata Tante Kiara, suaranya tercekat. "Tante bangga sekali sama kamu. Kamu sangat dewasa menghadapi masalah sebesar ini."

Tante Kiara kemudian berdiri, berjalan ke arah Valeria, dan memeluknya erat. "Tante tidak menyangka kamu sekuat ini. Kamu sudah berani menghadapi mereka semua, bahkan mencoba berteman dengan Aluna."

Valeria membalas pelukan tantenya.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Tante merasa bersalah, Tante tidak ada di sana untuk kamu," bisik Tante Kiara. Ia melepaskan pelukan, lalu menatap Valeria dengan tatapan penuh kasih. "Apa pun yang terjadi, Tante akan selalu ada untuk kamu. Tante akan bantu kamu, Sayang."

"Terima kasih atas sarannya, Bu Jasmine," kata Tante Kiara. "Saya tidak kepikiran tentang hal itu. Tapi, omong-omong, apa Ibu seorang psikolog?"

Ibu Jasmine tersenyum. "Bukan. Saya guru matematika. Tapi saya sempat mempelajarinya. Jadi saya mengerti tentang masalah seperti itu," jawabnya, suaranya tenang.

Tante Kiara menatapnya kagum. Ia tidak menyangka seorang guru matematika bisa memiliki pemahaman sedalam itu tentang emosi dan hubungan.

"Jadi, Valeria," kata Ibu Jasmine dengan lembut. "Apa rencana yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Valeria berpikir sejenak. Ia menatap tantenya, lalu ke arah Ibu Jasmine. Rasa tidak adil yang ia rasakan sudah digantikan oleh tekad.

"Saya akan melanjutkan apa yang saya mulai, Bu," jawab Valeria. "Saya akan terus mendekati Aluna. Saya ingin dia merasa aman dan percaya bahwa ada orang yang peduli padanya. Mungkin dengan begitu, dia akan lebih terbuka dan berani menghadapi Fara."

Tante Kiara tersenyum. "Tante akan bantu kamu, Sayang. Apapun yang kamu butuhkan, bilang saja."

Ibu Jasmine mengangguk, puas. "Itu rencana yang bagus, Valeria. Ingat, setiap langkah kecil itu penting."

"Ya, Bu," kata Valeria sambil tersenyum.

"Jadi, kita bisa mulai belajarnya?" tanya Ibu Jasmine dengan ramah.

Valeria mengangguk. Mereka berdua lalu pindah ke meja belajar di ruang kerja, meninggalkan Tante Kiara yang masih memproses semua yang ia dengar.

Di sisi lain, di rumah Fara. Setelah kepergian Bram, Dina, istrinya, keluar rumah. Ia melihat Fara dan menyuruhnya masuk. Fara pun masuk dan di belakangnya, sopirnya mengikuti, membawa dua koper.

Dina berkata kepada sopirnya, "Taruh kopernya langsung ke kamar, Pak."

Supir itu mengangguk dan melangkah menuju kamar Fara.

"Fara, ikut Mama ke ruang keluarga," kata Dina.

Dina melangkah pergi, diikuti Fara. Di ruang keluarga, Dina berdiri menghadap putrinya.

"Fara, kamu tahu salah kamu apa?" tanya Dina, suaranya tenang namun dingin.

Fara hanya diam tidak menatap mamanya.

...Hanya ilustrasi gambar...

"Fara, Mama tanya sama kamu," ulang Dina.

"Aku tahu, Ma. Aku tahu," jawab Fara, suaranya pelan.

"Terus kenapa kamu lakukan itu, Fara?" suara Dina mulai meninggi. "Kamu tahu konsekuensi dari perbuatan kamu ini? Memfitnah orang, membayar orang untuk melakukan apa yang kamu mau, menjelekkan orang di media sosial... Kamu tahu itu apa? Itu mencemarkan nama baik seseorang! Kenapa kamu selalu membuat masalah, Fara? Kenapa?"

