Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Rahasia Adit
Anggi
Setelah urusan tanda tangan dan legalitas surat yang menyangkut haknya selesai, Rendra lebih dulu mengantarnya ke suite Papah Mamah sebelum kembali lagi ke suite Papa karena urusan dengan notaris belum selesai.
"Bukannya istirahat, nanti malam mau berdiri lama, cape-capean lagi," Mamah membelai rambutnya pelan. Ia hanya tersenyum sambil berusaha memejamkan mata di pangkuan Mamah.
"Papah kemana Mah?" tanyanya kemudian karena mata tak juga bisa terpejam, tanpa sadar terus membayangkan rentetan kejadian mengerikan dua hari ini.
Matanya kini berkeliling memperhatikan keadaan suite yang sepi. Hanya ada Mamah ditemani Bude Lilik yang sekarang sedang beristirahat. Menempuh perjalanan jauh bagi orang sepuh seperti beliau rupanya sangat menguras tenaga. Hingga memerlukan istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisi tubuh.
"Tadi keluar sama Lik Joko sama Pakde Rohim, nggak tahu kemana."
"Anak-anak?" maksudnya para sepupu.
"Pada ngumpul di kamar sebelah. Base campnya kan disana. Ndak mau gabung sama orang tua tua."
Ia tersenyum, mereka pasti lagi seru-seruan di kamar. Ah, jadi ingin gabung. Menikmati kebersamaan dan keriaan bersama saudara. Hal yang langka karena biasanya hanya terjadi di dua kesempatan. Saat hari raya dan saat ada yang menikah. -kalau ada yang meninggal juga kumpul keluarga, tapi nggak mungkin seru-seruan, sedih bareng malahan-
"Adit juga di sebelah?" ia sampai harus mengingat kapan terakhir kali mereka ngobrol. Sepertinya sudah lama sekali. Hm, kangen juga diusilin Adit.
"Iyalah, wong punya partner gitu."
Ia tertawa, "Siapa? Shandy?"
"Siapa lagi."
Ia pun semakin menyembunyikan kepala di pangkuan Mamah.
"Semalam ada kejadian apa?"
Pertanyaan Mamah membuatnya terkesiap. "Kenapa Mamah nanya gitu?" tanyanya hati-hati. Apa jangan-jangan Mamah tahu kejadian semalam? Jujur ia takkan sanggup menjelaskan apa yang terjadi, meski itu pada Mamah sekalipun.
"Enggak," Mamah kembali membelai rambutnya lembut. "Itu kata anak-anak semalam ada ramai-ramai di lantai atas. Ada polisi segala."
"Lantai tempat kamu bukan?"
Ia pura-pura tak mendengar.
"Mamah selalu berdoa, semoga kamu dijauhkan dari hal buruk."
"Aamiin," untuk yang ini ia menjawab dengan cepat.
"Terus gimana?" kali ini Mamah tersenyum.
"Gimana apanya?" ia balik bertanya. Apa Mamah masih mau membahas keributan semalam di lantai atas?
"Kamu sama Rendra...."
Ia mengernyit memandang Mamah, "Gimana apanya Mah?"
Senyum simpul Mamah justru membuatnya tertawa malu. "Apa ih Mamah."
Mamah tak menjawab, namun masih terus membelai rambutnya. "Dia sabar nungguin kamu?"
"Nungguin apa ih Mamah?" ia makin salah tingkah.
"Dia memperlakukan kamu dengan baik ndak?"
Ia mengangguk-angguk sambil tersipu malu.
"Jadi udah?"
Ia kembali tertawa malu, "Udah apa ih Mamah. Aku kan baru selesai haid. Belum lah," jawabnya sambil menahan malu.
"Lho, kamu ndak bilang kalau udah beres?" Mamah mengernyit. "Udah seminggu lebih loh ini. Udah lama."
Ia mendecak malu. "Mamah kenapa bahas ini sih," pipinya memanas demi mengingat apa yang Rendra lakukan padanya semalam. Mamah belum tahu ya kalau mantunya itu pro player. Ia jadi malu sendiri membayangkan hal tersebut.
"Ya...," Mamah masih membelai rambutnya pelan. "Ini bakal jadi pengalaman pertama buat kamu. Pasti ada rasa takut, malu, khawatir."
"Mamah tahu banget isi hatiku," namun tak sempat terucap, hanya di dalam hati saja.
"Meski jaman sudah modern. Banyak buku bisa kamu baca. Informasi ada dimana-mana. Tapi kalau kamu mau nanya ke Mamah boleh. Siapa tahu Mamah bisa jawab."
