Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Luka dan Harapan.
Di gerbang sekolah, Aluna berjalan dengan langkah ragu. Ia menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. Ia tahu hari ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak menyangka akan secepat ini.
Ketika ia melangkahkan kaki melewati gerbang, pandangannya langsung bertemu dengan Fara yang sudah menunggunya di depan. Jantung Aluna berdebar kencang. Ia menghentikan langkahnya, bersiap untuk menghadapi skenario terburuk.
Fara yang melihat Aluna, juga terdiam. Ia melihat Aluna yang berdiri mematung. Fara menunduk, mengingat kata-kata ayahnya yang menyuruhnya untuk meminta maaf. Dengan keberanian yang dikumpulkan, Fara melangkah mendekati Aluna.
Fara berdiri di depan Aluna, namun ia tidak berani menatap wajahnya. "Aluna," bisiknya, suaranya bergetar. "Gue... gue minta maaf dan gue sangat sangat menyesal, Aluna ."
Aluna terkejut. Ia tidak menyangka kata itu yang akan keluar dari mulut Fara. Ia hanya diam, menatap Fara dengan tatapan bingung.
Fara menunduk, tidak berani menatap mata Aluna. Ia tahu perkataannya tidak akan cukup untuk memperbaiki semua kesalahannya, tetapi ia harus melakukannya.
"Gue tahu gue udah banyak salah sama lo," kata Fara, suaranya bergetar. "Gue udah nyakitin hati lo, dan gue enggak akan maksa lo untuk maafin gue, Aluna. Tapi gue berharap... lo mau maafin gue."
Fara mengangkat kepalanya sebentar, menatap Aluna. "Selain jadi sepupu, gue harap kita bisa berteman. Lo enggak usah jawab sekarang, lo bisa pikir-pikir dulu. Kalau begitu, gue duluan."
Setelah mengatakan itu, Fara berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan Aluna yang masih berdiri mematung.
Aluna hanya bisa menatap punggung Fara yang menjauh. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata itu. Aluna terdiam, mencerna setiap kalimat yang baru saja ia dengar. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan: kaget, bingung, dan sedikit rasa sakit.
Tepat saat itu, Revan datang dan melihat Aluna yang masih berdiri mematung. Ia pun menghampiri Aluna, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Aluna, lo kenapa? Lo baik-baik aja, kan?" tanya Revan, suaranya lembut.
Aluna menoleh ke arah Revan, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Gue enggak tahu, Revan," jawabnya, suaranya terdengar bingung. "Gue bingung dan kaget."
Revan meraih pundak Aluna, tatapannya penuh perhatian. "Kenapa? Apa yang terjadi? Tadi gue lihat Fara pergi dari sini. Apa dia melakukan sesuatu lagi sama lo?" tanyanya, suaranya terdengar cemas.
Aluna menatapnya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Enggak... dia... dia minta maaf, Revan."
Mata Revan membulat, tidak percaya. "Minta maaf?"
Aluna mengangguk. "Dia bilang dia enggak akan maksa gue buat maafin dia, tapi dia berharap kita bisa berteman. Dia bilang dia menyesal. Gue... gue enggak tahu harus gimana. Gue enggak pernah nyangka dia akan bilang gitu."
Revan terdiam, mencerna kata-kata itu. Ia tahu betapa Fara telah menyakiti Aluna. "Gue tahu ini berat, Lun. Setelah semua yang dia lakuin ke lo," kata Revan dengan hati-hati. "Tapi gue enggak bisa kasih tahu lo apa yang harus lo lakuin. Keputusan ini cuma milik lo."
Aluna menghela napas. "Gue bingung, Rev. Di satu sisi, gue masih sakit hati. Tapi di sisi lain... gue lihat dia kayak tulus banget. Gue enggak pernah lihat dia kayak gitu."
"Ambil waktu lo," saran Revan. "Pikirin baik-baik. Kalau lo mau maafin dia, itu hak lo. Kalau enggak, itu juga hak lo. Enggak ada yang bisa maksa."
Kata-kata Revan sedikit menenangkan Aluna. Ia mengangguk. "Makasih, Rev. Gue... gue harus ke kelas sekarang."