Fara hanya diam mendengarkan, menunduk.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Bisa enggak kamu tidak membuat masalah di sekolah? Seperti adik kamu, seperti Aluna. Kamu enggak bisa, apa, mencontoh sifat dan berperilaku seperti Aluna yang tidak pernah membuat masalah?" tanya Dina. "Kamu tahu kan, di sekolah yang dulu kamu sudah dikeluarkan. Jangan sampai di sekolah kamu yang baru ini kamu dikeluarkan. Kamu baru masuk dua hari, Fara."

Fara hanya diam dan menunduk.

"Lihat Mama, Fara," kata Dina.

Fara pun melihat ke arah mamanya.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Kenapa kamu memfitnah Aluna, Fara? Mama suruh kamu tinggal sama Aluna buat menjaga dia, menemaninya. Bukan malah kamu perlakukan dia seperti musuh. Kamu menyakitinya, memfitnah dia. Kamu itu harus melindungi dia, menyayangi dia, anggap dia seperti adik kamu atau sebagai teman kamu. Bukan seperti ini," kata Dina, suaranya melembut.

Air mata Fara mulai jatuh. "Tapi aku enggak mau berteman sama dia. Dan aku bukan baby sitter atau bodyguard dia. Aku bukan Aluna," teriak Fara. "Cukup, Mah! Jangan bandingkan aku sama Aluna. Jangan buat aku seperti Aluna. Aku ini Fara, bukan Aluna! Dan aku anak Mama, bukan Aluna. Kenapa Mama malah membela dia?"

...Hanya ilustrasi gambar...

"Mama bukan membela dia atau membandingkan kamu dengannya," jawab Dina, berusaha menenangkan Fara.

"Cuma Mama mau kamu berubah sikap dan sifat kamu, Fara. Mama mohon, berubah jadi yang lebih baik. Jangan seperti ini."

Dina mengambil napas dalam-dalam. "Kamu mau Mama kirim kamu ke rumah kakek dan nenek kamu di kampung? Dan sekolah di sana? Tanpa mempunyai fasilitas apa pun?

"Aku enggak mau! Aku enggak mau, Ma!" teriak Fara.

"Ya, kamu harus ubah sikap kamu jadi lebih baik, Fara. Jangan seperti ini," kata Dina.

Fara terdiam. Ancaman Dina terasa nyata dan menakutkan baginya. Ia tidak pernah berpikir orang tuanya akan serius mengancamnya seperti itu. Air matanya mengalir deras, bukan lagi karena kemarahan, tapi karena ketakutan.

"Aku enggak mau," bisik Fara, suaranya kini pecah.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Ia menghempaskan pintu dengan keras, meninggalkan Dina yang berdiri di ruang keluarga, menatap pintu kamar putrinya dengan hati hancur.

Sementara Fara tenggelam dalam amarah dan kesepian, orang tua mereka sedang dalam perjalanan menuju kafe. Bram dan Diandra tiba terlebih dahulu, disusul oleh Tiara dan Ken. Mereka duduk di meja yang sama, suasana tegang menyelimuti mereka.

Diandra memecah keheningan, menatap Bram, Tiara dan Ken dengan tajam.

"Terima kasih sudah datang," kata Diandra, memulai percakapan. "Aku sudah memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan ini."

"Aku ingin menanyakan kenapa putri-putri kalian berani memfitnah dan menjelekkan nama putri saya?" tanya Diandra, suaranya dingin dan tegas. "Apa kalian tahu itu bisa saja berdampak pada reputasi putri saya? Kalian telah merusak reputasi yang telah saya bangun untuk Valeria, putri saya."

Ia melanjutkan, nadanya kini terdengar menghakimi,

 "Dan... bagaimana cara kalian mendidik putri-putri kalian itu?"

Wajah Tiara memerah. Ia merasa sangat sakit hati mendengar pertanyaan Diandra. Tatapan menghakimi itu membuatnya merasa seperti orang tua yang gagal.

"Kami sudah mendidik putri kami dengan baik, Diandra," jawab Tiara, suaranya bergetar. "Kami memang sudah tahu kenapa Risa melakukan itu. Kami sudah bicara dengannya dan memperingati nya."