Kalimat Mamah menghangatkan hatinya. Membuatnya bergegas untuk memeluk wanita yang selalu menjadi role modelnya dalam bersikap.
"Makasih Mah," matanya mulai memanas demi mengingat mungkin ini saat-saat terakhir kebersamaannya dengan Mamah. Karena setelah rangkaian resepsi ini berakhir, lalu kembali ke kehidupan nyata, mungkin ia takkan bisa sering-sering memeluk Mamah seperti ini lagi.
"Belum, Mah," lanjutnya malu. "Belum ada waktu. Masih sibuk," sambil menepis kilas ingatan tentang apa yang dilakukan Rendra padanya semalam.
Mamah mengelus punggungnya pelan. "Ya udah, yang penting kamu tenang aja, ndak usah takut, ndak udah mikir macem-macem."
Ia mengangguk-angguk mengerti. Namun masih memeluk erat Mamah. Hatinya enggan untuk melepas dekapan yang begitu menentramkan.
Saat ia masih menikmati hangatnya kasih sayang mamah, getaran panjang yang berasal dari sebuah benda mendadak menyentuh kakinya.
"Ponsel Adit," ujar Mamah setelah mereka saling melepaskan pelukan. "Kedudukan kamu tuh," tunjuk Mamah ke arah kakinya.
Ia sampai harus beringsut beberapa kali untuk mendapatkan ponsel Adit yang masih saja menggelepar-gelepar tanda ada panggilan masuk. Awalnya ia hanya ingin memindahkan ponsel Adit ke tempat yang lebih aman di atas meja, namun caller id yang terpampang di layar ponsel membuat keningnya berkerut keras,
Mas Dio Calling
Dio?
Saat itu juga ia langsung beranjak keluar.
"Loh, mau kemana?" tanya Mamah bingung. "Katanya mau disini sampai Rendra jemput."
"Oh...eh...anu...ini...," ia mengangkat ponsel Adit yang masih saja menggelepar-gelepar. "Mau kasih ke Adit."
"Siapa yang nelepon?" Mamah beranjak mendekat. Membuatnya buru-buru menyembunyikan layar ponsel. "Penting?"
"Oh...eh...iya...penting....kayaknya penting....," ujarnya gugup sambil berjalan cepat kearah pintu keluar. "Aku kasihin ke Adit dulu ya Mah. Bentar. Ntar aku kesini lagi," lanjutnya cepat-cepat keluar dari suite Mamah.
Tok Tok Tok
Ia mengetok pintu kamar suite sebelah dengan gugup. Layar ponsel Adit yang barusan sudah mati, kini mulai menyala lagi. Dengan nama pemanggil yang sama.
Mas Dio Calling
Tok Tok Tok
"Ya?" kepala Shandy menyembul dari balik pintu, namun ia tak punya waktu untuk menunggu.
"Misi, Shan," ujarnya cepat-cepat masuk ke dalam tanpa menunggu dipersilahkan.
"Cari siapa Mba?" Shandy garuk-garuk kepala melihatnya celingukan.
"Ya ampun," ia mengkerut memperhatikan seisi suite. "Kalian abis ngapain berantakan gini?!" berbagai sampah bekas minuman soda dan makanan ringan berserakan di atas meja living room. Belum suara keras televisi yang sepertinya sedang menayangkan sebuah film. Disusul suara pekik ketakutan cewek-cewek.
"Kalian nonton film horror?!" tuduhnya sambil terus mengkerut.
Shandy hanya nyengir kuda. "Babadok," jawab Shandy bangga. "Mba mau gabung sama kita ki...."
"Adit mana?" tanyanya cepat demi merasakan ponsel yang dipegangnya kembali bergetar. Saat dilihatnya, layar masih menampilkan nama yang sama.
Mas Dio Calling
"Ada di dalam," tunjuk Shandy ke ruang televisi. "ADIIIIT! DICARI MBA ANGGI! WOY!" teriak Shandy berusaha mengalahkan suara keras televisi.
"ADIIIIT! WOYY!!"
"Apa Mba?" Adit muncul dengan wajah mengantuk. "Lagi tidur juga," sungutnya.
"Rame gitu bisa tidur?!" ia jelas tak percaya.
"Kayak nggak tahu Adit aja Mba. Ada peluru beterbangan di atas kepala juga dia masih bisa tidur," kelakar Shandy sambil tertawa. Namun ia keburu menarik tangan Adit untuk keluar ruangan.
"Apa sih Mba?!" Adit terus saja bersungut-sungut sampai mereka berdua ada di luar.
