Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12.
Fajar pun tiba menandakan tidak lama lagi sang surya akan segera terbit. Pengantin baru ini masih nyaman tidur berpelukan, sepertinya mereka lelah setelah beberapa waktu selesai mereguk nikmatnya ibadah halal suami isteri.
Waktu terus berjalan, pagi telah hadir menyapa. Dua insan ini masih enggan untuk beranjak bangun dan beraktifitas lagi. Selimut tebal masih setia menyelubungi tubuh polos keduanya agar senantiasa terasa tetap hangat.
Saat waktu telah menunjukkan pukul 08.00 pagi, akhirnya salah satu dari mereka berdua bangun lebih dulu yaitu Fandy.
Mata Fandy masih setia menatap wajah cantik Cyra yang tertidur sangat lelap dalam pelukan hangatnya.
“Selamat pagi istriku yang cantik dan tetap cantik meski baru bangun tidur,” sapanya pada Cyra yang terbangun dan menggosok kedua matanya.
Cyra tersipu malu dengan pujian suaminya itu, refleks dia menutup wajah dengan kedua tangannya. “Selamat pagi juga suamiku yang selalu tampan setiap saat,” balasnya sambil tersenyum.
“Mau langsung sarapan atau mandi dulu kita?” tanya Fandy.
“Mandi dulu aja ya Bang, badanku lengket semua rasanya.”
“Oke kalau begitu, mandi barengan aja yuk biar cepat,” goda Fandy sambil mengedipkan sebelah matanya.
Cyra tersipu kembali, tangannya spontan mencubit pinggang Fandy karena gemas. “Yee... itu sih maunya Abang, belum waktunya. Nanti aja ya?” kata Cyra masih tetap menolak.
“Yah... kamu mah pelit banget sih. Aku enggak mau nanti, maunya sekarang aja. Boleh ya cantik?” tawarnya sangat berharap Cyra menyetujuinya.
“Sekali enggak ya tetap enggak, next time aja suamiku yang paling tampan,” jawab Cyra tetap sama.
Fandy otomatis kecewa, padahal tadi dia begitu yakin Cyra pasti mau mandi bersamanya.
“Aku tau apa yang ada dipikiran Bang Fandy soalnya, kita nanti bukan hanya sekedar mandi saja. Pasti Abang ingin lakukan hal lebih di dalam sana. Iya, kan?”
Fandy terkekeh dan menggaruk tengkuknya karena malu ketauan niatnya oleh Cyra. “Hehehe… ibaratnya, kita sambil menyelam minum air gitu lho. Ya sekalian aja maksudku.”
“Sudah kuduga Abang niatnya begitu. Ya sudah, aku mandi duluan ya,” kata Cyra sambil mengambil bajunya yang berserakan di lantai lalu memakainya dan bergegas ke kamar mandi.
Fandy hanya mengangguk sambil melakukan hal yang sama seperti Cyra, memakai bajunya dengan cepat. Saat melihat istrinya sudah masuk kamar mandi, ide melukisnya datang lagi.
Segera Fandy turun dari ranjang dan meraih tas punggungnya mengambil buku sketsa dan pensilnya. Dirinya ingin melukis lagi Cyra yang seperti dalam pikirannya saat ini.
Fandy benar-benar menuangkan idenya ke dalam buku sketsanya. Kali ini dia melukis Cyra dengan keadaan polos meski tubuhnya ditutupi selimut tebal, baginya saat istrinya tidur dalam situasi seperti itu sangatlah cantik di matanya.
Tangan bergerak seirama, pensil menari-nari di atas buku sketsa. Fandy mengingat setiap detail tubuh istrinya itu, lalu dia fokus pada wajah cantiknya Cyra. Baginya Cyra adalah kanvas hatinya.
Lewat lukisan dalam sketsanya inilah dia ingin menggambarkan isi dalam hatinya untuk Cyra seorang.
Selesai dengan satu gambar tadi, Fandy beralih menggambar sosok istrinya itu dalam pose yang berbeda.
Kali ini saat Cyra tidur terbaring dalam balutan gaun tidur mewahnya yang terlihat sangat menawan.
“Cyra sebenarnya memakai baju apapun tetap terlihat cantik dan anggun, tapi lebih cantik lagi tanpa mengenakan baju sama sekali alias polos... hehehe,” batin mesum Fandy pada akhirnya.
Fandy berhasil menggambarkan dua pose berbeda istrinya saat tertidur tanpa cela, mengingat dia sangat menghapal betul apa yang dilakukan istinya itu kala bersamanya.
Satu pose lagi yang ingin dia gambar yaitu kala Cyra duduk di meja riasnya melakukan perawatan pada wajah dan kulit mulus tubuhnya.
Fandy menggambarnya dengan cepat dan fokus, sebelum istrinya selesai mandinya.
“Akhirnya, 3 lukisan spontan ini selesai juga. Untungnya Cyra masih lama di dalam sana,” batin Fandy lega.
Bergegas dia rapikan buku sketsanya itu dan disimpan lagi ke tas punggungnya sebelum Cyra mengetahui kegiatannya tadi.
Tidak lama kemudian, Cyra keluar dari kamar mandi. Handuk kecil melilit manis di atas rambutnya yang basah. Tubuh rampingnya dibalut bathrobe warna putih.
