"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Tiga Belas
Seketika, suasana menjadi senyap. Tatapan mereka bertaut. Bukan tatapan penuh gairah seperti semalam. Tapi… tenang. Dalam. Seperti dua orang yang sedang belajar mengenal sisi baru satu sama lain.
Arka menunduk sedikit, mencium kening Raya. Lembut, tanpa paksaan. Seolah berkata, aku di sini… dan aku memilih tetap di sini.
“Aku akan bersiap ke kantor,” ucap Arka akhirnya.
“Baik, Tuan Suami,” goda Raya, menyembunyikan rona merah di pipinya dengan menyeruput kopi.
Dan untuk sesaat, apartemen itu benar-benar terasa seperti rumah—bukan tempat persembunyian.
Beberapa Jam Kemudian — Kantor
Begitu pintu Xander Corp terbuka, semuanya kembali ke tempatnya.
Setelan jas hitam rapi, ekspresi dingin yang sudah menjadi wajah khas Arka, dan langkah pasti menuju ruangannya di lantai paling atas.
Di belakangnya, Raya melangkah cepat sambil membawa beberapa dokumen yang sudah dipersiapkannya sejak pagi.
Tidak ada senyuman. Tidak ada candaan. Hanya profesionalitas yang menggantung sempurna di antara mereka.
Andine, yang melihat mereka lewat dari balik meja resepsionis, menyipitkan mata curiga.
“Terlalu sering masuk kantor bareng,” gumamnya sambil meneguk kopi. “Tapi ekspresi mereka? Datar banget…”
Ruang rapat dipenuhi suara percakapan dan derik laptop yang diketik. Di depan, layar proyektor menampilkan slide presentasi yang telah disiapkan selama berminggu-minggu.
Semua mata kini tertuju pada satu sosok—Raya.
Ia berdiri di depan ruangan, jemarinya sedikit gemetar saat memegang remote presentasi. Napasnya berusaha ia atur, tapi kegugupan itu tetap memancar dari sorot matanya.
“Selamat pagi. Hari ini saya akan mempresentasikan rencana pengembangan klien regional untuk kuartal berikutnya…”
Suara itu terdengar mantap, tapi sedikit bergetar. Mata Raya melirik sejenak ke arah Arka yang duduk di posisi utama direksi. Pria itu hanya bersandar di kursinya, ekspresinya tenang, nyaris datar—tapi ada sesuatu di sana. Sorot mata yang seolah berkata: Kau bisa. Aku percaya.
Dan entah kenapa, itu cukup.
Raya menarik napas pelan. Kalimat demi kalimat mulai mengalir lebih lancar. Tangannya tak lagi bergetar, dan ekspresinya mulai berubah, menunjukkan kepercayaan diri yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap rendah hatinya.
Ketika akhirnya presentasi itu berakhir, ruangan sunyi sejenak—lalu disambut dengan tepuk tangan.
“Good job, Raya,” ucap salah satu senior manajer.
“Sangat terstruktur dan tajam,” sahut yang lain.
Raya tersenyum kecil, sopan dan tidak berlebihan, tapi dalam hati ia menghela napas lega.
Ia melirik Arka. Lelaki itu masih duduk di kursinya. Kali ini, ekspresinya berubah sedikit—ada senyum tipis di sana. Bukan senyum profesional, tapi lebih dari itu. Semacam kebanggaan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang diam-diam memiliki satu sama lain.
Satu per satu peserta rapat mulai keluar dari ruangan. Raya tetap tinggal, membereskan dokumen dan perangkat presentasi.
Arka tak bergerak dari kursinya.
Suasana sedikit lebih tenang… sampai seorang pria paruh baya datang menghampiri Arka.
"Arka, presentasinya anak baru itu cukup impresif,” ucapnya sambil menepuk bahu Arka.
“Dia bukan anak baru, Pak Miko. Tapi terima kasih,” jawab Arka santai.
Pak Miko tertawa kecil. “Aku dengar dia adik iparmu, ya? Tapi… kelihatannya dia nggak mengandalkan status keluarga. Bagus kalau begitu.”
Arka hanya mengangguk kecil.
Tiba-tiba, Pak Miko mencondongkan tubuhnya, menurunkan nada suaranya. “Ngomong-ngomong soal keluarga, bagaimana kabar Amara?”
Raya yang sedang memungut kabel proyektor di ujung meja, secara tak sengaja mendengar percakapan itu. Tangannya refleks berhenti bergerak.
Arka mendongak sedikit, tatapannya mulai menajam.
“Sudah lama tidak kelihatan. Dulu waktu kalian masih bersama, dia sering mampir ke kantor. Sekarang benar-benar menghilang.”
