Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Belum Berjodoh
Suara ayam dari rumah sebelah kosan mulai terdengar, bersahut-sahutan dengan suara motor lewat di jalan depan. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, jatuh tepat di wajah Wisnu yang baru menggeliat sambil menguap lebar.
Rendi masih terkapar tengkurap, selimutnya melilit seperti sushi gagal.
“Effort banget, nih anak, nyeret kasur ke sini,” gumam Wisnu setengah geli. Ia menendang kaki sahabatnya pelan. “Hei, bangun. Katanya mau bimbingan pagi?”
Rendi hanya menggeram tanpa membuka mata. “Sepuluh menit lagi, Wis… lima… tiga menit juga boleh…”
“Sepuluh menit itu nanti jadi jam delapan,” balas Wisnu sambil melempar bantal ke kepala Rendi.
Rendi langsung duduk dengan rambut acak-acakan. “Hah?! Jam berapa ini?”
Wisnu tertawa, “Baru jam enam, santai aja.”
Rendi menghela napas lega dan menatap Wisnu tajam. “Kamu ni ya, pagi-pagi udah bikin jantung orang olahraga.”
Rendi memperhatikan perubahan wajah Wisnu. “Kenapa? Mimpi lagi?”
Wisnu menggeleng. “Nggak. Justru nggak mimpi apa-apa.”
Rendi menatapnya, separuh ingin bercanda, separuh ingin serius. “Mungkin kamu dan Puspa… memang belum berjodoh.”
Wisnu menoleh, menatap Rendi dengan ekspresi antara bingung dan geli. “Apaan sih, ngomong kayak sinetron sore.”
“Tapi beneran,” lanjut Rendi. “Kalau mimpi itu kayak ngebuka pintu, mungkin tadi malam pintunya udah ditutup. Atau emang cuma dibuka buat sesaat.”
Wisnu tersenyum tipis. “Kalau gitu… semoga aku masih dikasih kesempatan membuka pintunya lagi.”
Rendi berdiri sambil menguap lebar. “Udah ah, sebelum kamu beneran jadi budak mimpi, mending sarapan dulu. Nasi kuning depan gang masih buka tuh.”
Wisnu ikut berdiri. “Ide bagus. Aku juga mau ke Radyapustaka, mau lihat lagi lama.”
“Lihat arsip, atau nyari jejak si Puspa?”
"Mana ada peninggalan Galuh di Radyapustaka Ren..., aku beneran ada janji sama pembimbing,” ujar Wisnu sambil merapikan kertas catatannya. “Tadi malam kamu denger sendiri kan? Katanya mau meriksa ulang menhir itu, nah diskusinya di sana.”
Rendi yang kembali duduk di kasur menguap lebar. “Iya, iya. Tapi kok kamu nggak mimpi lagi, sih? Padahal aku udah siap banget jadi pengawal gagahmu.”
“Kalau lihat polanya, mungkin satu malam cuma bisa sekali, Ren. Di catatan Nayla juga gitu, kadang dia nulis mimpinya, tapi malam berikutnya kosong.”
Rendi mengangguk-angguk pura-pura paham. “Ohhh… jadi semaunya tuh kalung?”
Wisnu tersenyum. “Atau mungkin… sesiapnya hati orang yang dikasih mimpi.”
Rendi langsung menatapnya dengan tatapan penuh drama. “Ih, puitis banget, kamu. Nih, aku siap kok, hati udah dibuka lebar-lebar ini.”
Wisnu menatapnya datar. “Buruan mandi, trus ayo cari makan.”
Rendi terkekeh. “Yah, siapa tahu Puspa nyasar ke mimpiku. Lumayan, pangerannya lagi sibuk bimbingan.”
Wisnu cuma menggeleng sambil memungut tasnya. “Udah ah, nanti aku pulang agak malem."
.......... ...
Rendi mendorong pintu kaca kafe. Bunyi lonceng kecil di atas pintu menyambut kedatangannya.
Di balik meja kasir, Nayla tampak mengenakan celemek cokelat muda, rambutnya diikat santai.
“Mari, Kak. Mau pesan apa?”
Rendi menaikkan alis. “Widih, bosnya langsung yang jadi kasir.”
Nayla menatap, lalu tertawa. “Lho, Ren! Kok nggak bilang mau ke sini?”
“Baru kelar dari kampus. Masih jam segini, mumpung uang sakunya belum habis, bisa lah ngopi-ngopi dikit.” Rendi menaruh tasnya di kursi dekat meja kasir.
Nayla menyipitkan mata. “Hemmm… anak beasiswa nih ya, mainnya ngopi. Jajan pakai uang negara?” godanya dengan nada jahil.
Rendi pura-pura tersinggung. “Wah, fitnah berat ini. Ini hasil kerja keras jadi asisten lab, Bu Bos!”
Nayla nyengir. “O....masa?”
“Gini-gini aku pinter tau Nay... Aku pesen kopi aja deh sebelum diinterogasi,” balas Rendi, pura-pura kesal.