Revan mengangguk dan menemani Aluna berjalan menuju kelas mereka. Sepanjang jalan, Aluna terus memikirkan apa yang Fara katakan. Permintaan maaf itu begitu tulus, tetapi luka yang ditinggalkan Fara begitu dalam. Aluna tahu, ia tidak bisa langsung memaafkan Fara, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kata-kata itu. Untuk saat ini, ia akan menyimpan semua perasaannya dan membiarkan waktu yang menjawabnya.
Sesampainya di kelas IPA 1, Revan dan Aluna melihat Fara sudah duduk di bangkunya, di samping bangku Aluna. Fara menunduk, tidak berani menatap Aluna.
Aluna menoleh ke arah Revan, matanya dipenuhi keraguan. Revan mengangguk, meyakinkannya untuk berjalan ke bangkunya. Aluna menarik napas dalam, lalu melangkah perlahan.
Revan pun berjalan ke bangkunya sendiri. Tepat saat itu, Kian dan Liam masuk ke kelas. Mereka bisa langsung merasakan suasana yang tegang dan canggung di antara ketiga teman mereka. Kian dan Liam berjalan menuju bangku mereka yang tidak jauh dari Revan.
"Ada apa sih? Kok suasananya beda banget antara Aluna dan Fara?" bisik Kian pada Revan.
Revan menoleh ke arah Kian dan Liam, tatapannya serius. Ia tahu ini bukan saatnya untuk membicarakan masalah Fara. Ini adalah hal pribadi.
"Enggak ada apa-apa," jawab Revan, suaranya pelan. "Ada sesuatu yang terjadi pagi tadi, tapi itu urusan mereka. Kita enggak usah ikut campur."
Kian dan Liam saling berpandangan, menyadari bahwa Revan tidak akan memberikan jawaban lebih lanjut. Mereka mengangguk mengerti dan duduk di bangku masing-masing.
Suasana kelas kembali hening, namun ketegangan di antara Fara dan Aluna masih terasa. Fara masih menunduk, tidak berani mengangkat wajahnya. Aluna hanya duduk diam, memandang ke depan. Tak lama kemudian, guru pun masuk ke kelas, dan pelajaran dimulai.
Sepanjang pelajaran, Fara tidak berani melirik ke arah Aluna. Pikirannya dipenuhi penyesalan. Sementara itu, Aluna berusaha fokus pada pelajaran, meskipun hatinya masih bergejolak. Kata-kata Fara terus terngiang di benaknya.
Bel istirahat berbunyi. Di kelas Valeria IPA 2, Damian yang duduk di sampingnya langsung menoleh. "Mau istirahat bareng Aluna lagi?" tanyanya.
"Iya," jawab Valeria.
"Oke, ayo kita ke kelas mereka," ajak Damian.
Keira dan Naila yang sudah merapikan buku mereka, menghampiri bangku Valeria dan Damian. "Ayo istirahat," ajak Keira.
"Kita mau jemput Aluna di kelas dan ngajak dia ke kantin, kan?" tanya Naila, memastikan.
Valeria dan Damian mengangguk. Mereka berempat keluar dari kelas dan berjalan bersama menuju kelas IPA 1.
Dikelas IPA 1, Aluna masih duduk di bangkunya, menatap Fara yang masih menunduk. Ia tahu ini saatnya memberi jawaban.
"Maaf, Fara," kata Aluna dengan suara pelan. "Gue enggak bisa kasih jawaban sekarang. Jujur, gue masih bingung dan masih ragu dengan apa yang barusan lo katakan."
Fara mengangkat kepalanya, ada nada sedih di matanya, tetapi ia mengangguk. "Enggak apa-apa, itu wajar, Aluna," jawab Fara. "Gue kan sudah bilang, gue enggak maksa lo. Lo bisa pikirin dulu, enggak usah terburu-buru kasih jawabannya."
Aluna terdiam, merasa sedikit lega. Ia kemudian mengajukan tawaran tak terduga. "Fara, mau istirahat bareng?"
Fara terkejut, matanya membelalak. "Bukannya lo sekarang istirahat sama Valeria, Keira, dan Naila?" tanyanya, suaranya ragu.
