"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAJU OLAHRAGA
Thalia yang mengikuti Athar kini sampai di ruang osis, Thalia berdiri di depan meja bertuliskan “Ketua OSIS Athar Putra Manggala”, menatap kesal ke arah si pemilik nama yang kini duduk dengan wajah datar, sibuk mencatat sesuatu di buku pelanggaran.
Athar menulis tanpa suara, tangannya tenang, matanya fokus. Thalia yang dari tadi berdiri mulai gelisah.“Udah kaya polisi nulis berita acara kejahatan aja…” gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian, Athar akhirnya mendorong buku itu ke arah Thalia tanpa mengangkat kepala.
“Baca,” ucapnya singkat.
Thalia mendengus, tapi menunduk membaca.
Matanya langsung membulat.
Daftar Pelanggaran.
*Datang terlambat.
*Memanjat pohon tanpa izin.
*Merusak fasilitas sekolah (ranting pohon patah).
*Merusak ekosistem (mengganggu burung di pohon).
*Tidak sopan pada ketua OSIS.
*Suka menghina ketua OSIS.
*Sering menganiaya ketua OSIS baik fisik maupun batin.
Thalia langsung mendongak, menatap Athar dengan ekspresi tak percaya.“Serius nih?! Gue cuma telat masuk sekolah, kenapa jadi kayak catatan kriminal internasional gini?!”
Athar dengan tenang menarik kembali bukunya, menulis lagi tanpa berkomentar.
Thalia melipat tangan di dada, mendengus kesal. “Ngadi-ngadi banget sumpah ini ketos…”
Setelah beberapa detik, Athar kembali menyodorkan buku itu.Hukuman: Menjadi asisten Ketua OSIS selama satu minggu.
“HAH?!” Thalia hampir menjerit. “Asisten?! Gue?! Yang bener aja!, OGAH..”tekan Thalia melotot pada atar.
Athar menatapnya sekilas, datar. “Komplain, tambah dua minggu.”
Thalia menatapnya tak percaya.
“HEH ATH..”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, Athar langsung menulis sesuatu lagi di buku pelanggaran dengan tenang.
*Panggilan tidak sopan pada ketua OSIS.
Thalia menatapnya dengan tatapan mampus nih orang pengen gue bakar meja OSISnya, apa mau gue jadiin makanan si Rima harimau gue.
Thalia menarik napas panjang, ia menegakkan badan dan berkata dengan suara manis yang dibuat-buat“Baiklah… Kakak Ketua OSIS yang saya hormati, yang wajahnya datar, dan ngeselin."
Athar menutup bukunya pelan, menatapnya tanpa ekspresi.
Thalia tersenyum miring, melipat tangan di dada.“Ngaku deh, kenapa gue harus jadi asisten lo? OSIS kan banyak tuh ada sekertaris, bendahara dan anggota lainnya yang siap ngebela lo sampe ke surga. Kenapa harus gue? Hmm?”
Ia mendekat, menatap penuh curiga.“Jangan-jangan lo suka sama gue ya, jadi lo bikin gue biar deket sama lo.. "
Athar diam beberapa detik, lalu berdiri tanpa menjawab. Ia melempar kunci ke arah Thalia yang dengan refleks menangkapnya.
“Ambil bola di gudang, buat pelajaran olahraga,” katanya datar sambil berjalan melewatinya.
Thalia menatap punggungnya yang menjauh, mendengus keras."ihhhh... Dasar si datar ngeselin banget, gue sumpah jodoh lo kuntilanak."
Athar masih berjalan tenang. Dia mendengar gerutuan Thalia di belakangnya, tanpa menoleh Athar siap berbelok ke arah toilet untuk mengganti bajunya.
Tapi tiba-tiba
DUG!...
“AU!” Athar menoleh kaget, Thalia baru saja menginjak kakinya keras-keras.
Thalia menatapnya sambil tersenyum puas.
“Itu buat pelanggaran dan hukuman absurd lo Kakak Ketua OSIS.”
Athar menatapnya lama… lalu hanya berkata pelan,“penganiayaan tahap dua.”
Thalia menatapnya tak percaya.