Ken menimpali, berusaha lebih tenang. "Kami juga tidak membiarkan ini begitu saja. Kami sudah mencoba menyelesaikan masalah ini. Tapi anak-anak seumuran mereka..."

"Itu bukan alasan," potong Diandra, nadanya tidak berubah. "Masalah ini sudah menyebar ke seluruh sekolah dan merusak reputasi putri saya. Saya tidak akan tinggal diam."

Bram akhirnya angkat bicara, suaranya pelan dan berat.

"Diandra, aku mengerti kemarahanmu. Tapi ini bukan tentang siapa yang salah. Kita semua tahu anak-anak kita salah. Sekarang, mari kita bicarakan apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya."

"Memperbaiki apa?" tanya Diandra, suaranya dingin.

"Gosip sudah menyebar. Kalian tahu apa yang dilakukan anak kalian itu sudah termasuk mencemarkan nama baik, dan saya bisa saja menuntut anak-anak kalian."

"Tapi Diandra," sela Bram, "anak-anak kami sudah minta maaf kepada Valeria, baik secara langsung maupun di depan murid-murid di sekolah."

"Dan kita juga sudah menandatangani surat perjanjian atas kelakuan anak kami dan berjanji tidak akan mengulanginya," tambah Tiara, suaranya penuh kekhawatiran.

Diandra menaikkan satu alisnya, skeptis. "Kapan? Dan dengan siapa?"

Ken mencondongkan tubuhnya, menatap Diandra dengan penuh harap. "Dengan Kiara, Valeria, dan Rex Adrian. Rex Adrian yang mengatur pertemuan itu. Valeria juga menginginkan kita damai secara kekeluargaan, Diandra. Tolong, saya mohon, jangan meneruskan masalah ini ke pengadilan. Kami tahu mereka salah, tapi tolong beri mereka kesempatan."

Wajah Diandra mengeras. Mendengar nama Rex Adrian, amarahnya kini beralih. Rex Adrian? Kenapa dia harus ikut campur dalam masalah ini? Dan kenapa Kiara tidak menceritakannya kepadaku? batinnya.

Ia menatap Tiara dan Ken dengan tatapan tajam, lalu menghela napas panjang.

"Baik, jika begitu," kata Diandra, nadanya berubah dingin.

"Hanya saja, saya tidak akan pernah memaafkan atau melupakan perbuatan anak kalian kepada putri saya."

Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mereka satu per satu. "Saya mau anak kalian tidak akan pernah terlihat atau mendekati putri saya. Kalian mengerti?"

Tiara terdiam, mencerna syarat yang diberikan Diandra. Meskipun ia tahu perbuatan Risa salah, syarat yang diberikan Diandra tidaklah sulit daripada harus berurusan dengan hukum.

"Baik, Diandra," jawab Tiara, suaranya pelan dan penuh kesedihan. "Kami mengerti."

Ken mengangguk. "Kami akan memastikan mereka tidak akan mengganggu Valeria lagi."

Bram juga ikut angkat bicara. "Aku sudah mengambil langkah. Mulai sekarang, Fara tidak akan lagi tinggal bersama Aluna. Dan saya akan memperingati serta memberitahunya untuk menjauh dan tidak mendekati Valeria. Ini adalah yang terbaik untuk semuanya."

Diandra menatap mereka satu per satu, mengangguk puas. "Kalau begitu, pertemuan ini selesai," katanya, lalu berdiri.

Suasana pertemuan terasa hampa, seperti ada sesuatu yang hilang. Para orang tua berdiri, saling berjabat tangan dengan canggung, lalu berpisah. Mereka membawa beban berat akibat perbuatan putri-putri mereka, tetapi kini mereka tahu, setidaknya, konflik ini sudah menemui akhirnya.

Setelah pertemuan yang menegangkan itu, Bram kembali ke mobilnya. Pikirannya melayang, memikirkan segala yang baru saja terjadi. Namun, di tengah semua kekacauan itu, ada satu nama yang terus terlintas di benaknya: Aluna.

