"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Cerita ini akan di ambil alih oleh autor
Maaf ya autor baru nulis tahun 2025, ternyata memakain sudut pandang tokoh itu sangat mengasikan tapi jadi beberapa kali ganti sudut padang
…
Doni melangkah mendekati Ferdi yang sedang melamun.
"Kenapa Bapak melamun saja?" tanya Doni sambil duduk di dekat Ferdi.
Ferdi menatap dingin. Masih ada rasa kesal dalam dirinya. Laras, anaknya, sangat mencintai Doni, sampai-sampai mau menyerahkan kesuciannya pada Doni. Setelah hamil, Doni malah meninggalkannya, sehingga Ferdi terpaksa menikahkan Laras dengan Riko.
"Apa Bapak masih marah sama aku?" tanya Doni.
"Hmmmmm... marah?" ucap Ferdi. "Masih ada gunanyakah aku marah?" Ferdi mengembuskan napas kasar.
"Aku tidak pernah meninggalkan Laras. Waktu itu usiaku baru 17 tahun, Pak. Bagaimana aku bisa menghidupi Laras? Dan sekarang aku sudah mapan, Pak. Aku siap membahagiakan Laras," ucap Doni seolah tak pernah merasa bersalah.
"Ya sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Yang penting, kamu jangan menyakiti Laras lagi," ujar Ferdi dengan nada datar.
"Sudah pasti."
"Bapak pikir, kenapa aku kembali ke sini kalau bukan karena aku mencintai Laras?"
Doni mengatakan itu dengan penuh ketulusan.
"Terus, kenapa kamu tidak mau punya anak?" tanya Ferdi.
"Itu keputusan aku dan Laras, Pak. Aku tidak ingin cinta kita dibebani oleh adanya seorang anak," jawab Doni seolah itu adalah hal yang biasa.
"Lalu, bagaimana dengan Melati?" tanya Ferdi.
"Ya, sudah ada Riko. Kenapa harus dipersulit, Pak? Lagian dia yang mau, kan? Yang jelas, aku dan Laras nggak akan punya anak dalam hubungan kita."
Ferdi mengembuskan napas kasar, seolah kecewa.
"Jika bersama Riko, Melati tidak menghasilkan apa-apa," ucap Ferdi.
Mereka semua terdiam.
Doni sedang mencoba mencerna ucapan Ferdi: Melati tidak menghasilkan apa-apa jika dirawat Riko.
"Apa mungkin Bapak mertuaku ini mau menjual Melati?" pikirnya.
"Maksud Bapak, ada orang yang mau merawat Melati dengan memberi imbalan lebih?" tanya Riko memastikan.
Ferdi diam, mengembuskan napas berat. Terlalu kasar jika dia mengatakan akan menjual cucunya sendiri. Tapi, apa boleh buat? Arsyad terus mengancam. Hanya Melati cara tercepat untuk menghasilkan uang.
"Memang berapa, Pak?" tanya Doni, langsung pada harga.
"Kemarin ada yang mau memberi seratus juta, tapi si Riko itu menghancurkan segalanya," ucap Ferdi.
"Kalau dua ratus juta, aku mau bantu," ucap Doni.
Mata Ferdi menatap tajam ke arah Doni, mencoba memastikan apakah yang diucapkan itu sungguh-sungguh.
Aku kira aku adalah lelaki paling kejam karena menjual cucunya sendiri. Ternyata ada yang lebih kejam dariku, pikir Ferdi.
"Kamu serius?" tanya Ferdi memastikan.
"Terserah Bapak. Jika itu bisa menolong Bapak dari kekurangan uang, maka aku akan membantu Bapak," ucap Doni, seolah dia juga tidak butuh uang.
"Tapi Riko dilindungi LH Konsultan," ucap Ferdi.
Doni pun mengembuskan napas berat.
"Berat, Pak. Mereka itu kantor pengacara yang sulit dipermainkan," ucap Doni.
Mereka terdiam, sedang memikirkan rencana jahat: menjual darah daging mereka sendiri. Sungguh ironi.
Zaman dulu, saat kelaparan melanda, banyak orang tua menjual anaknya supaya sang anak bisa makan enak bersama tuan mereka. Tapi mereka? Mereka makan dengan kenyang, namun justru memiliki pikiran untuk menjual darah dagingnya sendiri.
Dunia memang tidak pernah kekurangan orang kejam.
"Aku ada ide, Pak," ucap Doni tiba-tiba, memberi saran.
"Katakanlah," ucap Ferdi.
Kemudian Doni menyampaikan idenya kepada Ferdi, mertuanya.
Ferdi menatap tajam ke arah Doni.
"Kamu yakin, Doni? Dia darah daging kamu, loh," ucap Ferdi.
"Kalau Bapak ragu, ya jangan. Lupakan saja. Toh, aku juga nggak kekurangan uang," ucap Doni santai, seolah sedang melakukan tarik ulur.
"Kalau kamu yakin," ucap Ferdi, "Bapak setuju."
"Tapi jangan sampai Laras dan Ibu tahu," ucap Doni.
"Iya, kamu harus jaga rahasia," kata Ferdi, menegaskan untuk lebih meyakinkan.
,,,
Kita ke Riko dan Melati.
Yusuf mengantarkan Riko dan Melati ke kosan mereka.
"Terima kasih, Om Tampan," ucap Melati dengan manis.
"Sama-sama, Anak Cantik," ucap Yusuf sambil berjongkok dan menyentuh rambut Melati.
"Terima kasih, Pak Yusuf," ucap Riko. Nama Pak Yusuf akan ia catat sebagai salah satu orang yang berjasa dalam hidupnya.