"Iya. Tapi lo bisa bareng dan ikut gabung sama kita," kata Aluna, mencoba meyakinkan.
Fara menggeleng. "Enggak, enggak usah. Pasti Valeria juga enggak mau gue ikut gabung," gumamnya, terlihat jelas rasa takut dan tidak percaya dirinya.
"Gue akan bilang sama Valeria dan tanya sama dia apa lo boleh gabung sama kita," balas Aluna, penuh tekad.
Tepat saat itu, Valeria, Keira, Naila, dan Damian tiba di depan kelas mereka.
"Aluna, ayo istirahat bareng!" ajak Keira.
Aluna menoleh ke arah mereka, lalu bangkit dan menghampiri. "Valeria, boleh ngomong sebentar?"
Valeria mengangguk, bingung dengan ajakan itu. "Lo mau ngomong apa?"
"Ayo, ikut gue," kata Aluna sambil menarik tangan Valeria menjauh dari teman-teman mereka. Keira, Naila, dan Damian menatap mereka, terlihat bingung dengan situasi yang tiba-tiba ini.
Aluna membawa Valeria menjauh dari Damian, Keira, dan Naila hingga mereka berada di ujung koridor yang sepi. Valeria menatapnya dengan bingung.
"Ada apa, Lun? Lo kelihatan serius banget," tanya Valeria.
Aluna menarik napas dalam. "Tadi pagi, Fara nungguin gue di depan gerbang. Dia minta maaf," kata Aluna, suaranya pelan.
Valeria terdiam, terkejut. "Minta maaf? Maksud lo?"
Aluna menceritakan semua yang terjadi: Fara yang datang dan meminta maaf, dan bagaimana Fara menolaknya untuk bergabung dengan mereka saat istirahat karena Fara takut Valeria tidak menginginkannya.
"Gue enggak tahu harus gimana, Val," kata Aluna. "Gue butuh waktu untuk maafin dia. Tapi gue kasihan sama dia. Dia kelihatan tulus banget."
"Tadi dia mau gue ajak gabung, tapi dia nolak karena takut lo enggak suka. Jadi... boleh enggak gue ajak dia gabung sama kita? Gue janji, gue akan bilang sama dia buat enggak bikin masalah lagi," tanya Aluna, penuh harap.
Valeria terdiam. Pikirannya langsung melayang pada pesan mamanya. Ia harus menjauhi Aluna dan Fara. Namun melihat mata Aluna yang penuh harap, hatinya terasa sakit. Ia tahu Aluna adalah korban sama seperti dirinya. Akan tetapi, Fara adalah pelaku yang telah menyakitinya.
Valeria menghela napas. Ia menatap Aluna dengan tatapan penuh dilema.
"Aluna... gue..." Valeria menunduk, tidak sanggup menatap sahabatnya. "Gue enggak tahu harus jawab apa. Jujur, gue masih sakit hati dengan apa yang Fara lakuin. Dan... Mama gue bilang gue harus jauhin dia."
Valeria mengangkat wajahnya kembali. "Maaf, Aluna. Tapi... gue enggak bisa langsung setuju kalau lo mau ajak dia gabung sama kita. Gue butuh waktu untuk pikirin ini."
Aluna terdiam, ia mengangguk mengerti. "Enggak apa-apa, Val. Gue ngerti," jawabnya. "Gue juga enggak mau paksain lo."
Valeria menatapnya lagi, matanya menunjukkan rasa bersalah. "Tapi kalau lo mau istirahat ke kantin bareng dia, silakan. Bagaimana pun juga, dia sepupu lo, kan?"
Aluna mengangguk mengerti, kemudian keduanya kembali berjalan ke arah Damian, Keira, dan Naila. Ekspresi mereka dipenuhi rasa penasaran.
Valeria menatap Aluna, lalu beralih ke teman-temannya. "Keira, Naila, kita ke kantin duluan, yuk," ajaknya.
Naila terkejut. "Tapi Aluna?"
Valeria kembali menatap Aluna, nadanya berubah serius. "Aluna mau ke kantin sama Fara."
Seketika, seluruh kelas hening. Keira, Naila, dan Damian yang ada di dekat mereka membelalakkan mata. Revan, Kian, dan Liam yang masih duduk di bangku mereka juga terkejut. Fara yang masih menunduk di bangkunya, terdiam, dan langsung menatap Aluna dengan tatapan terkejut.