“BODO AMAT..?!”ucap thalia dan segera pergi ke kelasnya.
Dan Athar di balik wajah datarnya, bibirnya tersungging tipis, senyum kecil yang tak terlihat siapa pun kecuali dirinya.
Bel pelajaran kedua baru saja berbunyi saat Thalia akhirnya melangkah masuk ke kelas, napasnya sedikit tersengal karena terburu-buru.
Beberapa siswa langsung menoleh, dan gurunya, yang sedang membereskan buku di meja, berhenti sejenak menatap Thalia.
“Maaf, Bu,” ucap Thalia dengan senyum manis khasnya, “saya terlambat, tadi dipanggil ke ruang OSIS dulu.”
Guru itu hanya mengangguk lembut.
“Tidak apa-apa, Thalia. Materi hari ini bisa kamu pelajari dan salin dari buku temanmu, jangan lupa kerjakan tugas minggu depan juga ya.. "
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Thalia sopan, lalu berjalan ke bangkunya sambil menghela napas lega.
Baru saja ia duduk, dua siswi yang sudah Thalia kenal Cia dan Sasa langsung menghampiri.
“Liaaa...ayo cepet ke toilet, ganti baju olahraga!” seru Sasa setengah berbisik tapi semangat.
Thalia mengerutkan kening. “Ha? Olahraga? Gue gak bawa baju, olahraga.”
Cia langsung nyeletuk, “Ya udah, kita ke koperasi dulu aja beli. Kan masih ada waktu.”
Thalia mengangguk pasrah. “Oke deh, daripada nanti disuruh lari keliling lapangan pake rok seragam.”
Mereka bertiga berjalan menuju koperasi OSIS. Begitu sampai, penjaga koperasi yang kebetulan OSIS juga menatap daftar ukuran di meja dan berkata,“Untuk ukuran kelas 12 habis, ya. Tinggal ukuran buat kelas 10.”
Cia langsung memandang Thalia dari atas sampai bawah. “Yah, itu pasti ngepas banget, Lia. Kayak sosis ketekan plastik, tau.”
Thalia hanya mengangkat bahu santai.
“Udah gak papa, daripada gak ikut. Toh nanti kalau sobek tinggal jahit, hehe.”
Sasa menghela napas. “Kamu yakin?”
“Yakin,” jawab Thalia mantap, sambil menyerahkan uang ke penjaga koperasi.
Setelah itu mereka langsung menuju toilet untuk ganti baju. Karena antri, akhirnya mereka sepakat masuk ke satu bilik besar bareng-bareng.
“Kita bertiga aja ya, biar cepet dan gak ngantri lama. Kamu gak malu kan lia sama kita?” tanya Cia sambil menatap ke arah Thalia yang membuka kancing bajunya dengan santai.
“Gak papa, aku pakai daleman kok,” jawab Thalia enteng.
Begitu bajunya tersingkap sedikit, Cia dan Sasa tiba-tiba terdiam melihat sesuatu di bahu kanan Thalia. Sebuah tanda lahir berbentuk bintang lima, kecil tapi jelas dan sempurna, seolah dilukis dengan tinta alami.
“Eh, Lia… itu tato ya?” tanya Sasa penasaran.
Thalia menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil.
“Bukan. Ini tanda lahir. Dari lahir udah ada.”
Cia mendekat sedikit, matanya berbinar.
“Unik banget… kayak simbol gitu. Gak semua orang punya tanda lahir sejelas itu, lho.”
Thalia menatap pantulan dirinya di cermin, lalu mengusap lembut tanda itu sambil berujar pelan,“Iya… katanya sih tanda keberuntungan. Tapi kadang malah bikin hidup gue penuh masalah.”
Thalia menambahkan gumaman dalam hati "Terutama dari musuh daddy di dunia bawah dan dunia atas.. "
Sasa dan Cia saling pandang, belum sempat bertanya lagi, Thalia sudah tertawa kecil dan berkata,“Udah ah, jangan liatin terus kayak lagi studi anatomi. Ayo cepetan, nanti keringet duluan sebelum olahraga.”