"Nih!" dengan mata menyipit bak detektif ia menyerahkan ponsel yang masih menggelepar.
"Ish!" Adit mengambil ponsel dari tangannya sambil menggumam. Lalu membalikkan badan dan berkata, "Halo? Mas Dio? Iya...iya...maaf baru keangkat....Apa? Iya...iya...."
Ia masih berdiri menunggu Adit bicara di ponsel, meski beberapa kali Adit menyuruhnya pergi.
"Hush...hush...," begitu tangan Adit memberi kode padanya agar segera pergi. Namun ia tak bergeming. Tetap berdiri di belakang Adit sambil melipat tangan.
"Iya Mas....hahaha....," Adit terbahak di ponsel. Membuatnya kian penasaran dengan topik yang sedang mereka bicarakan.
"Apa? Salam buat Mba Anggi?" kali ini sambil mengerling jahil ke arahnya. Yang langsung mendapat pelototan darinya.
Namun Adit terlihat buru-buru meralat ucapannya dengan nada sungkan, "Enggak Mas...Maaf....iya...iya...Enggak...."
Hampir lima menit ia menunggu Adit berbicara di ponsel. Selama itu pula Adit lebih sering tertawa sambil berkata "Iya." "Enggak." "Siap Mas." "Oke."
"Kamu tukeran nomor ponsel sama Dio?!" tuduhnya begitu Adit menutup sambungan telepon. Perasaan waktu mereka masih jalan, Adit cuek bebek dengan keberadaan Dio. Jarang ngobrol malah. Kenapa sekarang jadi akrab begini?
"Rahasia," jawab Adit sambil berbalik lalu berjalan menuju pintu suite nya.
"Eh, Adit! Aku belum selesai ngomong!" gerutunya kesal.
"Apa sih Mba?" Adit mengkerut. "Aku ngantuk nih, mau tidur lagi."
"Kalian ngobrolin apa? Ada bisnis apa?" tanyanya penasaran.
"Udah dibilang rahasia."
"Kamu jangan macem-macem ya," ancamnya kesal karena Adit tak juga mau memberitahu alasan Dio menelepon.
"Aku sama Dio udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," tubuhnya terasa melayang di udara saat mengatakan hal tersebut. "Kamu jangan aneh-aneh!"
Adit mencibir, "Yang nggak ada hubungan lagi kan Mba sama Mas Dio. Bukan aku."
"Maksudnya?!"
"Udah dibilang rahasia," Adit mendecak sambil mengetok pintu suitenya.
Tok Tok Tok
"Adit, serius dong!"
"Serius juga dari tadi."
Tok Tok Tok
"Nih ya, aku tanya terakhir kali, kalian ada urusan apa?"
Pintu suite mendadak terbuka dengan kepala Shandy menyembul, "Udahan?" tanyanya pada Adit namun buru-buru tersenyum malu saat mengetahui ia masih berdiri di samping Adit.
"Belum!" ia yang menjawab pertanyaan Shandy. "Aku belum selesai. Buka aja pintunya, ntar kalau udahan biar Adit bisa langsung masuk," perintahnya taktis.
"Oke Mba," Shandy mengangguk dan membiarkan pintu terbuka lebar.
Begitu Shandy kembali melangkah ke dalam suite, Adit mulai berbicara serius, "Tenang aja, ini nggak ada hubungannya sama Mba, sama Abang. Ini murni urusanku sama Mas Dio."
"Tentang?" ia kembali mengernyit.
"Rahasia," jawab Adit sambil buru-buru masuk ke dalam suite dan menutup pintunya.
"Adit!" pekiknya marah. "Awas kamu ya?!"
Ia begitu bernafsu ingin mengetuk pintu suite Adit, namun sebuah suara mengurungkannya.
"Eh, istriku kenapa marah-marah?"
Saat ia menoleh ke arah suara, disana sudah ada Rendra yang sedang berjalan di lorong sambil tersenyum simpul.
"Berantem sama Adit lagi?"
***
Adit
Dari sekian banyak alumni berprestasi yang sering menjadi ikon kebanggaan sekolah, nama Dio Kamadibrata lah yang menjadi tolok ukur kesuksesan baginya.
Deretan prestasi yang telah ditorehkan oleh mantan Ketua OSIS itu pastinya bukan kaleng-kaleng. Terbukti poster wajah Dio dan detail prestasi yang berhasil diraih, selalu tercetak paling besar di baliho penyambutan siswa baru tiap tahunnya. Belum lagi dengan banyaknya guru yang sering menyebut nama Dio ketika sedang memotivasi para siswa. Semakin meyakinkan dirinya bahwa Dio Kamadibrata adalah definisi dari kesuksesan.