Valeria mengangguk pada Aluna, seolah memberikan isyarat. "Jadi, ayo kita ke kantin. Damian, lo mau ikut kita?"
Damian mengangguk, masih bingung. Keira menepuk bahu Aluna. "Kalau begitu, Aluna, kita duluan ya," katanya.
Valeria, Keira, Naila, dan Damian berjalan menuju kantin, meninggalkan Aluna yang masih berdiri di depan pintu kelas. Setelah mereka pergi, Aluna kembali menghampiri Fara.
Di meja lain, Liam menatap Revan dan Kian. "Ayo kita ke kantin juga," ajaknya.
"Ya," jawab Revan.
Revan, Kian, dan Liam kemudian keluar kelas, meninggalkan Aluna dan Fara berdua di dalam kelas.
Aluna mengulurkan tangannya pada Fara. "Fara, ayo."
Fara menatap Aluna, matanya dipenuhi kepanikan. "Apa yang lo lakuin, Aluna?!" teriaknya.
Fara segera menutup mulutnya, menyesal. "Maaf, bukan maksud gue teriak sama lo. Ini salah gue. Harusnya gue enggak terima ajakan lo. Sebenarnya gue harus menjauhi Valeria," kata Fara, suaranya bergetar.
"Tapi kenapa, Fara?" tanya Aluna, bingung.
Fara menunduk, air matanya mulai menggenang. "Itu sudah kesepakatan antara Papa gue dan ibunya Valeria."
Aluna terdiam, mencerna kata-kata Fara. Ia tidak menyangka masalah ini begitu rumit dan melibatkan orang tua mereka. Rasa kaget dan bingung bercampur dengan sedikit rasa iba saat ia melihat Fara yang terlihat sangat rapuh.
"Kesepakatan?" tanya Aluna, suaranya pelan. "Maksud lo apa? Kenapa mereka membuat kesepakatan seperti itu?"
Fara menghapus air matanya, menarik napas dalam-dalam. "Papa gue... dia kecewa banget sama gue," bisiknya. "Dia bilang, gue harus belajar tanggung jawab atas perbuatan gue. Dan ibunya Valeria... dia bilang gue harus menjauhi Valeria."
Aluna menghela napas. Ia menatap Fara, mulai memahami semua yang terjadi. "Jadi... itu kenapa Valeria bersikap seperti itu?"
Fara mengangguk. "Papa gue juga bilang, ini semua demi kebaikan gue. Supaya gue tidak mengulangi kesalahan yang sama," jawabnya. "Dia ingin gue belajar jadi orang yang lebih baik."
Fara menunduk, air matanya menetes. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih jujur dari sebelumnya.
"Papa juga bilang, supaya gue enggak menyakiti lo lagi. Papa berharap gue dan lo bisa dekat, bukan sekadar sepupu tapi sebagai teman," kata Fara. "Tapi gue mau lo tahu, gue minta maaf dan mau jadi teman lo itu bukan karena perintah Papa gue. Gue benar-benar mau berubah, memperbaiki semuanya antara lo dan gue."
Fara mengangkat kepalanya, menatap Aluna. Matanya dipenuhi harapan yang tulus.
Aluna menatap Fara, mencerna setiap kata yang ia dengar. Ia melihat kepedihan dan penyesalan yang begitu nyata di mata sepupunya. Aluna kini mengerti, masalah ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. Ini bukan lagi sekadar fitnah, melainkan tentang hati yang terluka, rasa takut, dan harapan untuk berubah.
Fara menunduk, isakannya kembali terdengar. Ia menatap Aluna dengan mata penuh air mata. "Tolong bantu gue," bisik Fara, suaranya parau. "Gue enggak tahu harus mulai dari mana."
Aluna terdiam. Ia melihat Fara yang dulu penuh dengan kesombongan kini hancur dan memohon bantuan. Di matanya, Fara bukan lagi musuh, melainkan sepupunya yang sedang kesakitan.