Dan ketiganya pun tertawa bersama, tanpa menyadari bahwa tanda lahir berbentuk bintang itu bukan sekadar kebetulan sesuatu yang kelak akan membuat banyak pihak akan tau siapa Thalia sebenarnya.
Begitu Thalia, Cia, dan Sasa keluar dari bilik toilet, Cia langsung menatap temannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Lia… kamu yakin mau pakai baju olahraga ini?” tanyanya setengah berbisik.
Sasa ikut mengangguk cepat.
“Iya, Lia. Lihat deh...itu baju kayaknya kekecilan banget. Lekuk tubuh kamu kelihatan semua.”
Thalia hanya mengangkat bahu santai sambil memandangi pantulan dirinya di kaca.
“Udah, aman. Gak masalah, yang penting bisa olahraga. Lagian aku gak niat jadi model juga.”
Kedua sahabatnya hanya bisa saling pandang, pasrah dengan gaya bodo amat Thalia yang memang sudah terkenal di sekolah itu.
Mereka pun melangkah ke lapangan. Tapi begitu tiba, langkah mereka serentak terhenti.
“Lia…” bisik Sasa, “kayaknya hari ini olahraganya di gabung sama anak IPS deh”
Thalia menatap ke depan, benar saja, lapangan sudah ramai oleh siswa-siswa kelas IPS, termasuk geng ATER dan geng cowok-cowok berisik yang suka menggoda anak cewek.
“Udah, ayo. Daripada tambah telat,” ucap Thalia ringan, lalu berjalan duluan ke arah guru olahraga yang sudah berdiri di tengah lapangan.
“Maaf, Pak, kami terlambat!” seru Sasa, sedikit ngos-ngosan.
Begitu suara Sasa terdengar, seketika semua mata terarah ke arah mereka.
Dan dalam hitungan detik, suasana lapangan berubah.
Sorot mata para siswa laki-laki langsung tertuju pada Thalia, yang berdiri di antara dua temannya. Baju olahraga putih-biru yang dikenakannya tampak pas banget di badan, memperlihatkan siluet ramping dan lekuk tubuhnya yang sempurna.
Beberapa cowok mulai bersiul pelan. Ada yang bersorak, ada pula yang terang-terangan berkomentar,
“Gila, itu cewek kelas 12 ya?”
“Bodynya parah banget.”
"Kayak gitar spanyol premium"
“Cicipin dikit juga gak nolak gue.”
Cia dan Sasa langsung menatap sinis ke arah suara-suara itu, tapi Thalia hanya menarik napas santai. Dalam hatinya, ia sudah biasa dengan perhatian seperti itu. Namun kali ini, perhatian yang datang justru membuat seseorang di barisan belakang merasa panas.
Athar.
Ketua OSIS yang dingin itu menatap ke arah kerumunan dengan rahang mengeras.
Ia melihat sahabat-sahabatnya, Raka, Rafi, Dion, dan Doni ikut menatap Thalia dengan ekspresi terkejut dan… sedikit kagum.
“Gila,” gumam Raka pelan, “baru kali ini gue lihat Thalia diem-diem mematikan, bodynya sempurna..”
Doni terkekeh, “Bener banget Rak. Itu udah kayak senjata penghancur massal.”
Belum sempat mereka tertawa lebih lama, suara dingin memotong percakapan.
“BRISIK.....”
Semua langsung menoleh.
Athar menatap mereka tajam, nada suaranya datar tapi tegas, cukup untuk membuat satu barisan cowok langsung bungkam.
Sunyi mendadak menguasai lapangan.
Hanya terdengar langkah pelan Thalia yang berjalan ke barisan perempuan, pura-pura tidak peduli.
Namun dalam hati Athar, pikirannya tak tenang. Apa dia sengaja? gumamnya dalam hati, apa dia mau menggoda para pria dengan penampilan kayak gitu?
Tapi sebelum ia sempat menenangkan diri, Thalia menoleh sekilas, menatap Athar dengan senyum menggoda yang seolah berkata“Kenapa, mau hukum gue karna pake ini.. "
Athar terdiam.
Dan untuk pertama kalinya… ekspresinya nyaris retak.