Rendi memilih duduk di dekat jendela. Udara sore masuk lewat celah kaca, membawa aroma kopi yang baru digiling.
Seorang anak sedang mengelap meja di sebelahnya, lalu menoleh kaget.
“Lho, Mas Rendi?”
Rendi ikut terkejut. “Lah, Nando? Kok kamu di sini? Jangan-jangan disuruh kerja rodi sama Nayla ya?”
Belum sempat Nando menjawab, Nayla datang membawa nampan berisi kopi pesanan Rendi. Ia langsung menimpali cepat:
“Enak aja kerja rodi. Dibayar, lho!”
Nando mendengus sambil menaruh kain lapnya. “Bohong, Mas! Kita dibayar pakai tiga M — Makasih, Makasih, Makasih!”
Rendi tertawa keras. “Kita? Maksudnya kamu sama siapa?”
“Mama di dapur, Papa lagi ngeroaster kopi. Aku nih tukang ngelap, eh Mbak Nayla enak kasir.”
Nada protes Nando bikin Rendi makin ngakak.
“Kenapa sekeluarga kamu jadiin karyawanmu semua, Nay?”
Nayla mendengus sambil menaruh gelas kopi di meja Rendi. “Oh iya, aku lupa. Kamu kan S2, jadwalnya beda sama anak-anak S1. Mereka tuh freelance, jadi lagi UTS semua.”
Rendi mengangguk-angguk pura-pura serius.
Nayla menjentikkan jarinya pelan di depan Nando. “Lagian cuma bantu dari jam dua belas sampai jam empat sore doang, protes aja anak kecil satu ini.”
Nando langsung manyun.
Tak lama kemudian, mamanya Nayla keluar dari dapur sambil membawa sepiring nasi goreng seafood yang masih mengepul.
“Rendi... Tante bikinin nasi goreng, masih panas, enak lho.”
Rendi langsung gelagapan,
“Aduh, Tante... jadi malu nih, repot-repot segala.”
Dari balik meja kasir, Nayla yang baru saja melayani pembeli tertawa lebar mendengar gaya pura-pura sungkan sahabatnya itu.
“Abisin aja, Ren! Di kosan kamu juga paling nggak ada makanan, kan?”
Rendi meliriknya,
“Sana kamu, bikin pesenan. Ganggu orang mau makan aja.”
Dari balik meja bar, Nayla langsung melelet—menjulurkan lidah sambil tetap menimbang bubuk kopi.
“Tante sama Nando jangan mau kalau diminta bantuin Nayla, atau minta bayaran yang banyak sekalian!” Usul Rendi
“Heh, dasar pelanggan ribut!” seru Nayla sambil terkekeh.
Mamanya Nayla senyum lembut.
“Kamu sering-sering ke sini ya, Ren. Tante seneng, rasanya kayak lihat tantemu…”
Ia meletakkan tangan di bahu Rendi dengan hangat.
“Ibarat nya dari melek mata sampai udah nikah masing-masing, temennya cuma tantemu doang.”
Rendi tertawa kecil, lalu mengaduk kopi di depannya.
“Iya, Tan… tante juga bilang katanya udah lama nggak ketemu gitu. "
Rendi menatap wajah ibu Nayla yang tiba-tiba berubah muram.
“Rendi, kamu diceritain tentang Arga nggak sama Nayla?” bisiknya pelan.
“Iya, Tante. Nayla sempat cerita,” jawab Rendi hati-hati.
Wanita itu menghela napas panjang, matanya menerawang ke arah dapur.
“Haduh, Nak… untungnya rencananya cuma nikahan keluarga inti, nggak ngundang siapa-siapa. Tante nggak bisa bayangin, kalau acaranya besar, undangannya banyak...gimana jelasin ke para tamu.”
Rendi mengangguk pelan.
“Tapi Tante, dulu nggak curiga sama Arga?”
“Anaknya sopan, baik, kayak nggak ada cela. Mana Tante tahu kalau dia malah dekat sama Tania. Aduh… kalau diingat, pusing rasanya.”
Rendi terdiam. Ia bisa melihat gurat kekhawatiran yang masih belum hilang di wajah wanita itu.
“Nak Rendi…” suara itu lirih, penuh getar.
“Tapi Nayla beneran nggak apa-apa kan? Nggak nutup-nutupin apa-apa? Tante takut, belum lama ini di Bengawan Solo, di jembatan dekat Jurug situ, ada…”
Ia berhenti, menelan sisa kata yang terasa berat.
Rendi buru-buru menggeleng.
“Nggak, Tante. Nayla nggak mungkin berpikir sejauh itu. Dia kuat, kok… cuma mungkin masih nyembuhin dirinya pelan-pelan.”
“Benar, Nak Rendi,” ucap ibu Nayla pelan. “Makanya waktu dia izin mau ke Bogor, ke rumah almarhum neneknya, Tante langsung ngizinin. Tapi ya… tetap aja hati ini nggak tenang.”