Tanpa berpikir panjang, Aluna melangkah mendekat. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memeluk Fara erat. Tubuh Fara menegang sesaat, lalu melunak. Ia membalas pelukan Aluna, membenamkan wajahnya di bahu Aluna, dan menangis sejadi-jadinya. Tangisnya bukan lagi tangisan amarah, melainkan tangisan penyesalan yang telah lama ia tahan.
...Hanya ilustrasi gambar....
Aluna mengusap punggung Fara, membiarkannya melepaskan semua beban yang selama ini ia pikul. Di dalam pelukan itu, Aluna telah memberikan jawaban atas semua pertanyaan. Ia telah memilih untuk memaafkan.
Aluna melepaskan pelukannya, menatap Fara dengan senyum tulus yang terasa seperti sinar matahari setelah badai. "Kita ke kantin, yuk," ajaknya.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Fara mengangguk. Dia tidak berkata apa-apa, tapi tatapan matanya sudah cukup menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam. Mereka berdua berjalan keluar dari kelas, beriringan untuk pertama kalinya.
Saat mereka tiba di kantin, suasana yang ramai tiba-tiba hening. Semua mata langsung tertuju pada mereka berdua. Aluna dan Fara memilih meja yang agak jauh dari keramaian dan duduk berhadapan. Mereka tahu semua mata tertuju pada mereka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka telah memulai lembaran baru.
Di meja Valeria, semua terdiam. Keira yang tadinya hendak bicara, membeku di tempat.
"Mereka..." gumam Keira, tak bisa melanjutkan kata-katanya. "Mereka berdua..."
Valeria hanya menatap. Matanya dipenuhi rasa tak percaya. Ia merasa campur aduk: senang melihat Aluna tidak lagi sendirian, tetapi juga merasa sakit hati. Di satu sisi, ia adalah sahabat Aluna. Di sisi lain, ia adalah putri dari Diandra dan korban dari Fara. Ia masih butuh waktu untuk mencerna semua ini.
Di seberang kantin, Revan, Kian, dan Liam juga mengamati pemandangan itu. Revan tersenyum tipis, merasa lega. "Fara tadi pagi minta maaf sama Aluna," bisik Revan. "Aluna bilang butuh waktu, tapi sepertinya mereka sudah mulai berbaikan."
"Gila," gumam Liam, tidak menyangka.
Aluna dan Fara duduk berdua. Mereka tidak memesan makanan. Mereka hanya duduk dalam keheningan yang terasa nyaman, menikmati waktu mereka sendiri.
Di meja Valeria, Damian memecah keheningan yang canggung. Ia menoleh ke arah Valeria, matanya penasaran.
"Tapi ngomong-ngomong, Val," kata Damian, suaranya pelan. "Tadi lo sama Aluna, kalian bicarain apa?"
Seketika, semua mata tertuju pada Valeria. Keira, Naila, Revan, Kian, dan Liam yang duduk di meja masing-masing, semuanya menunggu jawaban. Mereka tahu ada sesuatu yang besar telah terjadi, dan Valeria adalah satu-satunya yang tahu kebenarannya.
Valeria menghela napas, menatap mata teman-temannya yang penuh rasa ingin tahu. Ia tahu ia tidak bisa menceritakan semuanya, terutama tentang kesepakatan orang tua mereka.
"Pagi tadi, Fara minta maaf ke Aluna," jawab Valeria, suaranya pelan dan jujur. "Fara bilang dia menyesal dan mau memperbaiki semuanya."
Damian, Keira, dan Naila terkejut, saling bertukar pandang. Di meja seberang, Revan dan teman-temannya juga mendengar.
"Aluna bilang dia butuh waktu. Tapi kayaknya, dia sudah mengambil keputusan," lanjut Valeria, menatap Aluna dan Fara yang terlihat akrab dari jauh. "Gue juga... masih bingung. Masih sakit hati, tapi di sisi lain gue juga senang kalau Aluna akhirnya enggak sendirian lagi."
Valeria menatap teman-temannya, meminta pengertian. "Gue butuh waktu untuk mencerna semua ini. Jadi, gue harap kalian mengerti kenapa kita enggak langsung gabung ke mereka."
Damian mengangguk. "Santai, Val. Kami ngerti. Keputusan lo sudah benar kok," jawabnya.