Ia merasa bersalah. Selama ini ia terlalu sibuk mengurus Fara dan masalahnya, hingga ia kurang memperhatikan Aluna.

Di perjalanan pulang, Bram menghentikan mobilnya di sebuah restoran cepat saji. Ia keluar dan membeli beberapa makanan. Ia ingin Aluna tahu bahwa ada yang memikirkannya.

Bram tiba di depan rumah Aluna. Ia memarkir mobil, mematikan mesin, lalu mengambil kantong makanan yang ia beli. Saat ia berjalan ke pintu, ia merasa gugup.

Ia menekan bel. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan Aluna muncul. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya memancarkan kelegaan begitu melihat Bram.

"Om," sapa Aluna, suaranya pelan.

"Halo, Aluna," kata Bram, memberikan senyum hangat. Ia mengangkat kantong makanan. "Om belikan makanan. Ayo kita makan malam bersama."

"Iya, Om," jawab Aluna. Ia melangkah mundur dan mempersilakan Bram masuk ke dalam rumah.

Bram mengikutinya ke ruang makan dan meletakkan kantong makanan di atas meja. Aluna duduk, dan Bram duduk di seberangnya. Keheningan terasa, tetapi Aluna bisa merasakan ada sesuatu yang serius yang ingin dibicarakan oleh omnya.

"Fara mana, Om?" tanya Aluna, memberanikan diri.

Bram menghela napas, wajahnya terlihat lelah. "Dia di rumah bersama mamanya."

Bram menatap Aluna dengan tulus. "Aluna, Om mau minta maaf. Maaf karena Om sudah salah mendidik Fara. Dan Om juga minta maaf atas semua perbuatan Fara kepada kamu."

"Enggak apa-apa, Om," jawab Aluna, suaranya lembut.

"Aluna mengerti. Ini juga bukan salah Om, Aluna juga sudah maafin Fara."

Mendengar kata-kata itu, hati Bram terasa lega. Ia menatap Aluna, terkejut dengan ketulusan dan kedewasaan gadis itu. Ia merasa sangat bersalah sekaligus bangga.

"Terima kasih, Aluna," kata Bram, suaranya pelan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menepuk bahu Aluna dengan lembut. "Sekarang, ayo kita makan."

Bram mengambilkan makanan untuk Aluna, dan mereka mulai makan dalam keheningan yang nyaman.

Setelah makan malam selesai, Bram berpamitan. Ia berdiri di depan pintu, menatap Aluna dengan tulus.

"Aluna, Om pamit pulang, ya," kata Bram. "Orang yang akan menemani kamu besok siang setelah kamu pulang sekolah, dia akan datang."

"Iya, makasih, Om," jawab Aluna.

"Sama-sama. Kamu hati-hati di rumah, ya. Kunci yang rapat jendela dan pintu, dan jangan pergi malam-malam," kata Bram, memberinya peringatan terakhir.

"Iya, Om," jawab Aluna.

Bram mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke mobil. Aluna berdiri di depan pintu, memperhatikannya pergi, merasa sedikit lega dan sendirian.

Di rumah Tiara dan Ken, suasana terasa sangat tegang. Tiara mondar-mandir di ruang keluarga, hatinya dipenuhi kegelisahan setelah pertemuan dengan Diandra dan Bram.

"Bagaimana ini, Pa?" tanya Tiara, suaranya cemas. Ia menatap Ken yang duduk diam di sofa. "Apa kita pindahkan Risa ke sekolah lain? Atau ke asrama yang punya teman Papa itu, Pa?"

Ken menghela napas panjang. Ia meraih tangan Tiara, menyuruhnya duduk. "Ma, dengarkan Papa baik-baik. Masalah Risa bukan hanya soal sekolah atau teman-temannya. Masalahnya lebih besar."

"Aku tahu, Pa. Aku sangat khawatir," bisik Tiara.

"Papa rasa ide Mama tentang asrama teman Papa itu bagus," kata Ken, suaranya tenang. "Di sana, dia bisa fokus belajar tanpa ada gangguan. Lagipula, dia juga akan diawasi 24 jam. Ini adalah satu-satunya cara untuk membantunya lepas dari kecanduannya."

