Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angkasa Monster
Di ruang kerjanya yang dipenuhi aroma kopi hitam, Angkasa bersandar di kursi kulit, matanya menatap kosong layar laptop. Di seberang meja, Ragiel tengah menjelaskan panjang lebar tentang proyek baru, klien baru, rencana ekspansi e-commerce yang menjanjikan.
Namun, Angkasa hanya sesekali mengangguk. Pikirannya tidak pada angka-angka atau strategi. Yang berputar di kepalanya hanyalah wajah Talita, suara Talita, dan dendam yang terus mengganggu. “Perempuan itu harus merasakan balasan. Ia sudah melangkah terlalu jauh.”
^^^^
Sore itu, Angkasa pulang lebih cepat. Mobil sport hitamnya berhenti di halaman mansion, menimbulkan decak kagum para pelayan yang buru-buru membungkuk menyambutnya. Langkahnya lebar dan tegap, wajahnya tampak segar, tidak seperti biasanya yang selalu dingin dan lelah.
“Talita!” panggilnya lantang begitu masuk ke ruang tengah.
Talita, yang sedang menata mainan Bintang, spontan menoleh. Alisnya terangkat, ada kecurigaan di matanya. Angkasa jarang sekali terlihat bersemangat ketika bicara dengannya. “Ada apa?” pikirnya.
Namun, suara Angkasa terdengar berbeda kali ini. Lebih tenang, bahkan hampir ramah.
“Aku sudah pikirkan ulang… tentang semua yang terjadi. Kau tidak sepenuhnya salah kemarin. Aku mungkin keterlaluan. Jadi… aku ingin memperbaikinya.”
Talita langsung terdiam, menunggu kalimat berikutnya.
“Aku akan naikkan gajimu, dua kali lipat,” lanjut Angkasa, nadanya serius. “Tapi ada tambahan tugas. Kau bukan hanya merawat Langit, tapi juga membantu pekerjaan rumah. Masak, mengepel, menyapu, membereskan. Kupikir, dengan kondisi single mother seperti dirimu, kau butuh uang lebih. Aku… merasa kasihan.”
Kata-kata terakhir itu membuat Talita tercekat. Kasihan. Sebuah kata yang jarang, bahkan mustahil, keluar dari bibir Angkasa. Ia menatap mata pria itu. Dingin, tapi seolah kali ini ada ketulusan.
Talita menelan ludah, lalu tersenyum lega. “Kalau itu permintaan Tuan, saya sanggup. Terima kasih… terima kasih banyak.”
Di balik senyum manis itu, Angkasa menahan tawa sinis. “Bagus. Masuklah ke perangkapku.”
^^^^
Koridor panjang menuju dapur sore itu terasa berbeda. Talita berjalan dengan ringan, bahkan bersenandung kecil. Di tangannya masih ada kain basah untuk mengelap mainan Bintang. “Tugas ART itu gampang. Toh ada tujuh ART lain. Kita bisa saling bantu. Sungguh, aku beruntung mendapat rezeki seperti ini.”
Ia bahkan sempat berkhayal, dengan gaji dua kali lipat, ia bisa membeli baju baru untuk Bintang, menabung lebih banyak. Langkahnya penuh harapan.
^^^^
Namun senja berubah muram ketika suara berat kembali memanggilnya.
“TALITA!”
Suara itu keras, kasar, penuh kemarahan. Talita tersentak. Dengan jantung berdebar ia menuju dapur.
Di sana Angkasa berdiri, wajahnya merah, kening berkerut. “Kopi sorenya mana?! Ini jam segini aku belum dapat kopi?!” bentaknya.
Talita terbelalak. “Kopi? Saya—”
“Dan lihat ini!” Angkasa menunjuk meja dapur yang penuh piring kotor. “Dapur berantakan! Lantai kotor!” Ia menggesek jarinya ke kaca jendela, menunjukkan debu tipis. “Ini rumah atau kandang?!”
Talita terperangah. “Tapi… bukankah ada ART yang lain—”
Kalimatnya menggantung. Dalam panik, ia lari mencari ke kamar para ART. Satu per satu pintu dibuka. Kosong. Kasur rapi. Lemari pun bersih. Barang-barang sudah tidak ada. Tidak ada seorang pun di mansion itu selain dirinya.
Napasnya memburu ketika ia kembali ke ruang tengah. Angkasa sudah duduk santai di sofa, televisi menyala menayangkan berita ekonomi.
“Mereka… ART lain… ke mana?!” suara Talita gemetar.
Angkasa hanya melirik sekilas, lalu menyandarkan tubuh. “Aku sudah merumahkan mereka. Semua pulang kampung. Butuh istirahat panjang. Jadi sekarang hanya kau. Satu orang, untuk semua pekerjaan. Tenang saja… gajimu sudah dobel.”
Talita menutup mulutnya, wajahnya pucat. “Tidak mungkin… tidak mungkin aku bisa sendiri…”
“Tidak bisa! Itu mustahil! Mansion ini… lima lantai!” suaranya meninggi, hampir bergetar.
Namun Angkasa bangkit, menaruh sebuah map merah di meja, lalu membuka lembaran kertas. “Oh ya? Kau lupa tanda tangan ini?”
Mata Talita membelalak. Itu kontrak yang tadi ia setujui. Ada hitam di atas putih, masa kerja satu tahun, tidak boleh mundur, jika melanggar denda satu miliar rupiah.
Talita hampir menangis. “Aku dijebak.”
Wajah Angkasa menegang, tapi bibirnya tersenyum tipis. “Sekarang, buatkan aku kopi sore. Sepuluh menit.”