Keira dan Naila juga mengangguk setuju, mendukung keputusan Valeria. Mereka semua menatap Aluna dan Fara yang duduk berdua, menyadari bahwa hubungan di antara mereka tidak akan pernah sama lagi.
Kian menoleh ke arah Valeria, "Jadi intinya tadi Aluna minta lo untuk mengajak Fara gabung ke kantin bareng kalian?" tanyanya, mencoba memastikan pemahamannya.
Valeria mengangguk. "Ya," jawabnya singkat, masih memikirkan percakapannya dengan Aluna.
Damian dan Naila mengangguk mengerti, mereka menatap Keira. Keira membalas tatapan Damian dan Naila, lalu menatap Valeria dengan tulus.
"Ya, gue jadi lo juga pasti enggak mudah buat ngajak Fara gabung sama kita," kata Keira. "Apalagi mengingat apa yang Fara lakuin, sampai sekarang gue yang bukan korban aja masih sebal lihat dia."
Damian dan Naila mengangguk setuju, menunjukkan bahwa mereka juga merasakan hal yang sama. Valeria tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena teman-temannya memahami perasaannya.
Di tengah-tengah percakapan mereka, bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Revan bangkit dari kursinya.
"Ya sudah, kita ke kelas. Sudah bel," kata Revan kepada Kian dan Liam.
Mereka bertiga berjalan keluar dari kantin, diikuti oleh Valeria, Damian, Keira, dan Naila. Aluna dan Fara juga bangkit dari meja mereka, berjalan beriringan di belakang yang lain.
Suasana di koridor terasa berbeda. Tidak ada yang berani menatap atau menyapa Aluna dan Fara. Semua orang hanya melihat ke depan, namun kecanggungan dan pertanyaan tak terucap terasa begitu kental di udara.
Saat Aluna dan Fara masuk ke kelas bersamaan, bisik-bisik langsung terdengar dari penjuru ruangan.
"Lihat deh, mereka barengan!"
"Kok bisa? Bukannya Fara yang fitnah Aluna?"
"Gila... mereka beneran baikan?"
"Habis bikin drama, sekarang pura-pura akur?"
"Nggak nyangka Aluna mau maafin."
Bisik-bisik itu bagai lebah yang berdengung, memenuhi ruangan. Fara menunduk, pipinya memerah karena malu. Tapi Aluna tetap tegak, menatap lurus ke depan seolah tidak mendengar apa pun. Ia menggenggam tangan Fara, seolah berkata, "Kita hadapi ini bersama."
Aluna dan Fara berjalan ke bangku mereka dan duduk. Mereka mengambil buku dan pena, berusaha untuk fokus pada pelajaran, meskipun bisik-bisik dan tatapan penasaran masih terasa di sekitar mereka.
Fara melirik Revan, Kian, dan Liam yang duduk tidak jauh dari mereka. Mereka terlihat santai, tetapi Fara bisa merasakan ada yang berbeda. Fara kembali menunduk, berusaha untuk tidak peduli dengan bisik-bisik yang masih terdengar.
"Kok mereka bisa baikan?"
"Kayaknya Aluna kasihan sama Fara."
"Atau Fara yang manfaatin Aluna?"
Aluna menoleh ke arah Fara, yang tampak gelisah. Aluna tersenyum, lalu menepuk punggung Fara, memberikan ketenangan tanpa kata.
Sementara itu, di kelas IPA 2, Valeria duduk di bangkunya dalam diam. Meskipun tubuhnya tenang, isi kepalanya berisik. Pikirannya melayang-layang, memutar kembali adegan yang baru saja ia saksikan di kantin. Ia bingung harus merasa apa. Ia senang Aluna tidak lagi sendirian, tetapi ia juga masih merasa sakit hati pada Fara. Ditambah lagi, perintah mamanya untuk menjauhi Fara membuat batinnya bergejolak.
Di sampingnya, Damian menatap Valeria. Ia bisa merasakan kegelisahan yang memancar dari gadis itu. Damian mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Valeria dengan lembut, mencoba menariknya kembali dari lamunannya.
"Val?" panggilnya pelan. "Lo enggak apa-apa?"
