Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ketika Yaga sudah sampai di perusahaan, sekretarisnya sudah menunggu di sana. Tanpa menunggu lama, Ganda sang sekretaris segera menyerahkan dokumen-dokumen terkait proyek yang dibawanya.
"Tim humas sudah mengirimkan semua materi promosi terkait kesepakatan pembiayaan kepada media. Besok pagi kita akan menandatangani perjanjian kerja sama, dan artikel akan dirilis tepat saat makan siang," Sekretaris Gan melaporkan
"Siapa yang akan menghadiri acara penandatanganan?"
"Pak Bima, manager kepala bagian yang akan pergi."
"Beri tahu mereka, jangan ganggu aku dengan telepon di pagi buta," ujar Yaga sambil tersenyum tipis.
"Ahaha... baik, Tuan muda." jawab sekretaris Gan canggung, sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
Sementara itu, Yaga melangkah melewati lorong menuju ruang kerjanya.
Begitu sampai, dia membuka pintu dan berjalan ke meja kerja di mana tumpukan dokumen terlihat seperti gunung kecil.
Di belakangnya Gan terlihat berlari kecil untuk mengimbangi langkah cepat atasannya. Yaga duduk, meletakkan dokumen-dokumen dengan sedikit kasar di atas meja, lalu mulai memilah satu per satu.
"Apa ada yang perlu dibicarakan?" tanya Yaga sambil mengetukkan jari di atas meja. "Jika ada yang penting, katakan sekarang,"
"Ah, ya! Ini tentang pembukaan musim liga basket, Tuan muda." Yaga menaikkan satu alisnya, mengingat kembali rencana yang sempat dibicarakan sebelumnya.
"Musim liga basket." gumamnya sambil bersandar dengan santai di kursi.
"Haruskah saya membatalkannya?"
"Membatalkan apa?"
Sekretaris Gan gugup saat Yaga menyeringai samar.
"Tim sudah menyiapkan tenaga untuk perjalanan ke luar kota. Tapi, saya ingin memastikan, apakah ada perubahan rencana yang perlu dipertimbangkan?"
"Pembukaan musim liga basket ya?"
"Benar Tuan muda..." Setelah hening sejenak, Sekretaris Gan melanjutkan dengan hati-hati. "Ngomong-ngomong, mengenai Istri Anda, tampaknya beliau sudah memutuskan untuk ikut hadir di acara reuni sekolah. Jika Anda berencana pergi keluar kota dalam waktu dekat. Mungkin ini waktu yang tepat untuk memberi tahu beliau."
"Oh, begitu ya," gumam Yaga sambil menyandarkan tubuhnya ke depan. Dia meraih sebuah pena dan mulai memeriksa dokumen tanpa mengangkat pandangannya.
"Batalkan," ujar Yaga lagi sambil membalik halaman dokumen di tangannya.
"Ah, maaf, Tuan muda? Apa yang harus dibatalkan?"
"Acara pembukaan liga basket. Aku akan hadir sebentar hanya untuk menunjukkan diri. Pastikan jadwal berikutnya tidak mengganggu pekerjaan lain."
"Baik, saya akan mengatur ulang jadwalnya," jawab Sekretaris Gan, menunduk sedikit sambil melirik ke arah tangan Yaga yang sibuk. Sementara itu, Yaga tetap fokus pada dokumen di depannya, dengan ekspresi tenang seperti biasa.
* * *
Ketika Almaira terbangun dari tidur lelapnya, sebuah getaran terasa di bawah bantal. Sebuah kegigihan yang luar biasa. Telepon itu berulang kali berdering lalu terputus, dan setelah beberapa kali, panggilan itu akhirnya tersambung padanya.
Almaira meraba-raba di bawah bantal dan, meskipun masih merasa lelah, dia memikirkan Yaga sejenak. Namun, di layar hp nya yang muncul bukanlah suaminya, melainkan nama Ibu mertua.
Almaira merasa harapannya langsung pupus dan menggeser tombol hijau. Mungkin Rita mengkhawatirkannya sepanjang malam. Dia harus memastikan suaranya terdengar baik-baik saja, tetapi tenggorokannya masih kering.
"Iya ibu, selamat pagi."