Tiara menatap suaminya, air matanya menetes. "Kamu yakin, Pa?"

"Kita harus, Ma. Ini demi kebaikan Risa. Kita harus mengambil langkah tegas sebelum semuanya terlambat," jawab Ken dengan yakin.

"Iya, kapan kita akan ke sana?" tanya Tiara, suaranya tidak sabar.

"Besok, Papa akan membicarakannya dengan teman Papa," jawab Ken. "Papa rasa, lebih baik biarkan Risa belajar di rumah selama sebulan. Kita panggil orang untuk mengajarinya. Baru setelah satu bulan, kita bawa dia ke asrama. Kita bisa manfaatkan waktu sebulan itu, kita habiskan bersama Risa. "

Ken memanggil Risa ke ruang keluarga. Risa turun dari kamarnya, wajahnya terlihat sedikit sedih dan lelah. Ia duduk di sofa, di seberang kedua orang tuanya. Suasana terasa sangat berat.

"Risa," kata Ken, suaranya tenang namun serius. "Kita sudah tahu dan sudah membicarakannya. Kita tahu apa yang kamu lakukan, baik masalah di sekolah, dan... tentang masalah kamu yang lain."

Risa terdiam. Ia menunduk, tahu betul apa yang dimaksud ayahnya.

"Papa dan Mama sudah memutuskan, ini demi kebaikan kamu," lanjut Ken. "Selama satu bulan ke depan, kamu akan belajar di rumah dengan guru privat. Setelah itu, kamu akan pindah ke sekolah asrama. Dan dalam sebulan itu kita habiskan waktu bersama-sama sebelum kamu masuk asrama. "

Wajah Risa langsung pucat. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tidak percaya. Ken menatapnya dengan penuh kasih.

"Bagaimana, Risa? Kamu mau?" tanya Ken, melembutkan suaranya. "Kami akan mengunjungimu setiap hari Sabtu dan Minggu."

Risa mengangguk pelan. "Iya, Risa mau."

Mendengar itu, Tiara langsung mendekat. "Terima kasih, Sayang," katanya, lalu memeluk Risa erat. Ken juga mendekati mereka dan bergabung dalam pelukan, melegakan hati mereka.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Sementara itu, Diandra baru saja tiba di rumahnya. Ia melangkah masuk, memanggil-manggil nama adiknya sambil melihat sekeliling. "Kiara! Kiara!"

Saat itu, Kiara dan Valeria sedang duduk di halaman belakang. Mereka mendengar suara panggilan itu dan segera mengikutinya, menuju ke dalam rumah untuk menemui Diandra.

Diandra melihat Kiara dan Valeria menghampirinya. Ekspresinya terlihat serius, seolah-olah ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Dari mana saja kalian?" tanya Diandra, langsung pada intinya. "Kenapa kamu tidak memberitahu mbak tentang pertemuan dengan Rex Adrian? Dan kenapa Valeria juga ikut?"

Kiara dan Valeria saling pandang, bingung harus menjawab apa.

"Kiara," kata Diandra, suaranya dingin dan penuh penekanan. "Jawab, kenapa kamu tidak cerita sama mbak, Kiara? Dan kenapa Rex Adrian harus ikut campur dalam masalah ini? Kenapa harus dia yang mengatasinya? Jawab, Kiara!"

Kiara menunduk sejenak, wajahnya terlihat putus asa.

"Maaf, Mbak, maaf. Kiara enggak cerita karena Kiara lupa. Dan tentang kenapa Kak Rex ikut campur dan mengatasi masalah ini... itu karena kita enggak tahu harus minta tolong ke siapa."

Kiara mengangkat kepalanya, menatap Diandra. "Lagi pula, bukti-bukti tentang siapa yang memfitnah dan menjelekkan nama Valeria itu juga didapat dari anaknya Kak Rex, Kian namanya. Tapi bukan cuma dia. Revan, Damian, mereka juga membantu mencari bukti itu."

