Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Fajar baru saja menyingkap cakrawala timur. Cahaya keemasan menembus sela tirai kamar, menyentuh wajah lembut Serena yang masih terlelap di bawah selimut. Alarm di samping tempat tidurnya terus berbunyi, hingga beberapa detik kemudian mata bening itu terbuka perlahan.
Serena mengerjap menatap layar ponselnya. Beberapa pesan dari Gabriel memenuhi layar, namun tak satu pun dibuka. Jemarinya hanya mematikan alarm lalu meletakkan ponsel di meja. Wajahnya tampak tenang, tetapi dalam dada, ada sesuatu yang tidak selesai.
Usai membersihkan diri, Serena turun ke ruang makan. Meja sarapan sudah tersaji, aroma kopi menyatu dengan harum roti panggang. Antonio duduk membaca koran, sementara Melvia menyiapkan gelas tambahan. Tak ada percakapan berarti pagi itu; sisa perdebatan semalam masih menggantung di udara.
Melvia memecah keheningan.
“Kamu yakin akan kuliah hari ini? Istirahatlah dulu kalau memang badanmu belum enak.”
“Tidak apa-apa, Bi. Aku sudah semester lima, sebentar lagi masuk enam. Aku harus fokus mengejar impianku agar Paman tidak terus mengaturku.”
Nada Serena terdengar halus, namun menusuk. Antonio menurunkan korannya perlahan, hanya menarik napas dalam, menahan amarah yang belum padam.
“Aku sudah kenyang. Aku berangkat dulu. Dan Bi.”
“Hati-hati.”
Serena tersenyum singkat, lalu beranjak keluar. Mobil hitam pemberian pamannya sudah terparkir rapi di halaman. Perjalanan menuju kampus terasa panjang, bukan karena jarak, melainkan karena pikiran yang terus melayang pada seseorang yang belum sempat ditemui lagi sejak malam itu.
Sesampainya di kampus, Serena turun dengan langkah ringan. Celana panjang hitam dipadukan dengan tank top putih dan cardigan lembut yang menutupi sebagian tubuhnya. Rambutnya dibiarkan tergerai, riasan tipis menonjolkan garis wajahnya yang menawan.
Sambil berjalan di antara kerumunan mahasiswa, Serena menatap layar ponselnya. Pesan singkat ia kirimkan kepada sahabatnya, memberi tahu bahwa dirinya sudah tiba. Pandangannya terus beredar, mencari satu wajah yang dirindukannya — Gabriel. Namun yang tersisa hanya keraguan dan ketakutan bahwa hubungan mereka mungkin akan berakhir.
“Serena.”
Suara lembut terdengar di belakangnya. Gaby berlari kecil menghampiri dengan senyum lebar.
“Kamu sudah membaik?”
“Sudah.”
“Dosen kita memberi kabar di grup. Ia terlambat datang satu jam. Luar biasa, sudah sampai kampus malah disuruh menunggu.”
“Tidak mengapa. Kita tunggu saja di kantin. Saya hanya sempat makan sedikit di rumah.”
Keduanya berjalan menuju kantin. Serena membawa secangkir kopi latte panas, sementara Gaby sibuk dengan ponselnya. Serena mencari meja kosong, namun langkahnya terhenti ketika tubuhnya bersinggungan dengan seseorang dari arah depan.
“Kamu tidak punya mata? Kopi ini panas. Lihat apa yang kamu perbuat, bajuku kotor!”
Alexandra menatap Serena dengan ekspresi kesal. Tangannya berulang kali menyentuh bagian bajunya yang terkena noda.
“Bukankah kamu yang tidak memperhatikan arah jalanmu? Saya berdiri di sini sejak tadi,” jawab Serena dengan nada tenang. “Namun, maafkan saya. Sebaiknya kamu segera ke toilet untuk membersihkannya.”
“Berhentilah bersikap seolah kamu tidak bersalah,” sahut Gaby dari samping. “Kecelakaan kecil tidak perlu dibesar-besarkan.”
“Perempuan kurang ajar.”
Alexandra mendorong bahu Serena dengan kasar hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan. Namun sebelum jatuh, sebuah tangan kuat menahan pinggangnya.
Tubuh Serena berhenti di udara, nyaris bersandar pada dada seseorang. Tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata kelam yang dalam. Waktu seolah berhenti.
“Kamu tidak terluka?”
Suara bariton itu terdengar rendah, nyaris seperti bisikan. Serena menggeleng cepat. Wajahnya memanas tanpa alasan.
“Nicholas, kamu—”
“Dia tidak bersalah.”
Nada suara Nicholas datar dan tegas. Alexandra terperanjat, tidak percaya mendengar pembelaan itu.
“Apakah kamu serius? Lihat bajuku, Nicholas. Kulitku terkena kopi panas. Kamu seharusnya membelaku, bukan perempuan ini.”
Nicholas menatap Alexandra singkat. Pandangan matanya dingin, membuat Alexandra kehilangan keberanian untuk melanjutkan kalimatnya.
Alexandra — atau Alexa sebagaimana biasa dipanggil — adalah adik Leonel, sahabat dekat Nicholas. Hubungan keluarga itu membuat Alexa sering merasa memiliki kedekatan khusus dengannya. Namun kini, di depan semua orang, Nicholas justru berdiri di sisi perempuan asing yang baru saja ditemuinya.
Gaby memandang dari jarak dekat. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sama. Ia mengenal pria itu, pamannya Gabriel, sosok yang dikenal tenang, bijak, dan tak mudah terpancing emosi. Namun kini pria itu berdiri tegak, melindungi Serena dengan tatapan yang tak bisa dibaca.
Kantin seketika hening. Beberapa mahasiswa menoleh, menatap dengan rasa ingin tahu. Nicholas akhirnya menurunkan tangannya perlahan, melepaskan Serena yang masih diam tanpa kata.
“Hei! Lepaskan dia!!” suara Gabriel meledak dari arah tangga, nadanya tajam dan penuh amarah. Langkahnya besar dan terburu, menembus kerumunan mahasiswa yang segera menyingkir.
Nicholas berdiri tegak di tempatnya, menatap dingin ke arah lelaki yang kini berdiri di depannya. Tatapan kedua pria itu saling mengunci, membentuk ketegangan yang mampu membuat udara seolah berhenti bergerak.
“Gabriel, sudah!” suara Serena terdengar, penuh kegelisahan. Dia berusaha menahan tangan Gabriel yang sudah mengepal keras, tetapi Gabriel tidak mengindahkan permintaan itu.
“Jangan pernah kembali menyentuhnya!” ucap Gabriel pada Nicholas.
Nicholas tersenyum smirk. “Apakah dia kekasihmu?” Dia sengaja bertanya meski sudah mengetahuinya, karena selama ini dia tidak peduli dengan kehidupan Gabriel. “Kau tidak pantas terlalu cemburu dengan sikapmu, Nak!”
“Jangan sok bijak, Nicholas,” desis Gabriel dengan mata yang berkilat. “Kau pikir kau siapa sampai berani menyentuhnya?”
“Gabriel, dia hanya membantu—”
“Tidak perlu kau membelanya!” potong Gabriel pada kekasihnya dengan nada tegas, membuat Serena tersentak.
To be continued