"Sudah tugas saya. Amanah Pak Lutfi adalah kewajiban saya," jawab Yusuf.
Dan mereka pun berpisah.
Riko menggenggam tangan Melati erat. Keduanya berdiri mematung di depan pintu kosan yang selama ini menjadi saksi perjuangan mereka—tangis, tawa, dan kehangatan sederhana dalam keterbatasan.
Cahaya bulan Agustus menyapu pelan wajah mereka, menebar kilau tenang di sela bayang-bayang yang jatuh di tanah. Lampu-lampu kecil berwarna merah dan putih menggantung di sepanjang atap kosan, berkedip lembut seperti mengucapkan selamat datang. Hiasan sederhana itu membuat tempat ini terasa lebih hidup, seolah ikut merayakan sesuatu yang belum mereka ucapkan.
Melati mendongak, matanya berbinar melihat kerlap-kerlip lampu.
"Indah banget, Yah..." bisiknya pelan.
Riko tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, menatap ke depan dengan dada yang menghangat. Rumah kecil ini bukan istana, tapi baginya dan Melati, inilah tempat segala harapan pernah tumbuh.
"Ayo, Yah, masuk," ucap Melati sambil menggenggam tangan Riko dan mengajaknya masuk.
"Mudah-mudahan tidak ada masalah lagi," gumam Riko dalam hati.
Riko melangkah masuk ke kosan. Tampak bersih, sepertinya Ibu Zuleha sudah membersihkannya.
"Melati!" ucap seseorang.
Melati dan Riko menoleh.
"Nenek!" seru Melati senang, lalu berlari menuju Ibu Zuleha.
"Uhhh... cucu Nenek... sudah kembali. Jangan pergi lagi, ya," ucap Zuleha dengan penuh kasih sayang.
"Iya, Melati janji nggak akan pergi lagi," ucap Melati sambil memeluknya.
"Ini Nenek bawa makanan buat kalian. Makan dulu, ya," ucap Zuleha dengan lembut.
Malam itu, mereka bertiga makan bersama dalam kegembiraan. Zuleha dan Riko memang bukan darah daging Melati, tapi kasih sayang mereka melebihi itu semua. Itulah cinta—kadang sulit dimengerti.
,,
Riko dan Melati mulai menyesuaikan diri hidup tanpa Laras.
Melati adalah anak yang pandai dan mudah diberi pengertian. Ia juga anak yang menyenangkan, sehingga Bu Zuleha tidak keberatan mengasuhnya di siang hari.
Cucu dan anak-anak Bu Zuleha sudah sukses. Dan seperti kebanyakan anak yang sudah berhasil, mereka jarang berkunjung ke orang tuanya. Saat Hari Ibu, mereka membuat status manis berisi ucapan penuh kata-kata indah. Padahal, untuk sekadar datang seminggu sekali saja, sering kali tak sempat.
Jika memberikan hadiah untuk orang tua, tak lupa mereka unggah di media sosial—“Aku sukses berkat doa Ibu.” Sebuah status yang tampak penuh bakti, tapi sering kali berbeda dengan kenyataan. Perhatian nyata lebih jarang mereka beri.
Kadang, justru anak yang paling tidak mapanlah yang paling sering datang. Ia malu melaporkannya ke khalayak ramai karena merasa belum sukses.
Sudah dua hari hidup berjalan lancar.
Pagi hari, Ibu Zuleha mengasuh Melati. Sore hari, Riko datang, memandikan Melati, dan tak pernah lupa mendongeng sebelum tidur.
,,
19 Agustus 2014
Pagi hari yang indah. Orang-orang masih sibuk berlomba: tarik tambang, panjat pinang, balap karung, dan berbagai perlombaan lainnya.
Sementara itu, Riko justru sibuk mengojek, mencari orderan. Negara boleh merdeka, tapi rakyatnya masih dijajah oleh kebutuhan. Yang benar-benar merdeka tentu saja para pejabat—kerja atau tidak kerja, gaji tetap mengalir.
Sedangkan Riko? Kalau tidak mengojek, ya tidak makan.
Riko sedang berkeliling Jakarta.
Tiba-tiba, matanya menangkap seorang perempuan yang sepeda motornya dirampas oleh dua orang tak dikenal.
Tanpa berpikir panjang, Riko datang bagai pahlawan. Ia memacu sepeda motornya sekuat tenaga, melaju cepat ke arah pelaku.
Bruk!
Riko menabrak salah satu begal hingga terpental jatuh ke aspal.
Teman si begal panik. Ia langsung mengeluarkan golok dari balik jaket.
Melihat itu, Riko berteriak lantang, "Begal! Tolong, begal!"
Sontak saja para begal itu kabur.
Beberapa warga datang dan langsung menanyakan kronologis kejadian kepada Riko. Riko pun menceritakan semuanya dengan penuh semangat, napasnya masih memburu karena adrenalin.
Seorang perempuan berjilbab hitam dan mengenakan batik hijau—sepertinya seorang guru TK—mendekat dengan wajah penuh syukur.
"Mas, terima kasih sudah menolong saya," ucapnya lembut.
"Sama-sama," jawab Riko singkat, sambil tersenyum.
Tiba-tiba, ponsel Riko bordering terus-menerus. Entah kenapa, hatinya mendadak gelisah. Ada firasat buruk yang merambat pelan ke dadanya.
Ia mengangkat panggilan itu.
"Mas Riko... Melati dan Bu Zuleha ketabrak mobil. Bu Zuleha meninggal... Melati kritis. Sekarang ada di RSUD."
Riko tercekat. Pandangannya gelap. Dunia terasa hancur seketika