NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruang yang Terlalu Sesak

Awalnya aku pikir badai sudah berlalu. Surat terbuka yang kukirimkan diterima baik oleh publik. Reno menghilang dari radar setelah reputasinya jatuh karena bocoran rekaman ilegal. Arka pun mulai kembali menjadi suami yang tenang, lembut, dan penuh dukungan.

Tapi ternyata, badai tidak pernah benar-benar pergi.

Dia hanya pindah bentuk.

“Kenapa kamu nggak jawab teleponku tadi siang?”

“Lima menit nggak bikin aku hilang, Ka.”

“Tapi kamu tadi di kantor Reno, kan?”

“Itu yayasan, bukan kantornya. Kami hanya satu gedung.”

“Kenapa kamu nggak cerita dari awal?”

“Karena aku tahu kamu akan bereaksi seperti ini.”

Itu adalah potongan pertengkaran kami malam tadi. Bukan yang pertama, tapi yang paling dingin.

Arka tidak pernah memukulku. Tidak pernah berteriak. Tapi sorot matanya yang biasanya hangat dan menjagakukini seperti menuduh, seperti memburu, seperti tidak percaya.

“Aku hanya ingin kamu aman,” katanya setiap kali aku mengeluh tentang sikapnya yang semakin mengekang.

Tapi semakin lama, definisi “aman” miliknya terasa seperti penjara.

***

Dan di tengah tekanan itu, aku tahu tubuhku mulai berubah.

Mual setiap pagi, kelelahan yang berlebihan.

Perubahan rasa makan yang aneh dan yang paling mencolok terlambat haid lebih dari enam minggu.

Aku tidak langsung pergi ke dokter. Tidak juga membeli test pack. Tapi dalam hati aku tahu, aku hamil.

Bukan rencana, bukan kecelakaan, tapi kejutan yang tak bisa kuterima dengan perasaan utuh.

Bukan karena aku tidak ingin menjadi ibu.

Tapi karena aku tidak tahu apakah aku siap menjadi ibu dari anak seorang suami yang kini mencintaiku seperti menggenggam pasir. Terlalu erat. Terlalu takut kehilangan, hingga akhirnya menyakiti.

***

Aku akhirnya memutuskan untuk memeriksakan diri diam-diam.

“Selamat, Bu Nayra. Usia kandungan Ibu sekitar tujuh minggu. Jantung janinnya sudah mulai berdetak,” kata dokter wanita paruh baya itu dengan senyum ramah.

Aku menangis di sana. Diam-diam dalam ruang USG yang sunyi, bukan karena sedih, tapi karena aku sendiri.

Aku memandangi layar itu, titik kecil itu, detaknya. Anakku dan Arka dan aku belum siap memberitahu ayahnya.

***

Malamnya, Arka pulang lebih awal. Wajahnya lelah, tapi ia tetap memelukku dan mencium keningku seperti biasa. Tapi aku tahu, dari tatapannya yang mengawasi saat aku ke kamar mandi terlalu lama, dari caranya mencatat waktu kapan aku keluar rumah, dan dari aplikasi yang ia pakai untuk melacak ponselku bahwa cinta ini mulai berubah bentuk.

“Aku pengen ajak kamu ke luar kota akhir pekan ini,” katanya.

“Kenapa?”

“Biar kita bisa sendiri. Tanpa gangguan.”

“Ka, aku butuh kerja juga.”

“Aku butuh kamu, Nayra.”

Kalimat itu manis, tapi nadanya tidak. Aku hanya mengangguk.

***

Di kamar, aku membuka jurnal kecil yang kini jarang aku sentuh. Aku menulis

“Mencintai itu seperti menggenggam air. Terlalu longgar, ia mengalir. Terlalu erat, ia lepas. Tapi Arka mencintaiku dengan cara yang membuatku takut. Dan aku hamil. Tapi belum siap bilang. Karena aku takut dia mencintaiku lebih keras lagi. Dan aku kehilangan diriku sepenuhnya.”

Aku menutup jurnal dan menangis pelan di balik pintu kamar mandi lagi.

***

Dua hari kemudian, gosip kembali muncul. Kali ini bukan dari media. Tapi dari karyawan yayasan sendiri. Salah satu foto lama, aku dan Reno saat acara kampus bertahun-tahun lalu muncul di akun gosip online dan meskipun tidak ada yang mengaitkan langsung, Arka tahu. Selalu tahu.

“Kenapa fotomu bisa bocor? Kamu masih simpan foto itu?” Tanya Reno dengan nada seolah menuduh.

“Bukan aku yang unggah!” Jawabku kesal.

“Kenapa kamu nggak buang dari dulu?”

“Karena aku nggak hidup untuk menghapus masa lalu tiap hari!”

Suara kami akhirnya naik juga.

Aku menangis. Arka duduk, mengacak rambutnya, frustasi.

“Aku takut kamu hilang,” katanya pelan.

“Aku terlalu takut kamu akan pilih dia.”

“Aku bahkan nggak memilih diriku sendiri sekarang, Ka.”

“Apa maksud kamu?”

Aku tidak menjawab.

Dan saat itu aku sadar, jika aku tetap di sini aku bisa tenggelam.

Bukan karena tidak ada cinta. Tapi karena cinta ini tumbuh dalam bayang-bayang rasa takut yang tak lagi sehat.

***

Malam itu aku mengepak pakaian secukupnya. Aku tidak kabur. Aku menulis surat. Meletakkannya di atas meja kerja Arka.