Dengan tangan gemetar, Talita menyiapkan kopi. Air mendidih, uap panas mengenai wajahnya, matanya berkaca. Tapi ia berusaha tetap tegak. Cangkir itu ia letakkan di meja dengan kedua tangan.
Angkasa menyesap sedikit, lalu mendengus. “Pahiiiit! Kau ini… bahkan bikin kopi pun tak becus!”
BRAK! Gelas dilempar ke lantai, pecah, cairan hitam menyebar, menodai karpet. Talita menutup mulut, terlonjak.
“Bersihkan sekarang juga!” Angkasa menunjuk lantai dengan tatapan menusuk.
Dengan jongkok, Talita menyeka pecahan kaca, matanya berair. Ada marah, ada sakit hati, tapi juga api dendam yang mulai membara.
Setelah itu Angkasa melangkah menuju tangga. “Setelah selesai, siapkan air hangat untuk mandiku. Pilihkan baju ganti. Dan rapikan ruang kerjaku. Aku ada zoom meeting sebentar lagi. Mengerti?”
Talita menggenggam kain pel, berusaha menahan gemetar di tangannya. Suaranya lirih tapi tegas, “Mengerti, Tuan.”
Namun dalam hati, ia berteriak lantang:
“Ini baru permulaan. Kau pikir aku akan hancur? Tidak. Aku akan bertahan. Dan suatu saat, kau sendiri yang akan menyesal, Angkasa.”
^^^^^
Kamar mandi utama di mansion itu seperti spa mewah. Lantainya marmer putih berkilau, dindingnya dilapisi granit hitam berurat emas. Di tengah ruangan, bathtub besar berbentuk oval berdiri di atas pijakan marmer, lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut yang membuat suasana tampak elegan sekaligus dingin. Uap tipis dari diffuser aromaterapi lavender melayang di udara, bercampur dengan suara tetesan air dari keran perunggu antik.
Talita baru saja selesai merapikan botol sabun cair di rak. Ia meraih handuk kecil, bersiap keluar, ketika pintu tiba-tiba terbuka.
Angkasa masuk tanpa permisi. Hanya selembar handuk putih melilit pinggangnya. Tubuh bidangnya berkilau basah, otot-otot perutnya jelas terbentuk, seakan memamerkan kesempurnaan fisik yang sering jadi buah bibir orang. Rambutnya masih lembap, beberapa tetes air jatuh ke lantai marmer, menambah aura maskulin yang memabukkan.
Namun bagi Talita, itu bukan pemandangan yang indah. Itu adalah teror.
Ia buru-buru menunduk, berusaha melangkah pergi. “Maaf… saya keluar dulu,” suaranya tercekat.
Namun cengkraman kuat Angkasa mendarat di pergelangan tangannya. Dalam satu tarikan, tubuh Talita terhuyung, pinggangnya terperangkap di genggaman Angkasa. Jarak mereka terlalu dekat, napas pria itu menyapu kulitnya.
Talita membeku. Dadanya sesak. Jantungnya berdetak cepat, tapi tubuhnya seakan lumpuh.
“Tidak… jangan lagi...”
Ingatan kelam berkelebat. Malam-malam penuh luka, malam di mana ia tak mampu melawan, saat tubuhnya direnggut paksa dan suaranya terkubur tanpa daya. Tubuh Talita kini bereaksi sama, kaku, dingin, tak bisa bergerak. Seolah trauma itu mencengkeram urat-uratnya, membuatnya kehilangan kendali atas tubuh sendiri.
Angkasa menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari leher Talita. Ia menghirup dalam-dalam, lalu menempelkan bibirnya singkat, sebuah ciuman ringan tapi penuh kuasa.
“Di rumah ini hanya ada kita berdua, bukan?” bisiknya rendah. Suaranya merayap seperti racun, godaan sekaligus ancaman.
Air mata Talita menetes tanpa ia sadari. Nafasnya tercekat, tubuhnya kaku tak berkutik. Ia ingin menjerit, ingin menepis, tapi lengannya tak mau bergerak, lidahnya kelu, seakan tubuh dan pikirannya terbelenggu trauma.
Hanya ketika genggaman Angkasa melemah, ia berhasil melepaskan diri. Tubuhnya terjatuh, lututnya menghantam marmer dingin. Dengan tergopoh, ia berlari keluar kamar mandi, menahan tangis yang akhirnya pecah begitu sampai di kamarnya sendiri.
^^^^
Di ranjang kecilnya, ia menangis keras, tubuh terguncang hebat. “Monster itu… dia benar-benar menampakkan wujud aslinya. Bagaimana aku bisa melawan? Bagaimana aku bisa bertahan?”
Bintang masuk tanpa suara, lalu menyusup ke dalam selimut, memeluk mamanya erat-erat. Anak kecil itu tidak bicara banyak. Tapi wajah mungilnya seakan berkatan “Mama jangan takut, aku ada di sini.”
Talita menutup mata, merangkul Bintang erat, berusaha mengambil kekuatan dari pelukan kecil itu.
^^^^
Sementara di kamar mandi utama, Angkasa sudah berendam di bathtub hangat. Aroma lavender menenangkan, musik klasik mengalun pelan. Ia menyandarkan kepala sambil tersenyum puas.
“Sedikit saja disentuh… langsung lemah,” gumamnya congkak.
Baginya itu permainan. Ia yakin Talita hanyalah bidak kecil yang bisa ia kendalikan kapan saja.
Tanpa ia sadari, bidak kecil itu sedang menyimpan api yang bisa membakar dirinya kapan saja.
makasih sudah mampir