_Pagi, Aira sayang, kamu sudah bangun? Ibu baru lihat pesanmu, makanya ibu tadi pagi-pagi langsung ke sana, tapi kamu masih tidur
"Hehe... Maaf ibu. Aira bangunnya kesiangan."
_ Hh dasar, sudah sarapan?
"Belum"
_ Kamu ini ada-ada saja.
"Hehe.."
_ Aira sayang, kabarnya, kamu akan hadir di acara reuni sekolah. Apa itu benar?
"Huh? Bagaimana ibu tahu? Ibu baik-baik saja kan?
—Tentu saja tidak! Kamu tahu? Ibu masih belum bisa melupakan cara dia memperlakukan kamu dulu. Ibu juga tidak habis pikir, bagaimana bisa dia punya keberanian sebesar itu sama kamu.
"Aira tidak tahu Ibu."
_ Hhh, benar-benar ya anak ini, ibu sampai tidak tidur karena memikirkan kamu.
"Sudahlah, ibu jangan memikirkannya lagi ya? Lagipula, itu sudah berlalu. Sekarang, ibu juga bisa lihat, hubungan Aira dan Kak Yaga baik-baik saja kan?"
_ Untuk saat ini, kita rahasiakan saja kehadirannya dari suami mu. Ibu sudah meminta Anita untuk tidak bicara apa-apa pada suami mu. Dia memang sedikit curiga, tapi tidak bertanya lebih jauh. Lebih baik begini daripada mengundang spekulasi tidak perlu. Mengerti?
"Baik ibu"
_ Ingat, kamu juga harus menjaga lisan mu dengan baik ya? Jangan asal menyimpulkan sendiri dan jangan asal ambil keputusan sendiri tanpa tahu kebenarannya, hm?
"......Baik ibu."
—Bagus, bagus. Ngomong-ngomong, di luar bunganya sudah bermekaran, kan? Kapan-kapan kita harus pergi piknik juga.
".....Kalau Anita kembali, mari kita pergi bersama ibu."
—Jangan sampai hujan seperti tahun lalu, ya. Kalau sampai kelopaknya berguguran dalam semalam lagi, sayang sekali. Kali ini, Ibu akan lihat ramalan cuaca sebelum kita pergi.
"Biarkan Aira yang mengeceknya Ibu. Sekarang lebih baik Ibu istirahat saja. Jangan pikirkan masalah Amera lagi ya?
—Baiklah, baiklah. Ibu memang agak lelah. Kalau begitu, bersenang-senanglah di sana, ya?
"Baik ibu, Aira akan membawakan sesuatu yang enak nanti."
Saat itu juga, Rita tertawa ceria
_ Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya ya?
"Baik ibu"
_ Sampai jumpa
"Ya ibu sampai jumpa"
Begitu telepon terputus, Almaira menatap layar handphone, memeriksa pesan masuk.
Obrolan di pesan Group alumni sekolah sudah ramai. Seperti biasa, Almaira hanya tersenyum sendiri tanpa memberi komentar pesan itu.
Merasa tubuhnya semakin lengket, segera Almaira meletakkan handphonenya di atas kasur. Lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
* * *
Hari yang cerah, tetapi Amera merasa frustrasi. Karena terpaksa melakukan kencan butanya.
Saat ini dia sudah duduk di dekat jendela dan melirik jam tangannya. Tepat pukul sebelas, yang merupakan waktu mereka seharusnya bertemu.
Namun sepertinya, teman kencannya belum juga datang. Amera merasa kesal, dia memandang ke luar jendela perlahan, mengamati pintu masuk hotel.
Dua puluh menit berlalu, kemarahan mulai menggelegak dalam dirinya, dia bertanya-tanya dalam hati. Apakah dia sedang dipermainkan?
"....Ha." Amera mendesah lelah
Kemudian, dia mengingat pertengkaran dengan ayahnya tadi pagi.
"Apa kamu punya ide lain, yang harus kami lakukan untuk memperbaiki dampak dari apa yang sudah kamu lakukan pada Almaira?"
"…Tapi, aku maunya Kak Yaga yang menjadi suamiku Ayah. Aku akan menunggunya." bantah Amera
"Beraninya kau! Jaga omongan mu"
Amera terdiam, ketika ayahnya membentak seperti itu untuk pertama kalinya.