“Ka, aku butuh waktu. Aku sedang membawa kehidupan kecil yang akan mengubah kita selamanya. Tapi sebelum aku menjadi ibu, aku harus bisa bernapas dulu sebagai diriku sendiri. Aku mencintaimu. Tapi aku juga ingin mencintai diriku, dan anak ini, dengan tenang. Jangan cari aku untuk sementara. Aku akan kembali. Tapi hanya kalau kamu sudah siap membuka tanganmu dan bukan lagi menggenggamku terlalu erat.”

Lalu aku pergi ke rumah kecil milik tanteku di luar kota dan untuk pertama kalinya sejak menikah aku tidur dengan tenang.

Bukan karena tidak ada cinta. Tapi karena akhirnya aku memberiku ruang untuk bernapas.

***

“Pak, Bu Nayra belum kembali sejak pagi,” ujar Mbak Wati, asisten rumah tangga kami, dengan nada khawatir saat Arka turun dari ruang kerjanya sore itu.

Arka mengerutkan dahi.

“Tapi tadi pagi aku lihat dia di dapur”

“Setelah itu, saya lihat beliau bawa koper kecil dan memesan mobil online,” ujar Mbak Wati dengan suara pelan.

Detik itu juga, Arka langsung berlari ke kamar. Matanya menyapu seisi ruangan, mencari tanda-tanda keberadaan Nayra. Lemari pakaian terbuka setengah, dua pasang baju hilang, sepatu sneakers favorit Nayra tak lagi di rak, dan di atas meja secarik kertas tertinggal.

Arka mengambilnya dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin pandangannya kabur, di akhir kata dalam surat Nayra tertulis...

“Aku sedang membawa kehidupan kecil yang akan mengubah kita selamanya”

Kalimat itu menghantam keras. Dadanya sesak, napasnya tercekat.

"Nayra hamil dan dia pergi tanpa memberitahuku lebih dulu." Gumam Arka.

Arka meremas kertas itu erat-erat. Tubuhnya ambruk di atas sofa, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan apa yang udah aku lakukan”

 ***

Malam itu, Arka tak bisa tidur. Ia hanya duduk di ruang tamu dengan lampu temaram, memutar ulang kenangan bersama Nayra dari pertama kali mereka menikah tanpa cinta, hingga malam ketika Nayra memeluknya dan berkata ingin membangun rumah bersama.

Namun semua keindahan itu kini terasa jauh, kabur, seperti bayangan dalam kabut yang tak bisa disentuh lagi.

Arka mencoba menelepon Nayra, namun gagal, dia diblok.

Ia menelepon ponsel asisten pribadi Nayra. Diblok juga.

Ia membuka pelacakan lokasi yang dulu ia pasang diam-diam, sudah tidak aktif.

Ia menghubungi rumah orangtua Nayra. Tidak ada di sana. Sahabat dekat Nayra? Tidak tahu-menahu.

Nayra benar-benar pergi. Dengan rahasia yang paling penting, anak mereka.

 ***

Keesokan paginya, Arka datang ke kantor dengan wajah sayu. Semua orang melihatnya dengan rasa iba, tapi tak berani bertanya. Ia masuk ruang kerjanya, membanting pintu, dan menutup tirai kaca hingga tak seorang pun bisa melihat ke dalam.

Ia hanya duduk di kursinya, menggenggam ponsel dan membaca surat dari Nayra berulang-ulang. Ia bahkan mencetaknya dan menempelnya di dinding ruangannya seperti ingin menghukum dirinya sendiri.

Dalam rapat sore hari, suaranya datar, dingin. Tidak emosional, tapi jelas kehilangan cahaya yang biasa menyala saat berbicara tentang proyek atau ide masa depan.

Setelah rapat, ia hanya berkata pelan pada sekretarisnya,

“Batalin semua pertemuan minggu ini. Saya butuh waktu sendiri.”

 ***

Hari ketiga setelah kepergian Nayra, Arka mengemudi sendiri menuju tempat pertama yang terpikirkan, kampus lama Nayra.

Ia duduk di bangku taman, tempat Nayra pernah bercerita sering menyendiri saat kuliah dulu. Arka memandangi langit yang muram, angin berembus membawa aroma hujan.

Dia menutup matanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arka Pratama menangis. Bukan karena ditinggal. Tapi karena akhirnya dia sadar.

Ia mencintai Nayra dengan cara yang salah.

Cinta bukan pengawasan, cinta bukan rasa takut kehilangan.

Cinta adalah membiarkan seseorang tumbuh, bahkan jika itu berarti mereka menjauh untuk sementara.

 ***

Malam keempat, Arka kembali ke kamar mereka. Ia duduk di pinggir ranjang, menyentuh bantal Nayra yang masih wangi.

Lalu ia berkata sendiri dalam gelap,

“Aku janji akan berubah. Tapi kembalilah, Nayra. Biar aku bisa minta maaf sambil menatapmu dan anak kita.”

Tangisnya pecah malam itu sunyi tapi dalam.

Dan saat fajar menyingsing, Arka mengirim satu pesan suara ke nomor Nayra, yang mungkin saja tidak akan pernah didengar.

"Nayra, aku tidak ingin kamu kembali hanya karena kasihan. Aku ingin kamu pulang karena kamu tahu aku sudah siap membukakan kedua tanganku. Bukan lagi untuk menggenggam erat. Tapi untuk menerima dan menjaga dengan lebih tenang.”

“Kamu tidak harus menjawab sekarang. Tapi kamu dan anak kita selalu punya rumah di hatiku.”

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!