Senyum Arka tak sampai ke matanya. “Amara baik-baik saja,” jawabnya singkat.
Pak Miko tampak hendak bertanya lagi, tapi suasana berubah jadi sedikit canggung. Ia hanya menepuk bahu Arka pelan sebelum berlalu pergi.
Setelah ruangan benar-benar sepi, Arka berdiri dan menghampiri Raya. “Kau mendengarnya?”
Raya menatap ke layar laptop yang hampir tertutup. “Aku tidak sengaja.”
Arka menghela napas, lalu mengangkat dagu Raya dengan dua jarinya, memaksanya menatap. “Yang ada di sini sekarang adalah kamu. Masa lalu tetap masa lalu. Dan kamu... tidak perlu takut padanya.”
Sebelum benar-benar meninggalkan ruang rapat, Arka mendekat ke arah Raya. Suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup dekat hingga hanya mereka berdua yang mendengarnya.
“Ke ruanganku saat makan siang.”
Hanya itu. Lalu ia pergi, langkahnya tenang, seperti biasa. Tapi kata-kata itu menggantung di kepala Raya—mengusik dan membangkitkan rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.
**
Kembali ke departemennya, Raya disambut dengan senyum dan ucapan selamat dari rekan-rekannya.
“Presentasinya keren, Ray!”
“Keren banget, loh. Pak Arka pasti bangga, punya adik ipar seperti kamu”
“Fix! Kamu nggak cuma cantik, tapi juga pinter!”
Raya hanya tertawa kecil dan mengucapkan terima kasih, meski hatinya masih terpaku pada bisikan Arka beberapa menit lalu. Ia belum bisa menebak apakah itu berarti ‘urusan pekerjaan’… atau ‘urusan lain’.
Belum sempat pikirannya melayang lebih jauh, Nadya—teman satu timnya—menyikut pelan lengannya.
“Eh, udah denger belum?”
“Dengar apa?”
“Anak baru pindahan dari kantor cabang. Katanya masih muda, jabatan tinggi, dan—bonusnya—gila tampan!”
Raya terkekeh. “Gosip hari ini tentang cowok ganteng, ya?”
“Ya dong, masa tentang harga cabai?” Nadya tergelak. “Namanya Keenan Leandro. Baru masuk minggu ini, tapi udah rame yang bahas. Katanya dia bakal bantu di proyek ekspansi digital.”
Keenan Leandro.
Nama itu…
Raya mengernyit. Ada getaran aneh yang merayap perlahan dari dasar pikirannya. Nama itu terdengar familiar. Terlalu familiar. Seolah ia pernah mendengar—atau bahkan mengenalnya di masa lalu.
Tapi dari mana?
Ia mencoba menggali ingatan, tapi semuanya masih buram. Suara Nadya yang semangat bergosip pun mendadak tak terdengar. Suara di sekelilingnya menghilang, terganti oleh satu nama yang terus berulang dalam pikirannya:
Keenan Leandro.
**
Jam makan siang tiba, dan seperti yang sudah dipesan, Raya melangkah menuju ruangan Arka. Degup jantungnya tak biasa. Ia bukan hanya khawatir soal kemungkinan orang lain melihat—tetapi juga soal isi pertemuan itu sendiri. Setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini, ia tak yakin bisa bersikap netral di dekat Arka.
Saat tiba di depan pintu kaca berlapis film hitam itu, ia sempat menarik napas panjang. Satu ketukan. Dua. Dan ketika pintu dibuka dari dalam, wajah Arka langsung menyambutnya.
“Masuk,” ucapnya singkat—tapi ada nada hangat yang berbeda dari biasanya.
Begitu pintu tertutup kembali, aroma makanan menguar memenuhi ruangan. Di atas meja, terhidang dua set makan siang lengkap, disusun rapi dalam piring porselen putih dengan tata letak sekelas restoran bintang lima.
“Kau... memesan semua ini?” tanya Raya dengan alis terangkat.
“Ya,” jawab Arka sambil menarik kursi untuknya. “Kupikir kita butuh waktu yang... tidak terganggu.”
“Kau membuat ini terdengar seperti kencan,” gumam Raya, setengah bercanda, setengah gugup.
Arka tersenyum miring. “Mungkin memang begitu.”
Ia berjalan ke pintu, lalu menguncinya. Ia bahkan memberi perintah pada sekretarisnya untuk melarang siapapun datang ke ruangannya selama dua jam ke depan.
To Be Continued >>>
tpi alangkah baiknya km keluar dri rmh neraka itu slmanya... prgilah yg jauh... demi kwarasan mentalmu... km brhak untuk bahagia...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........