“Gantian Bang Fandy mandi sana,” ucap Cyra saat melintas menuju ke meja rias.
“Siap istriku, aku segera meluncur mandi,” gestur tangan Fandy hormat di atas alisnya.
Cyra tertawa pelan, ada saja kelakuan lucu suaminya ini. Fandy berjalan pelan melewati Cyra, tapi dia kembali lagi ke meja rias menghampiri istrinya.
“Cup… cup,” dua kali kecupan dia berikan di pipi dan bibir Cyra.
“Kecupan pagiku untukmu,” ucap Fandy sambil tersenyum menatap Cyra.
Cyra tersenyum senang, lalu balas mengecup dua kali di bibir Fandy. "Cup… cup, kecupan yang sama untuk Abang.”
“Terima kasih istriku... muaahhhh,” kecupan lama di bibir Cyra sebagai penutup, lalu dia cepat berlari ke kamar mandi takut istrinya protes.
Cyra tersenyum geli melihat kerandoman suaminya pagi ini. Semoga hari-hari mereka selanjutnya tetap seperti ini, harapan Cyra setelah merasa hidupnya berwarna sejak menikah.
***
Fandy dan Cyra sudah duduk bersama dengan mama dan papa di meja makan. Keempatnya akan menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh asisten rumah tangga.
“Abang aku ambilkan roti tawar isi selai strawberry sama kopi instan mau ya?”
Fandy mengangguk patuh, baginya sarapan apapun tidak masalah asalkan perutnya terisi makanan. “Iya boleh,” jawabnya singkat.
Setelah mengambil untuk Fandy, Cyra juga mengambil menu yang sama untuknya. Sedangkan papa dan mama sarapan nasi goreng telur mata sapi kesukaan keduanya.
Semuanya lahap menyantap sarapan dengan santai diselingi obrolan ringan. “Pa, Ma. Aku dan Cyra sudah ngobrol berdua. Kami setuju seminggu ini tinggal di rumah ini.” Fandy membuka percakapan.
“Setelah itu, untuk sementara Cyra tinggal di sini dulu berhubung dekat kantornya saat selasa nanti dia bekerja kembali,” ujar Fandy sambil meminum kopinya.
Papa, mama juga Cyra menyimak omongan Fandy sambil menyantap sarapannya.
“Tapi nanti, mungkin saya akan bolak-balik rumah dan rumah Papa saat Cyra sudah aktif bekerja lagi, karena saya juga harus melanjutkan mencari nafkah di lapak,” tambahnya.
“Kenapa Cyra gak ikut temani Fandy sekalian,” tanya Mama.
“Maaf Mama dan Papa, beri aku sedikit waktu lagi menata hati dan pikiranku. Jika aku bisa menerima semua ini, nanti mau kok ikut tinggal bersama Bang Fandy,” ucap Cyra sambil tertunduk.
“Tidak apa-apa sayang, Papa dan mama mengerti,” jawab Papa sambil menoleh ke arah mama yang menggangguk paham.
“Benarkah? Papa dan Mama gak bohong?” tanya Cyra seolah tak percaya.
“Iya sayang, kami tidak membohongimu,” ucap Mama sambil tersenyum.
Cyra lega sedikit, masih ada satu hal lagi yang ingin dia sampaikan ke orang tuanya.
“Hmm, satu lagi Pa, Ma. Kami berdua sepakat menunda memiliki anak, semoga kalian juga mengerti,” gugupnya Cyra hingga dia menundukkan kepalanya lagi sambil meremas kedua tangannya di bawah meja seolah takut.
Fandy yang melihat kegugupan istrinya itu karena takut jika orang tuanya marah, berinisiatif meraih kedua tangan Cyra dan menggenggam dengan erat untuk memberikan dukungan.
“Ada alasan logis yang bisa saya terima Pa, Ma. Cyra tidak salah dan saya akan selalu mendukungnya,” tegas Fandy.
Papa dan mama saling berpandangan seolah saling bertanya dalam hati. Lalu keduanya pun tersenyum, seakan menerima dan mengerti keinginan anak dan menantunya ini.
“Baiklah jika kalian sudah membahasnya, tapi kami harap jangan terlalu lama menundanya.”
“Kami berdua sangat mengharapkan kehadiran cucu di keluarga ini, penerus keluarga Alfian pastinya,” ujar Papa lagi.
“Iya Pa, Ma. Kami usahakan tidak akan lama,” jawab Cyra dan diangguki oleh Fandy seakan setuju.
Keempatnya kembali menikmati sarapannya hingga selesai. Cyra merasa lega akhirnya, keinginannya disetujui oleh suami dan orang tuanya.
“Abang, habis sarapan temani aku belanja ya? Sekalian beli stok baju salin untukmu saat kita tinggal di sini,” ajak Cyra.
“Siap istriku cantik, aku selalu siap menemanimu kemanapun dan kapanpun,” jawab Fandy sambil memberi hormat ke Cyra.
Papa, mama juga Cyra langsung tertawa melihat Fandy. Ada saja kelakuannya yang membuat suasana ceria di rumah ini.
“Abang nih, ada aja tingkahnya… hehehe,” masih tertawa Cyra bersama orang tuanya.
Papa dan mama saling berpandangan penuh arti, keduanya bersyukur melihat anaknya terlihat bahagia dengan kehidupan barunya.