Obrolan serius itu terhenti ketika Nayla datang sambil membawa nampan.
“Pada ngobrol apa sih? Kayaknya seru banget dari tadi,”
“Rahasia,” jawab Rendi pura-pura misterius.
Ibu Nayla langsung menimpali sambil tersenyum geli.
“Itu, lho, ngobrolin kangen sama sop daging sapi tantenya Rendi. Mama udah lama nggak ke sana.”
Nayla mengangguk setuju,
“Kemarin hampir sebulan makan di warung Tantenya Rendi, enak banget! Sampe lupa diet.”
"Nggak usah diet, yang penting sehat" Jawab ibunya
“Ma, Papa sama Nando pulang aja, ya. Anak-anak kafe udah pada dateng" Kata Nayla pada ibunya
“Tuh kan, nggak dibayar,” celetuk Rendi sambil menyeruput kopinya.
“Dibayar cinta,” jawab Nayla cepat, senyum jail muncul di bibirnya.
Ibu Nayla tertawa sampai menepuk bahu Rendi.
Tak lama, Papa Nayla muncul dari arah dapur, menenteng jaket dan kunci motor.
“Nak Rendi, lain kali main ke rumah, ya. Mau main catur. Soalnya dulu papamu jago banget main catur,” katanya sambil terkekeh. “Main sama Nando, anak itu kalah telak terus. Main sama Nayla malah bikin Om emosi, diajarin nggak bisa-bisa.”
Rendi langsung tertawa. “Siap, Om."
Nando protes dari balik pintu, “Aku tuh sengaja ngalah, biar Papa senang.”
Semua tertawa. Sebelum akhirnya pulang.
Nayla duduk di depan Rendi, menurunkan masker yang sedari tadi menempel di dagu.
“Capek?” tanya Rendi
“Lumayan,” jawab Nayla, menyandarkan punggung. “Namanya juga kerja.”
Rendi tersenyum. “Kuliah juga capek kali, Nay. Kalau bukan karena beasiswa kampus suruh bantu dosen, kayaknya aku udah pengen nikah aja...biar dinafkahi tante-tante mandiri.”
Nayla tertawa sampai matanya menyipit.
“Hahaha! Katanya suka sama adik temenmu? Kalau sama yang lebih muda, kamu malah harus kerja tiga kali lipat.”
Tawa mereka mereda perlahan. Hening beberapa detik. Hanya suara alat kasir yang berbunyi lembut.
Nayla lalu berdehem kecil. “Eh, ngomong-ngomong… temenmu yang katanya penasaran sama kerajaan Galuh itu mana, sih?”
“Haha, jangan ditanya lagi,” jawab Rendi sambil bersandar di kursi. “Dia tuh ya, cari kesibukan terus. Tadi aja masih ketemu dosen, ngebahas batu, tanah, api, air, udara apa lagi nggak tau... Aku aja capek dengarnya, makanya melipir ke sini.”
“curhat nih ceritanya..,” sahut Nayla.
“Iya juga, padahal niat awal mau ngopi, bukan curhat.”
Nayla tersenyum. “Tenang, pelanggan curhat juga tetap bayar.”
Rendi pura-pura kaget. “Waduh, nambah tarif jasa dengar curhatan nih?”
“Namanya juga kafe, bukan pos ronda,” balas Nayla santai sambil menahan tawa
“Padahal aku tuh pengin ketemu temenmu,” kata Nayla sambil menurunkan suara. “Mau validasi cerita. Eh tapi… dia pasti udah baca dari catatanku, ya? Semoga dia sadar kalau tulisan Sanskerta di catatanku itu juga ada di kotak kalung yang kalian bawa.”
Rendi langsung mendongak, kaget. “Lah… emang ada tulisan di kotaknya??”
Nayla mengangguk pelan. “Adalah. Tapi samar banget.”
"iya nanti biar kita periksa deh... " jawab Rendi
"hmmmm ketemu temanmu susah juga, ya,” ucap Nayla
Rendi tersenyum kecil. “Belum jodohnya, mungkin.”
“Tapi… adiknya temanmu itu…” Nayla terdiam sejenak, seolah menimbang kata.
“Kenanga?” tebak Rendi.
Nayla mengangguk pelan. “Iya.”
“Kenapa Kenanga?” tanya Rendi penasaran.
“Dia anak baik, nggak?” Nayla balik bertanya.
Rendi mengangkat alis, lalu terkekeh. “Baiklah… Emang kenapa? Mau survei calon adik ipar? Wisnu masih jomblo, kok.”
Nayla tersenyum hambar, tapi tak melanjutkan. Kata-katanya menggantung di udara.
Pikirannya melayang jauh, bayangan wajah Kenanga menari di benaknya, berbaur dengan sosok Kencana yang bersembunyi di balik Jagatpati… menyaksikan tubuh Puspa dilahap api.