"Kalau sampai ada yang mendengar, mungkin ayah tidak bisa menyelamatkan mu lagi. Ingat apa yang sudah kamu lakukan tiga tahun lalu Amera... Ayah sudah benar-benar malu pada keluarga Pratama."
"Cukup ayah, aku tidak mau mendengar itu lagi."
"Jika kau mengakui kesalahan mu, pergilah, temui kencan butamu. Dia putra CEO K. Jika kau mau mewujudkannya, ayah akan melupakan apa yang sudah kau lakukan."
Pada akhirnya Amera memutuskan untuk pergi dan tidak punya pilihan lain.
Sekarang, Amera berdiri ketika dia melihat seorang laki-laki tampan berlari melewati lobi hotel.
Sambil terengah-engah, laki-laki itu mendekat dan bertanya, "Apa kamu orangnya, kencan butaku?"
"Ya." jawab Amera singkat
Laki-laki itu membungkuk dalam-dalam dan bicara, "Ah, aku minta maaf karena datang terlambat."
Melihat, laki-laki itu menatap Amera dengan wajah tampannya, dan tersenyum, rasanya membuat Amera semakin kesal, dan dia membalas,
"Ya, kamu sangat terlambat."
"Ada kecelakaan di jalan, saat aku menuju ke sini. Maaf." Laki-laki itu duduk dan memperkenalkan dirinya sambil tersenyum lagi, "Nama ku Gara."
"Aku tahu." Amera terus bicara dengan suara dingin.
"Senang bertemu denganmu." Mengabaikan sikap dinginnya, Gara menawarkan tangannya.
Ketika Amera melihat jelaga yang menempel di tangannya, dia mengerutkan kening, dan bergumam, "Tanganmu…"
"Ah, permisi sebentar." Gara bangkit dan segera pergi ke kamar mandi. Saat kembali, wajah dan tangannya basah, dia seperti baru mencucinya.
Amera tidak percaya, kalau laki-laki itu datang ke kencan butanya dengan penampilan seperti ini.
Setelah duduk kembali, Gara bertanya, "Kamu sudah makan?"
"Aku sudah sarapan di rumah."
Amera menolaknya secara tidak langsung. Membuat Gara berhenti tersenyum dan bertanya, "Apa kamu marah karena aku terlambat? Atau kamu memang tidak suka padaku?"
"Keduanya."
“Kalau begitu, kita tidak perlu membuang-buang waktu. Mari kita akhiri sekarang.”
Ketika Gara berdiri, Amera menatapnya dengan tatapan jengkel. Kemudian dia ikut berdiri dan bicara, "Rupanya, kamu tidak punya sopan santun, ya?"
"Maksudmu?" tanya Gara dingin.
Tanpa senyum, wajah Gara terlihat sangat berbeda, terkesan kasar dan kejam, membuat Amera tersentak dalam hati.
Tapi, dia tetap mengangkat dagunya, berpura-pura menantang dan menjawab,
"Sudah terlambat, dan kau datang padaku dengan penampilan lusuh seperti itu. Tentu, aku tidak suka."
Gara menyeringai padanya. Sambil mengerutkan kening, dia menatap Amera dan bertanya, "Boleh aku tahu namamu?"
"Amera, itu namaku. Apa kau datang ke sini tanpa tahu nama ku?"
"Sekalipun aku tahu, apa sulit bagimu untuk memperkenalkan diri?"
"Ha!"
"Kau tahu aku kecelakaan. Bukankah hal wajar, yang pertama dilakukan adalah bertanya apakah aku baik-baik saja?" tanya Gara dengan nada sarkastis
"Apa maksudnya yang baru kau katakan? Hah? Dasar tidak tahu malu?"
"Tidak tahu malu? Cih!" Gara menyeringai. "Kalau begitu, katakan padaku, Nona Amera. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?"
"Ha."
"Haruskah aku berlutut dan memohon maafmu?"
"Tidak! Aku bukan bermaksud_."
"Lupakan saja. Ini hanya buang-buang waktu, aku lelah. Jaga dirimu baik-baik."
Gara berbalik, lalu berjalan pergi tanpa ragu-ragu.
Saat itu, Amera mendengar orang lain saling berbisik disekitar, mencoreng namanya.
Wajah Amera memerah. Dia bergegas keluar dari lounge hotel, saat itu seseorang memanggilnya dari belakang,
"Permisi! Nona!"