Valeria menatap Damian, matanya berkaca-kaca. Ia menarik napas, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Gue enggak tahu harus apa, Damian," bisiknya, suaranya bergetar. "Sebenarnya, Mama gue..."
"Mama lo kenapa, hm?" tanya Damian lembut, mengusap rambut Valeria.
Valeria terdiam, tidak sanggup melanjutkan.
"Dia..."
"Dia?"
Valeria terdiam lagi, kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. Damian melihat perjuangan di wajahnya.
"Val, kalau lo enggak mau cerita, ya sudah enggak usah. Jangan dipaksain," kata Damian, kembali mengusap rambutnya dengan menenangkan.
...Hanya ilustrasi gambar....
Mendengar itu, Valeria akhirnya menunduk. Air matanya jatuh. "Mama larang gue untuk dekat dan berteman dengan Aluna dan Fara. Gue harus menjauh dari mereka," ucapnya dengan suara parau.
Seketika, tangan Damian berhenti mengusap rambut Valeria. Ia terkejut, mencoba mencerna perkataan itu.
Tepat saat itu, guru yang mengajar masuk ke dalam kelas. Damian melihatnya dan segera menurunkan tangannya dari rambut Valeria.
"Kita bicarakan ini nanti, setelah pulang sekolah," bisik Damian.
Valeria menatap Damian, air matanya menetes. Damian mengulurkan jarinya, menghapus air mata itu dengan lembut, memberikan janji tanpa kata bahwa ia akan ada di sana.
Mereka berdua kembali ke posisi duduk masing-masing, mencoba fokus pada pelajaran. Namun, pikiran Valeria masih kacau, dan ia bisa merasakan kekhawatiran Damian yang begitu nyata.
Selama satu jam pelajaran, Valeria tidak bisa fokus. Telinganya mendengarkan, tetapi pikirannya entah ke mana. Di sampingnya, Damian menggenggam tangan Valeria di bawah meja, seolah memberikan jangkar yang menahan Valeria dari kegelisahannya. Genggaman tangan itu terasa begitu menenangkan, sebuah pengingat bahwa ia tidak sendirian.
Akhirnya, bel pulang sekolah berbunyi. Guru mengakhiri pelajaran dan kemudian meninggalkan kelas. Para murid lainnya mulai keluar kelas.
Naila dan Keira yang sudah merapikan buku-buku mereka, ingin menghampiri Valeria. Namun, tepat saat itu, Damian melihat mereka dan berkata, "Kalian duluan saja."
Naila dan Keira mengangguk mengerti, mereka meninggalkan Valeria dan Damian yang masih duduk di bangku. Kelas IPA 2 menjadi hening, menyisakan mereka berdua.
Damian bangkit dari duduknya. Ia mengulurkan tangan ke arah Valeria yang masih mematung di bangku.
"Ayo, ikut gue," ajak Damian dengan nada lembut.
Valeria menatapnya, matanya penuh pertanyaan.
"Ke mana?" tanyanya.
"Udah, ayo, bangun, Val," desak Damian, senyum kecilnya menenangkan.
Valeria mengangguk. Ia meraih tangan Damian, bangkit dari duduknya, dan mengikuti langkahnya keluar dari kelas yang sudah kosong.
Damian membawa Valeria ke taman belakang sekolah yang sepi, di mana hanya ada pepohonan dan rerumputan hijau. Setibanya di sana, Damian menuntun Valeria untuk duduk di atas rumput. Ia kemudian duduk di hadapan Valeria, menatapnya.
Tiba-tiba, angin berembus, membuat rambut Valeria berterbangan hingga menutupi wajahnya. Damian melihat itu, ia mengulurkan tangannya, merapikan rambut Valeria dengan lembut.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Jadi, mama lo nyuruh lo untuk enggak dekat dan berteman dengan Fara dan Aluna?" tanya Damian, suaranya tenang.
Valeria mengangguk. "Iya. Tapi gue mau tetap temenan sama Aluna, Dam," katanya, matanya penuh air mata. "Tapi... Mama enggak suka," lanjut Valeria, suaranya melemah.
Damian terdiam sejenak. Ia menggenggam tangan Valeria, menatap matanya yang berkaca-kaca.