"Tapi kenapa kamu tidak meminta bantuan kepada Daniel saja?" tanya Diandra, suaranya terdengar kecewa.

"Kenapa harus Rex Adrian?"

"Maaf, Mbak," jawab Kiara, memohon. "Tapi saat itu, itu benar-benar urgent. Dan yang punya bukti-bukti semuanya itu ya Kak Rex. Jadi biar sekalian dan masalahnya cepat selesai. Kita enggak punya pilihan selain melibatkan Kak Rex, Mbak.

"Hah, oke. Tapi jika masalah seperti ini terjadi lagi, jangan pernah melibatkan dia ke urusan keluarga ini," kata Diandra, suaranya kembali dingin. "Kalau ada masalah, langsung cerita ke mbak. "

Diandra kemudian menoleh ke arah Valeria.

"Dan kamu, Valeria," kata Diandra, matanya menatap tajam. "Jangan sampai masalah seperti ini terulang lagi. Ingat itu, Valeria. Dan satu lagi: jauhi dan jangan dekati mereka, atau berteman dengan mereka seperti Fara, Risa, dan... Aluna. Kamu mengerti?"

Valeria terkejut. "Tapi..."

"Enggak ada tapi-tapi-an, Valeria," potong Diandra.

"Kamu itu harus pintar untuk mencari dan memilih teman yang baik, yang tidak menjelekkan kamu, menghancurkan kamu. Cari teman yang bisa menguntungkan kamu buat masa depan nanti, bukan teman yang membuat dan membawa kamu ke dalam masalah. Ingat itu, Valeria."

Setelah mengatakan itu, Diandra berbalik dan pergi ke kamarnya. Ia meninggalkan Kiara dan Valeria yang kini terdiam di ruang tamu.

Keheningan yang canggung menyelimuti ruang tamu setelah Diandra pergi. Valeria menatap Tante Kiara, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kekecewaan. Tante Kiara sendiri tampak terkejut.

"Apa-apaan itu?" bisik Kiara, lebih kepada dirinya sendiri.

"Semua orang tua baru saja membuat kesepakatan, dan dia malah melarangmu berteman dengan Aluna? Apa dia tidak tahu Aluna sudah jadi bagian dari pertemanan kamu?"

Air mata mulai menggenang di mata Valeria. "Aku tidak mengerti, Tante," katanya, suaranya bergetar. "Aku sudah coba mengikuti saran Bu Jasmine. Aku sudah mencoba menjadi orang yang lebih baik dan membantu Aluna. Tapi sekarang, Mama malah menyuruhku untuk menjauhinya."

Valeria merasakan beban berat di pundaknya. Ibunya ingin dia menjauhi Aluna, tetapi hatinya ingin melakukan hal yang benar, yaitu membantu Aluna.

Valeria menatap tantenya, air mata menetes di pipinya. "Aku harus gimana, Tante?" tanyanya, suaranya putus asa.

Tante Kiara duduk di sampingnya dan memeluknya. "Tante tahu kamu bingung, Sayang," bisiknya. "Mestinya ini semua tidak terjadi. Kamu sudah melakukan hal yang benar, dan kamu tidak pantas mendapatkan ini."

Kiara melepaskan pelukan dan menatap mata Valeria.

"Tante tahu kamu ingin melanjutkan niat baik kamu untuk membantu Aluna. Tante juga tahu Mama kamu tidak setuju. Bagaimana kalau kita tidak memberitahu Mama kamu, ya? Kamu tetap bisa berteman dengan Aluna, tapi kita rahasiakan ini dari Mama kamu."

"Iya, Tante," kata Valeria pelan, mengangguk.

"Ya sudah, kamu ke kamar dan istirahat," kata Kiara, sambil mengusap rambut keponakannya.

Valeria bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi setidaknya ia tahu ia tidak sendirian.

Di sisi lain, Keheningan yang mencekam menyelimuti ruang keluarga. Dina berdiri mematung, menatap kosong ke arah tangga tempat Fara baru saja lari. Suara pintu yang dihempaskan dengan keras masih terngiang di telinganya.

Air mata Dina mulai menetes. Ia merasa hancur. Ia tahu ancaman yang ia berikan adalah hal yang benar untuk dilakukan demi kebaikan putrinya, tetapi melihat ketakutan dan kebencian di mata Fara membuatnya merasa gagal. Ia telah menyakiti putrinya sendiri.

...Hanya ilustrasi gambar....

Kemudian ia duduk di sofa, tertunduk. Air matanya menetes, tangannya gemetar. Tepat saat itu, pintu depan terbuka, dan Bram masuk. Ia melihat istrinya, meletakkan tas kerjanya, dan menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa, Bram berjongkok di samping Dina, menatap wajahnya.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Ada apa, Sayang?" tanya Bram, suaranya lembut. "Apa yang terjadi?"

Dina menatap suaminya dengan mata berlinang. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.

"Fara... dia lari ke kamarnya setelah aku bicara dengannya," kata Dina, suaranya parau. "Aku... aku memberinya ultimatum. Aku bilang kalau dia tidak mengubah sikapnya, kita akan mengirimnya ke kampung, ke rumah kakek dan neneknya."

Air matanya tumpah. "Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Bram. Aku merasa seperti ibu yang gagal. Aku telah menyakiti putriku sendiri."

Bram menghela napas, ia memahami rasa sakit istrinya. Ia mengangkat tangannya dan menghapus air mata di pipi Dina. "Kamu bukan ibu yang gagal, Sayang. Kita melakukan ini demi kebaikannya," bisiknya lembut. "Aku juga sudah bicara dengannya. Aku sudah bilang aku akan mengirimnya ke apartemen sendiri."

Dina terkejut. "Apartemen?"

"Iya," jawab Bram. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Tapi sepertinya ia butuh pelajaran lebih dari itu."

Dina menatap Bram dengan mata berlinang. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.

"Kamu tadi ke mana setelah mengantar Fara ke rumah?" tanya Dina.

"Bertemu Diandra," jawab Bram, suaranya lembut. "Dan dia meminta... kami berempat, dengan Tiara dan Ken, bertemu untuk menyelesaikan masalah anak-anak ini."

Dina terkejut, matanya membelalak. "Bertemu Diandra? Kenapa kamu tidak memberitahuku? Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya, nada suaranya berubah menjadi khawatir.

Bram meraih tangan Dina dan menenangkannya. "Aku tidak sempat. Ini semua terjadi begitu cepat. Dia meneleponku setelah berbicara dengan Tiara."

Bram kemudian menceritakan semua yang terjadi di kafe. Tentang kemarahan Diandra, tuduhan-tuduhannya, ancaman untuk membawa masalah ini ke jalur hukum, dan akhirnya, syarat yang diajukan.

"Dia meminta agar Fara dan Risa tidak pernah terlihat atau mendekati Valeria lagi," jelas Bram. "Dan kita sudah menyepakatinya."

Dina terdiam. Ia menatap Bram, mencerna semua informasi itu. Ia tidak tahu harus merasa lega atau marah. Lega karena masalahnya tidak sampai ke pengadilan, tetapi marah karena ia tidak dilibatkan.

"Jadi, kita sudah kehilangan Fara?" tanya Dina, suaranya bergetar.

"Kita tidak kehilangan Fara," kata Bram, suaranya tegas. "Dia masih ada bersama kita."

Dina menghela napas. "Tapi bagaimana dengan di sekolah? Mereka pasti akan bertemu. Tidak mungkin kita memindahkan Fara lagi ke sekolah lain, apalagi dia baru dua hari di sekolah ini. Apa yang harus kita jelaskan pada sekolah baru nantinya?"

Bram meraih tangan Dina, meyakinkannya. "Aku akan berbicara dengan Fara agar dia menghindar dan tidak mendekati Valeria. Aku akan memintanya untuk tidak mengganggunya lagi. Percayalah padaku, Sayang. Ini adalah cara terbaik."

"Ya sudah, semoga dia mau mendengarkan kamu, Bram," kata Dina, suaranya penuh harapan.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!