Tanpa menghiraukan suara itu, Amera terus berjalan. Namun, laki-laki itu tidak menyerah, dia mengejar dan mencengkeram lengannya dengan kasar.
Matanya berbinar marah, Amera berteriak, "Apa yang kau lakukan?"
"Anda harus membayar." Karyawan hotel menyerahkan tagihannya.
"Hah?"
Amera bingung, tidak percaya bahwa teman kencannya bahkan tidak membayar minumannya.
Amera menyibak rambutnya dan mendesah kasar, tersadar Ini adalah hari paling memalukan dalam hidupnya.
* * *
Masih di jam sebelas, Almaira baru keluar dari kamar dan turun untuk makan.
Begitu sampai di ruang makan, dia memotong tiga jenis buah-buahan yang baru saja dia ambil di kulkas, lalu di sajikan dalam satu piring.
Sesudahnya, dia duduk dimeja makan, menyendok nasi dan lauknya. Tepat saat itu, suara langkah kaki terdengar dari arah samping, saat Almaira menoleh, seorang pelayan wanita datang menyapa.
"Selamat siang Non.."
"Siang.." Almaira tersenyum
Sebelumnya pelayan wanita itu bekerja di rumah besar Pratama selama beberapa tahun lalu. Namun, baru-baru ini dia akhirnya dipindahkan kesini atas permintaan nyonya Rita.
Tentu saja, dia juga cukup mengenal Almaira.
"Lea, apa Bibik tidak ada di rumah?"
"Bibik? Tadi dia pergi ke pasar tradisional bersama Pak Baim."
Pak Baim adalah sopir pribadi Almaira
"Dari kapan?"
"Sekitar setengah yang jam lalu? Mungkin masih agak lama kalau Non Aira ingin Bibik kembali. Ada apa? Non Aira butuh sesuatu?"
"Tidak ada." Almaira tersenyum sambil menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Oh iya" Lea tiba-tiba menatap kantong belanja di tangannya untuk beberapa saat, lalu dia mengangkat kepalanya seolah baru teringat sesuatu.
"Non Aira, apa Anda mau mencobanya?"
"Hah? Apa ini?"
"Martabak telor. Kalau tidak keberatan, Anda bisa mengambilnya."
"Oh, apa kamu sengaja membawanya untukku?"
Meskipun Lea tampak malu-malu mengakui, tapi gadis itu tidak keberatan. Sambil menerima kantong belanja dari Lea, Almaira memeriksanya dengan rasa ingin tahu.
Namun, matanya tiba-tiba membelalak.
"Wah, ini martabak telor Bangka ya? Kamu pasti membelinya di simpang lima kan?"
"Anda tahu tempat itu?"
"Tentu saja! Itu kan salah satu dari pedagang martabak yang terkenal yang pernah dibahas di acara tv Kuliner minggu lalu."
"Ah..." Mulut Lea sedikit terbuka, seolah tidak percaya
"Wah, ini pasti enak sekali. Kenapa kamu sendiri tidak memakannya Lea?"
"Saya tidak terlalu suka Non."
"Apa? Kalau kamu tidak suka kenapa harus di beli coba?"
"Hehe, kan saya memang sengaja membelinya khusus buat Non tadi malam. Tapi... Sekarang itu sudah dingin."
"Oh... Tidak apa-apa Lea. Aku paling suka dimakanya dingin-dingin, terimakasih. Aku boleh memakannya sekarang kan?" Almira bertanya "Sepertinya, di tambah nasi juga enak, hehe.."
"Tentu saja Non, Anda bisa memakannya kapan pun yang Anda mau."
"Dasar, kamu masih saja selalu baik padaku. Sini, duduklah. Mari kita nikmati martabak telornya bersama."
"Ah tidak Non, biar Non Aira sendiri saja yang memakannya."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa memakannya sebanyak ini semuanya sendirian. Lebih baik, kamu bagikan saja pada teman-teman mu yang lain. Mungkin mereka suka juga."
"Ah, begitu ya." Lea mengangguk "Baik Non, saya akan bagikan."
"Nah begitu dong, aku akan bagi dua ya. Supaya kamu bisa bagikan pada temanmu nanti."
"Baik Non."
Almaira tersenyum, kemudian gadis itu melanjutkan cerita sambil menikmati martabak telor yang di berikan Lea.
* * *