"Gue enggak tahu kenapa nyokap lo larang lo deket sama mereka," kata Damian, suaranya lembut. "Tapi, gue tahu kalau lo sayang sama Aluna. Dan itu yang penting."
"Lo enggak harus milih di antara mereka, Val. Lo cuma harus dengerin hati lo sendiri," lanjut Damian. "Gue akan dukung lo, apa pun keputusan lo. Gue ada di sini, buat lo."
Kata-kata Damian memberikan ketenangan yang sangat dibutuhkan oleh Valeria. Ia merasa bebannya sedikit terangkat. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian dalam menghadapi dilema ini. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia punya Damian.
Damian terdiam, Ia kemudian tersenyum, mencoba mengubah suasana yang tegang.
"Hah. Tapi ngomong-ngomong, besok libur nih. Lo ngapain kalau libur?" tanya Damian, mencoba mencairkan suasana.
"Belajar di rumah," jawab Valeria dengan nada datar.
Damian terkejut. "Apa? Belajar? Enggak asik banget sih, Val," protesnya.
Valeria menghela napas. "Memang iya. Mama sudah buat jadwal les buat gue seminggu penuh, dan gue... gue enggak bisa nolak," kata Valeria, suaranya dipenuhi rasa lelah.
Valeria menunduk, memainkan jarinya. Suaranya menjadi sangat pelan, seolah takut ada yang mendengar.
"Lo tahu enggak sih, Dam," bisiknya. "Ada saatnya gue lelah. Gue capek. Rasanya gue pengin keluar dari rumah dan kabur pergi yang jauh. Tapi masalahnya, gue enggak tahu mau pergi ke mana, ke siapa."
Damian terdiam. Ia menatap Valeria, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu. Ia tidak menyangka beban yang dipikul Valeria sebesar itu. Kata-kata Valeria bukan lagi sekadar keluhan, melainkan sebuah pengakuan yang menyakitkan. Ia melihat rasa putus asa yang mendalam di mata gadis yang ia cintai.
Damian menggeser duduknya, mendekat ke arah Valeria. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menarik Valeria ke dalam pelukannya. Ia tahu, saat ini Valeria tidak butuh kata-kata. Ia hanya butuh seseorang yang bisa mendengar dan memahaminya.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Setelah beberapa saat, Damian melepaskan pelukannya. Ia menatap Valeria, memegang kedua tangannya.
"Gue enggak nyangka lo ngerasain ini," kata Damian, suaranya dipenuhi rasa prihatin. "Gue ngerti lo capek, Val. Gue juga enggak suka lihat lo tertekan kayak gini."
Damian tersenyum lembut. "Lo enggak sendirian. Gue ada di sini. Kapan pun lo butuh, gue siap dengerin. Gue siap bantu lo cari jalan keluarnya."
Valeria menatap Damian, matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah berpikir ada seseorang yang akan mengerti dan mendukungnya sejauh ini.
Valeria hendak menjawab, tetapi tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat nama Tante Kiara di layar. Valeria segera mengangkat telepon.
"Halo, Tante?"
"Val, Tante sudah di depan," kata Tante Kiara di ujung telepon. "Kamu di mana?"
"Bentar, Tan. Valeria sebentar lagi jalan ke depan," jawab Valeria.
"Ya sudah, Tante tunggu," balas Kiara.
Setelah menutup telepon, Damian bangkit dan mengulurkan tangannya. "Ayo," ajaknya.
Valeria menyambut tangan Damian, lalu mereka berdua berjalan beriringan menuju gerbang sekolah.
Damian dan Valeria berjalan keluar gerbang sekolah. Sebuah mobil hitam sudah menunggu, dan Tante Kiara terlihat melambaikan tangan dari dalam.
Mereka menghampiri mobil itu. Damian tersenyum sopan. "Siang, Tante. Saya pamit dulu."
Tante Kiara tersenyum tipis. "Oh, Damian? Terima kasih sudah menemani Valeria."
"Sama-sama, Tante. Kalau begitu, saya duluan," kata Damian, lalu ia mengangguk pada Valeria. "Sampai ketemu lagi."
Valeria membalas anggukan Damian, lalu masuk ke dalam mobil. Damian pun berbalik, berjalan menjauh.
Bersambung.....