Sayangnya ia baru menyadari kehebatan Dio setelah Dio tak lagi sering bertandang ke rumah. Dan tiap kali ia menanyakan tentang Dio kepada Anggi, selalu dijawab ketus, "Ngapain nanya-nanya?" Atau "Dio sibuk kuliah." Atau "Dio sibuk ngambis." Padahal waktu ia masih duduk di bangku SMP dan Anggi SMU, hampir seminggu sekali Dio datang ke rumah. Entah mengerjakan tugas kelompok, belajar bersama, atau sekedar main dengan anak-anak Romansa.
Ia sempat kegirangan saat mengetahui Anggi dan Dio menjalin hubungan asmara. Namun endingnya tak sesuai dengan harapan, karena mereka belum berjodoh. Walau begitu, ia masih meletakkan Dio sebagai standar sebuah kesuksesan.
Dan siang ini, entah angin apa yang membuatnya melihat sekelebatan bayangan Dio diantara pengunjung kolam renang hotel yang tak begitu banyak. Namun baru beberapa menit berenang, ia justru melihat Dio keluar dari kolam dengan tergesa dan cepat-cepat pergi seperti melihat hantu. Membuatnya berusaha memastikan apakah orang tersebut benar Dio atau bukan.
"Mas Dio!"
"Eh...Adit...."
Wah, benar Dio.
"Mau kemana Mas kok buru-buru?" tanyanya heran. "Bukannya baru masuk?"
Dio terlihat salah tingkah, "Iya, cuacanya terlalu panas."
Jawaban dari Dio membuatnya spontan memandangi langit yang diselimuti awan dengan bingung. Namun bayangan sosok Rendra yang baru masuk ke kolam renang membuatnya paham dengan apa yang sedang terjadi.
"Mas, boleh ngobrol sebentar nggak?" ia mendadak teringat sesuatu.
"Boleh. Tapi nggak disini," Dio menjawab dengan gelisah.
"Kalau di lounge gimana?" tawarnya mendadak punya ide cemerlang.
"Oke, aku pakai baju dulu."
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya mereka pun berjalan beriringan menuju executive lounge di lantai 8.
"Apa kabar Dit?" Dio tertawa. "Udah gede aja. Perasaan kemarin masih SMP."
"Udah mau lulus Mas," ia ikut tertawa. "Minggu depan pengumumannya."
"Oya?" mata Dio terbelalak. "Time flies."
Selama beberapa menit mereka berdiam diri, menikmati sajian live music ditemani secangkir Capuccino. Ia mencoba menebak dalam hati, pancaran ekspresi muram yang jelas terlihat di wajah Dio, apakah ada hubungannya dengan pernikahan Anggi?
"Lanjut kemana?" Dio lebih dulu bertanya.
"Ganapati."
"Oya? Udah pengumuman?"
Ia mengangguk. "Dua hari lalu baru pengumuman SNM. Baru banget," ia tertawa.
"Wah, selamat...selamat....," Dio mengulurkan tangan memberi ucapan selamat.
Membuatnya makin tertawa sambil berkata, "Makasih."
"Welcome to the club."
Kalau klubnya dipenuhi oleh orang dengan prestasi mentereng macam Dio, ia takkan menolak.
"Mas masih di Ganapati atau udah selesai?" tanyanya ingin tahu. Jika dirunut sesuai angkatan dan waktu studi, harusnya nggak beda jauh dengan Anggi yang sudah wisuda.
Kini giliran Dio tertawa, "Sama. Baru banget, dua hari lalu wisuda."
"Oya?" ia ikut tertawa, benar kan tebakannya. "Selamat Mas."
Dio tersenyum mengangguk, lalu bertanya, "Ambil apa SNM nya?"
"STEI."
"Wah," Dio kembali tersenyum.
"Mas STEI juga kan?"
"Ya."
"Kalau gitu, bisa bantu dong mas."
"Bantu apa?"
Bantu nyari kost an, bantu keliling kota Bandung, bantu pinjamin buku, bantu nasehatin biar bisa punya prestasi mentereng, bantu semuanya.
"Wah, kebetulan awal Juni aku keluar. Kamu bisa pakai kostku. Tapi lihat dulu tempatnya, cocok nggak."
"Kerja Mas? Atau lanjut studi?"
"Lanjut studi."
"Kemana?" ia makin tertarik.
"MIT."
My God, MIT? You left the bar too high, gimana caranya bisa selevel sama Dio?
"Ok, kalau gitu kapan ada waktu ke Bandung? Aku tunggu."
***
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu